Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Primadona yang Sulit Diambil

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak tersedia, tapi sulit didapat. Gambaran itu pas buat produksi gas di Indonesia. Cadangan gas Indonesia tak kurang dari 158,3 triliun kaki kubik. Dari seluruh cadangan itu, 92,5 triliun kaki kubik di antaranya adalah cadangan yang terbukti lebih dari cukup untuk memasok kebutuhan gas nasional selama 50 tahun nonstop. Yang menggembirakan, kegiatan eksplorasi tiga tahun terakhir menambah lagi cadangan sebesar 4 triliun kaki kubik. Angka itu belum termasuk beberapa lapangan yang sedang dieksplorasi di Selat Makassar, Jawa Timur, dan Papua. Dibandingkan dengan negara lain, rasio penemuan cadangan gas di Indonesia, yang 42 persen, tergolong besar. Di negara lain, angkanya malah turun tinggal 10 persen. Sementara itu, konsumsi nasional kini mencapai 650 miliar kaki kubik setahun, dengan pertumbuhan 9 persen per tahun. Tak mengherankan jika Pertamina menganggap bisnis gas adalah primadona berikutnya setelah masa keemasan minyak bumi akan berlalu tak lebih dari 15 tahun lagi. Cuma, kenapa ancaman kelangkaan itu malah sudah akan terjadi 3-4 tahun lagi ? Pertaminya punya masalahnya sendiri. Buat kontraktor, mengekspor gas dalam bentuk LNG (gas alam cair) jelas lebih menguntungkan karena harganya tak pernah turun dari US$ 3 per mmbtu. Bandingkan dengan melayani kebutuhan dalam negeri. Kebijakan insentif gas domestik (IGD) menyebabkan harga jual gas ke beberapa sektor amat rendah. Tahun lalu, PLN membeli rata-rata US$ 2 per mmbtu, pabrik pupuk cuma membeli US$ 1-2 per mmbtu, bahkan pabrik plywood hanya US$ 0,49 per mmbtu. Perbedaan harga itu pula yang jadi bagian alot dalam perundingan antara BP-Kangean dan Pertamina, yang meminta tambahan untuk harga US$ 1,68 per mmbtu. Bukan cuma faktor ekonomi, ketakutan Pertamina terhadap tudingan kolusi dalam perpanjangan kontrak jangka panjang sekarang jadi masalah. Tertundanya produksi Lapangan Gas Terangsirasun bisa menjadi contohnya. Perencanaan pembangunan pembangkit listrik juga jadi salah satu faktor yang memunculkan shortage. Paiton Swasta I dan II di Jawa Timur ternyata akan menyebabkan oversupply listrik hingga tahun 2003. Bahkan PLTGU Grati perlu dimatikan dulu agar daya Paiton bisa dipakai. Tapi, setelah lewat 2-3 tahun, yang terjadi malah kelangkaan listrik karena 25 proyek lain sedang direnegosiasi oleh PLN?dengan berbagai alasan?hingga tertunda produksi dayanya. Faktor lain yang menyebabkan tersendatnya pasokan gas adalah gangguan keamanan?seperti yang dialami Lapangan Arun di Aceh. Sedangkan faktor teknologi juga punya andil yang tak kecil. Contohnya yang terjadi di Natuna Timur. Karena kesulitan teknologi, kawasan itu baru bisa dieksplorasi 10 tahun lagi. IG.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus