ORANG Yogya, yang biasanya sabar dan halus, ternyata bisa juga naik pitam. Soalnya, yang membuat darah naik ke kepala adalah duit miliaran rupiah yang berkaitan dengan perut ribuan orang. Dua pekan lalu, kemarahan orang Kota Gudeg itu tecermin dari ancaman pemerintah daerahnya untuk tidak menaikkan gaji pegawai negeri sipil seperti digariskan pemerintah pusat. Maklum, anggaran mereka terlalu pas-pasan untuk bisa mengikuti keputusan baru Jakarta yang berlaku surut, menaikkan gaji pegawai negeri terhitung sejak Januari 2001.
Dihitung-hitung, anggaran daerah pemda Yogyakarta untuk tahun 2001 bisa tekor Rp 98,3 miliar bila harus membayar kenaikan gaji pegawai. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan bahwa sebetulnya pihaknya oke saja dengan kenaikan gaji pegawai jika pe-merintah pusat mau membayarnya. "Biarpun sampai 10 kali lipat tidak masalah asal APBN bisa membayar. Pembayaran gaji itu kan kewajiban pemerintah pusat," kata Sultan.
Lalu, apa masalahnya? Kenyataannya, permintaan dana cadangan (kontijensi) sebesar Rp 142 miliar yang diajukan ke pemerintah pusat sejak Maret lalu hingga kini belum mendapat tanggapan. Sehingga, jangankan menaikkan gaji hingga 14 persen, pertengahan tahun ini pun Pemda Yogya sudah kesulitan membayar gaji pegawainya.
Semua kesulitan itu, menurut Wakil Ketua DPRD DI Yogyakarta, Nur Achmad Affandi, disebabkan oleh pembengkakan jumlah pegawai lantaran pelimpahan dari instansi pusat ke daerah. Sebelum pelimpahan, jumlah pegawai di kota pelajar itu cuma 5.200 orang. Tapi, begitu semua aset pusat berikut pegawainya dilempar ke daerah senyampang pelaksanaan otonomi, jumlah pegawai melar dua kali lipat hingga hampir 10.000 orang. Buat provinsi yang cuma mendapat dana alokasi umum (DAU) Rp 110 miliar itu, tambahan ribuan mulut yang mesti diberi makan itu terasa berat. Maka, wajar bila anggaran daerah langsung menjadi defisit.
Yogya tak sendirian menghadapi masalah itu. Persoalan serupa juga dirasakan Pemerintah Daerah Bali. Kepala Biro Keuangan Pemda Bali, I Gusti Ngurah Sutedja, mengaku sulit membayar kenaikan gaji pegawai pada bulan Juli nanti. Soalnya, tambahan DAU Rp 16 miliar yang diajukan ke pemerintah pusat belum jelas nasibnya. Nah, kalau gaji para pamong itu naik sementara DAU tetap, anggaran pemda pasti akan jebol.
Persoalan dalam pelaksanaan otonomi da-erah bukan hanya menyangkut DAU. Beberapa daerah di Kalimantan Timur pun menyoal lambatnya penyaluran dana bagi hasil (DBH). Akibatnya memang tak segawat yang terjadi di Yogya atau Bali, yang sampai mengancam nasib ribuan pewagai negeri. Tapi, perosalan yang dihadapi menyangkut DBH bukan berarti sepele. Di Kal-Tim, pelaksanaan sejumlah program pembangunan seperti pendidikan serta bantuan pertanian dan peternakan menjadi tersendat. Untunglah, beberapa proyek pembangunan jalan dan jembatan masih bisa dilaksanakan lantaran pelaksana proyek bersedia menanggung dulu biayanya. Janjinya, mereka akan menerima pembayaran setelah DBH cair.
Terlambatnya penyaluran dana bagi hasil itu tentu mengesalkan sejumlah kepala daerah di sana. Sampai-sampai muncul ancaman dari kalangan eksekutif dan legislatif untuk memblokir dana minyak dan gas, kehutanan dan tambang, yang selama ini disetor ke pusat. Salah satu bupati yang bersuara keras adalah Bupati Kutai Kertanegra, Syaukani H.R. "Bila sampai akhir Juni DBH tak juga turun, kami pasti memblokir setoran pajak dan ramai-ramai menuntut pemerintah," tambah Ketua DPRD Kutai Barat, Juan Jenau, dengan nada serius.
Toh, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kal-Tim, Abdurrachim Asmaran, berpendapat bahwa pemblokiran itu bukan perkara gampang. Apalagi, bila dana itu berasal dari sektor migas dan pertambangan umum seperti batu bara dan emas. Soalnya, dana itu oleh pengusahanya langsung disetor ke pusat. "Kecuali kalau kita punya pasukan bersenjata sendiri, baru bisa memaksa dana itu tak disetor ke pusat," ujarnya berseloroh.
Segala kesulitan itu bukannya tak mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Akhir Mei lalu, Menteri Keuangan, saat itu Prijadi Praptosuhardjo, bahkan sudah membuat surat keputusan yang isinya menetapkan pencairan DBH Rp 11 triliun. Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lama, untuk melaksanakan otonomi daerah, pe-merintah telah menyisihkan dana perimbangan daerah yang seluruhnya mencapai Rp 81,6 triliun. Jumlah itu terbagi untuk DAU Rp 60,5 triliun, DBH Rp 20,26 triliun, dan dana alokasi khusus (DAK) Rp 916 miliar.
DAU sendiri sudah dibagikan kendati secara bertahap sebesar 25 persen per triwulan. Sedangkan DAK, menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Mahfud Sidik, belum dibagikan karena digunakan untuk keperluan lain. Adapun DBH baru dibagi dari hasil pajak penghasilan (PPh) dan pajak bumi dan bangunan (PBB). Untuk DBH dari sumber daya alam, Mahfud me-ngaku terlambat menyalurkan lantaran penghitungan yang diajukan departemen teknis kepada Departemen Keuangan juga terlambat. Ambil contoh soal migas, yang datanya baru masuk belakangan, sehingga penentuannya oleh Departemen Keuangan baru dilakukan pada bulan Mei. "Padahal, APBD telah berjalan setengah tahun," kata Mahfud meminta pengertian. Itu pun belum lengkap semuanya. Sektor kehutanan, misalnya, belum diputuskan karena sampai saat ini Departemen Kehutanan belum menyampaikan perhitungannya.
Namun, untuk DBH yang sudah ditetapkan pembagiannya, Mahfud menjamin pihak pemda bisa segera mencairkan. Sebagaimana diketahui, DBH dari sumber daya alam migas mencapai Rp 9,8 triliun. Dari jumlah itu Riau memperoleh bagian terbesar, yaitu sekitar Rp 3,916 triliun, berturut-turut diikuti Kalimantan Timur Rp 3,463 triliun, dan Aceh Rp 1,071 triliun. Apalagi pembicaraan di DPR menyangkut revisi anggaran sudah selesai. Maka, otomatis dana tersebut bisa langsung mengucur.
Ketua Panitia Anggaran, Benny Pasaribu, mengamini penjelasan Mahfud. "Sekarang semua sudah clear, dana itu bisa segera dicairkan," katanya. Adapun mengenai defisit anggaran beberapa daerah akibat minimnya DAU, pemerintah sudah mendapat lampu hijau dari DPR untuk membantu lewat dana kontijensi. Namun, dari jumlah Rp 3 triliun yang diajukan, DPR hanya menyetujui angka Rp 1,1 triliun. Dan, mulai pekan ini, dana cadangan itu mestinya sudah bisa dicairkan. Untuk Yogya, Mahfud memastikan daerah istimewa itu akan mendapat suntikan dana Rp 99,6 miliar untuk menambal DAU-nya yang bolong.
Sejumlah kepala daerah dan ketua DPRD tak ayal menyambut plong pencairan DBH dan penambahan DAU dari dana kontijensi tersebut. Bupati Kutai Kertanegra, Syaukani, menyatakan akan menggunakan dana Rp 250 miliar jatah daerahnya untuk membayar dana intensif bagi 6.000 guru. Mulai Juli mendatang ia juga akan melaksanakan pendidikan gratis bagi semua siswa untuk tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama.
Belum cukup, Syaukani akan memberikan beasiswa kepada seribu mahasiswa yang kuliah di Universitas Kertanegra. Kampus itu terletak di Tenggarong, ibu kota Kutai Kertanegra. Rencananya, tiap mahasiswa dari daerah pedalaman Mahakam itu akan menerima beasiswa Rp 900 ribu per tahun. Selain berjanji memberikan subsidi pendidikan, Syaukani yang juga Ketua Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia itu akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur di pedesaan. Masih ada satu lagi: mengembangkan ekonomi desa dengan Program Desa Satu Miliar.
Menurut program itu, tiap desa?dari 168 desa yang ada di Kutai Kertanegra?akan mendapat jatah dana Rp 1 miliar. Namun, dana itu baru diserahkan bila pemerintah dan masyarakatnya mengusulkan suatu proyek, misalnya tambak ikan, pertanian, atau usaha ternak. Itu pun setelah melalui seleksi dan penelitian yang melibatkan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Program semacam itu tentu masih jauh bagi Pemda Yogya, yang masih harus memprioritaskan urusan perut para pegawainya. Buat Yogya, dana tambahan Rp 99,6 miliar itu saja masih lebih kecil dari permintaan pemda yang Rp 142 miliar. Toh, menurut Mahfud, duit itu cukup untuk mengatasi kesulitan keuangan pemda. Hitungannya begini. Tahun anggaran ini pengeluaran untuk membayar gaji pegawai mencapai Rp 183 miliar, sedangkan pengeluaran nonpegawai Rp 22 miliar. Jadi, total Pemda Yogya harus keluar duit Rp 205 miliar. Sementara itu, DAU yang diterima mencapai Rp 127,2 miliar. Sehingga, dengan tambahan dana kontijensi, keseluruhan pemasukan pemda menjadi Rp 226 miliar. Jadi, masih ada sisa Rp 21 miliar. "Lumayan untuk menambah dana pembangunan yang mestinya dibiayai dari pendapatan asli daerahnya sendiri," kata Mahfud.
Namun, ada juga pendapat dari Kepala Bagian Keuangan Pemda Yogyakarta, Bambang Wisnu Handoyo, agar tambahan dana itu bisa pula digunakan untuk pembangunan. Sedangkan untuk menghemat pengeluaran gaji pegawai, ia mengusulkan pemerintah mengurangi jumlah pegawai. "Mbok sudah, rasionalisasi saja, pegawai kita sudah terlalu banyak," katanya.
Semua permasalahan lantaran tekad melaksanakan otonomi daerah itu memang memprihatinkan. Tapi, ibarat anak kecil belajar bersepeda, beberapa kali memang mesti terjatuh sebelum akhirnya menjadi mahir. Toh, menurut Mahfud, melihat hasil yang dicapai dalam waktu relatif singkat, proses desentralisasi di Indonesia justru cukup sukses. "Seharusnya pemerintah pusat dan daerah mendapat penghargaan," katanya. Ke depan, ia mewanti-wanti agar fondasi yang sudah dibangun sekarang dijaga dengan baik. Setiap langkah mesti dipikirkan dengan hati-hati, termasuk rencana melakukan revisi atas UU. No. 22 dan 25 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. "Agar kita tidak melangkah mundur," ujarnya.
N.D., Hadriani Pudjiarti, Ardi Bramantyo, Redy M.Z. (Kal-Tim), L.N. Idayanie (Yogya), Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini