SEPUCUK surat dari Pertamina sampai di meja Direktur Utama Pembangkit Listrik Jawa-Bali, akhir Mei lalu. Isinya sungguh membuat miris. Pertamina tak sanggup menyediakan suplai gas sebanyak 300 juta kaki kubik per hari untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Gresik hingga tahun 2004. Pertamina, seperti diungkap surat itu, cuma mampu menyediakan 242 juta kaki kubik per hari. Kenapa? Lapangan gas BP- Kangean, yang selama ini memenuhi kebutuhan gas untuk seluruh Jawa Timur, ternyata tak lagi bisa diharapkan. Produksinya terus menurun.
Surat semacam itu tak hanya diterima Pembangkit Listrik Jawa-Bali dari Pertamina. Perusahaan Gas Negara (PGN) Jawa Timur pun menerima surat dengan isi yang kurang-lebih sama?cuma berbeda angka. Pendeknya, kelangkaan (shortage) gas?dibutuhkan untuk menghasilkan listrik?mulai menghantui provinsi paling timur Pulau Jawa itu.
Menjelang tahun 2004, Jawa Timur diperkirakan membutuhkan pasokan gas sekitar 468 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Dari pasokan gas itu, 65 persen di antaranya dipakai sebagai bahan bakar pembangkit listrik, 25 persen untuk petrokimia, dan sisanya untuk rumah tangga. Sebetulnya, menurut Pertamina, pada tahun 2004 gas yang dihasilkan untuk Jawa Timur sekitar 523 juta mmscfd. Jadi, masih ada kelebihan pasokan 55 juta kaki kubik per hari. Lalu, di mana kelangkaannya ?
Rupanya, perhitungan Pertamina terlalu optimistis. Hitungannya berbeda dengan hitungan para kontraktor gas. Menurut sumber TEMPO, dua tahun dari sekarang, jumlah produksi tiga lapangan gas yang memasok seluruh Jawa Timur (BP-Kangean, Kodeco, dan Lapindo Brantas) tak lebih dari 450 juta kaki kubik per hari. Dan produksi mereka akan terus menurun kalau tak ada pengembangan baru.
Runyamnya, pengembangan baru itu masih belum jelas nasibnya hingga hari ini. Beberapa proyek baru yang disebut Pertamina akan menyokong suplai gas Ja-Tim, seperti Lapangan Madura-BD (ExxonMobil), Ketapang (Gulf), Sampang (Santos), Kodeco KE-10, dan Suci (Pertamina), ternyata belum satu pun yang dipastikan bisa berproduksi pada tahun 2003. Jadi, tak bisa pula ditetapkan mana lapangan gas yang akan memasok Ja-Tim dan berapa pula volumenya. Kepada TEMPO, Direktur Manajemen Kontrak Production Sharing (KPS) Pertamina, Iin Arifin Takhyan, cuma menyatakan bahwa semua lapangan itu sedang disiapkan. Barulah tahun 2005 Pertamina bisa mengharapkan tambahan 75 juta kaki kubik dari lapangan baru ini. Itu pun masih tergolong cadangan prospektif (probable reserve), yang jumlahnya sering kali 25 persen lebih rendah dari perhitungan.
Kelangkaan gas sebetulnya tak hanya mengancam Jawa Timur. Jawa Tengah dan Jawa Barat pun menghadapi persoalan serupa. Namun, Jawa Tengah lebih beruntung. Pertamina sudah mengantisipasinya dengan memasok gas dari Lapangan British Petroleum (BP)-Muriah ke PLTGU Tambaklorok (1.300 MW). Bagaimana di Jawa Barat? Kalau pengembangan gas BP dan YPF Maxus di Laut Jawa tak berhasil, tanah Pasundan mulai 2004 juga bakal tunagas sekitar 500 juta kaki kubik per hari. Di Aceh, pemerintah bahkan sudah berencana memindahkan Pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) II ke Jambi, dekat sumber gas Gulf Indonesia.
Sementara itu, kebutuhan gas makin tinggi. Pemerintah juga berencana membangun PLTGU Muaratawar dan Muarakarang serta memperpanjang kontrak Pabrik Pupuk Kujang 1B, yang akan membutuhkan gas 500 juta kaki kubik per hari. Cuma, dari mana suplai gasnya? Masih sangat samar-samar. Pertamina, misalnya, memang punya alternatif mengalirkan gas melalui pipa dari Sumatra Selatan lewat Selat Sunda ke Jawa Barat, bahkan kalau perlu mengapalkan dari Lapangan Tangguh di Papua. Namun, bila alternatif ini yang diambil, harga jualnya pasti akan melambung.
Persoalan gas ini makin runyam karena kontraktor tidak bisa diajak secepatnya memproduksi gas. Banyak kontraktor enggan menanamkan investasi sebelum mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak mereka yang sebentar lagi mau habis. BP, misalnya, minta perpanjangan kontrak production sharing (KPS) Kangean untuk mengembangkan Lapangan Gas Terangsirasun, di sebelah utara Pulau Bali. Terangsirasun punya cadangan 0,9 triliun kaki kubik, dan untuk mengembangkannya, BP sebenarnya sudah menyiapkan US$ 300 juta. Yang diperlukan adalah jaminan investasi berupa kepastian perpanjangan kontrak setelah 2010. Itu pula yang tersirat dari pernyataan Wakil Presiden Pemasaran BP Indonesia, Jimmy Straughan, dalam satu diskusi akhir bulan lalu.
Menurut data yang dimiliki sumber TEMPO, hingga pertengahan tahun ini belum satu pun dari empat proyek baru eksplorasi gas yang memulai konstruksinya. Padahal jangka waktu memulai produksi (on stream) membutuhkan minimum 4 tahun. Sebagai perbandingan, waktu yang diperlukan dari mulai tender dibuka hingga pemesanan barang dan konstruksi mencapai 20 bulan. Belum lagi soal penandatanganan KPS dan administrasi. Alhasil, sisa waktu 2 tahun yang kini ada diperkirakan tak akan cukup untuk membangun beberapa proyek gas lepas pantai (off shore).
Meski di atas kertas keadaannya cukup genting, toh sampai hari ini Pertamina bersikap tak mau memperpanjang kontrak BP-Kangean, yang akan berakhir tahun 2010. Alasannya, kontrak itu masih lama masa berakhirnya. Kalaupun mendesak, "Pertamina harus bicara dulu dengan DPR agar tidak dituduh melakukan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)," ungkap Iin.
Di lain pihak, sikap itu, menurut anggota DPR Emir Moeis, justru "agak kacau". Karena itu, Emir menyarankan agar Pertamina memberikan perpanjangan segera demi keamanan pasokan gas. "Berikan dulu (perpanjangan) biar pasokan gas terjamin," katanya. Sedangkan urusan KKN menurut dia bisa dijelaskan belakangan, dengan argumentasi yang kuat.
IG.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini