MENCOBA merambah ke dalam grup usaha Mantrust tak ubahnya seperti memasuki hutan larangan. Orang dalam Mantrust sendiri, misalnya Direktur Pemasaran Jim Wiryawan, menyatakan ketidaktahuannya. Berapa anak perusahaan yang masih jalan, macet, atau sudah dilikuidasi, ia tak paham. Memang, sejak Mantrust megap-megap terbelit utang, kelompok usaha yang tergolong besar ini mempreteli satu per satu perusahaannya. Jumlah utang pokoknya belum diketahui, tapi setelah dibebani bunga berbunga, utang Mantrust itu berjumlah Rp 1,2 triliun. Pernah diberitakan, penyebab utama kesulitan Mantrust adalah proyek PIR persusuan, PT Nandi Amerta Agung dan PT Tirta Amerta Agung. Dua proyek PIR yang semula didirikan untuk mengangkat tingkat hidup petani plasma itu ternyata, sejak berdiri di tahun 1986 hingga kini, terus merugi dan menunggak utang Rp 7 miliar lebih. Tapi Nandi dan Amerta bukanlah ''batu sialan'' yang membuat Mantrust terpeleset. Penyebab utama, membiayai investasi jangka panjang dengan kredit jangka pendek. Kebijaksanaan itu berakibat fatal ketika Pemerintah menerapkan kebijaksanaan uang ketat. Akibatnya, menurut Jim Wiryawan, Mantrust harus menanggung beban bunga yang sangat tinggi. ''Padahal keuntungan yang kami peroleh tipis,'' kata Jim. Jim mungkin benar. Nasib bisnis ikan tuna, yang adalah andalan Mantrust, bisa dijadikan contoh yang tepat. Ketika harganya anjlok dari US$ 20 per karton (28 kaleng) menjadi US$ 15, Mantrust tak lagi bisa menghadapi lawan-lawan bisnisnya di luar negeri, terutama Thailand. Pengusaha di negara jiran itu hanya dibebani bunga pinjaman 13%, sedangkan Mantrust menanggung bunga 30% setahun. Akibatnya berantai, menghantam PT Nelayan Bhakti, proyek PIR perikanan. Soalnya, untuk bisa bersaing, konon Mantrust terpaksa membeli ikan dengan harga murah. Nelayan PIR merasa rugi, lalu menjual ikannya ke pelaut Taiwan. Pada gilirannya, Camp Seafood, perusahaan milik Mantrust di AS, kekurangan pasokan ikan. Padahal, jaringan pemasaran dan pabrik pengalengan itu dibeli Mantrust dengan harga Rp 300 miliar. Ada juga yang menyesalkan policy Mantrust yang terlalu banyak melakukan ekspansi di luar bisnis utamanya (usaha ikan tuna, budidaya jamur, pengolahan pangan, pengalengan, dan perdagangan). Contohnya Adidas, pabrik sepatu seharga Rp 30 miliar, yang hingga sekarang terus menggerogoti Mantrust. Nasib yang sama terjadi atas diversifikasi usaha di bidang lain seperti industri kimia, farmasi, dan Mantrust Asahi Airways. Memang, dari 33 perusahaan dalam kelompok Mantrust, beberapa masih mendatangkan laba, seperti PT Friesche Vlag Indonesia. Perusahaan susu kental manis, bubuk, dan encer ini menjadi tulang punggung grup tersebut. Adapun Telesonic, yang dibeli belasan miliar rupiah, juga mulai menampakkan masa depan yang cerah. Tapi beberapa perusahaan lain yang menguntungkan akan segera berpindah tangan. PT Delta Djakarta, yang tahun 1991 melaba Rp 10 miliar lebih, akan dijual kepada San Miguel, Filipina. Hotel Sarkies di Surabaya, misalnya, dijual ke konsorsium Bank Danamon seharga Rp 14 miliar. Biro perjalan Musi Holiday dilego ke kelompok Progo Tunggal. Total, dari penjualan aset ini, Mantrust menghimpun Rp 50 miliar lebih. Namun, kata Jim Wiryawan, uang tersebut hanya cukup untuk menutup bunga utang yang tiap bulan mencapai Rp 12 miliar. Jim tampaknya menyesali penjualan ini. ''Jumlah perusahaan terus berkurang, tapi utang pokok masih tetap,'' katanya, murung. Bambang Aji dan Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini