Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sesaknya Napas Rakyat Banyak

Kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok jelas memberatkan masyarakat. Wong cilik memikul beban paling berat.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 30,1 persen terasa begitu menyesakkan buat Budi Aryanto. Sejak kenaikan itu dimaklumatkan pemerintah dua pekan lalu, penghasilan harian rata-rata pria 46 tahun yang biasa dipanggil Atek ini terpangkas sampai 40 persen. Sebelum harga bensin premium naik, sopir angkutan kota (angkot) jurusan Manggarai-Karet ini paling kurang setiap harinya membawa pulang Rp 50 ribu. "Sekarang gue cuma bisa nyetor Rp 30 ribu ke bini," katanya gundah. Wajar jika Atek gundah. Dengan penghasilan harian sebesar itu, beban hidupnya makin bertambah berat. Tiga orang anaknya, yang masing-masing duduk di bangku sekolah menengah umum, sekolah menengah pertama, dan sekolah dasar, jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi untuk biaya makan sehari-hari. Kemudian, setiap tahun dia harus mengeluarkan biaya kontrak rumah Rp 2 juta. Atek, yang sudah 12 tahun melakoni hidup sebagai sopir angkot, tidak tahu lagi harus berbuat apa. Mau cari kerja sampingan untuk tambahan penghasilan jelas tak mungkin. Selama tujuh hari dalam seminggu, sejak pukul 5 pagi hingga 10 malam, waktunya dihabiskan di balik kemudi angkot. Dengan 17 jam kerja, Atek bisa membawa penumpang delapan kali pergi-pulang Manggarai-Karet. Jika sekali jalan rata-rata dia mengangkut 12 penumpang dengan tarif Rp 1.000, ia hanya bisa mengantongi Rp 192 ribu per hari. Dari jumlah itu, dia harus menyetor Rp 85 ribu kepada pemilik kendaraan. Selain itu, ia mesti mengisi bensin (35 liter) seharga Rp 50.750?sebelum BBM naik, biayanya Rp 40.250?membayar iuran Koperasi Angkutan Purine Jaya (koperasi tempat bernaungnya 27 angkot jurusan Manggarai-Karet) sebesar Rp 3.250, dan menyetor uang untuk petugas timer (pencatat waktu) Rp 1.250. Total Rp 140.250. Ini biaya resmi yang harus dia keluarkan. Di luar itu, masih ada biaya tak resmi, yang suka tidak suka juga harus dikeluarkannya. Jumlahnya mencapai Rp 25 ribu per hari. Termasuk dalam biaya ini adalah uang calo dan?menurut istilah Atek?biaya lain-lain. Jadi, total pengeluaran Atek per hari mencapai Rp 165.250. Dengan hitungan itu, hanya Rp 26.750 yang dibawa pulang Atek. Setelah kini tarif angkot Manggarai-Karet naik dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.200, sejatinya Atek bisa sedikit lega. Jika memakai hitung-hitungan tadi, setidaknya ia mendapat tambahan hasil sekitar Rp 38.400 per hari. Tapi akan lain lagi ceritanya bila uang setoran ikut-ikutan naik. Namun, Atek punya teman dalam susah. Ia tidak sendiri. Banyak wong cilik lain yang juga sulit bernapas dicekik kenaikan harga berbagai kebutuhan sehari-hari menyusul kenaikan harga BBM. Tengok saja harga-harga di pasar. Seolah tidak mau kalah dengan BBM, harga sayur-mayur di pasar ikut-ikutan melambung. Berdasarkan pemantauan TEMPO, di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, harga cabai merah naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.000 per kilogram, cabai hijau mendaki dari Rp 4.000 ke Rp 5.000, bahkan harga cabai rawit langsung meroket dari Rp 4.000-5.000 menjadi dua kali lipat. Situasi serupa terlihat di Pasar Kramatjati. Di sini, harga bawang merah merangkak naik dari Rp 7.000 menjadi Rp 8.000 per kilogram, sedangkan bawang putih naik dari kisaran Rp 6.000-Rp 6.500 menjadi Rp 8.000- Rp 8.500 per kilogram. Kenaikan ini jelas akan membawa dampak naiknya harga makanan matang di warung-warung. Sopir angkot?seperti Atek?pengemudi taksi, tukang ojek, sopir bajaj dan bemo, serta pelanggan warung nasi pinggir jalan lainnya mau tidak mau harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan sepiring nasi di warung. Sebagai konsumen warung nasi pinggir jalan, Hasdiq Ramadhan, 27 tahun, merasakan betul kenaikan harga-harga makanan itu. Pegawai Laboratorium Hama Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Departemen Pertanian, Subang, Jawa Barat, yang tinggal di rumah kos di Jakarta ini mengaku berat dengan berbagai kenaikan itu. "Sekarang benar-benar hidup gali lubang tutup lubang. Tak ada gaji yang tersisa sampai akhir bulan," katanya. Sebelum kenaikan harga BBM, bahkan sebelum ia dipindahtugaskan ke Subang, Hasdiq agak sedikit leluasa. Ketika diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS) golongan dua pada 1997, ia ditempatkan di Proyek Pengendalian Hama Terpadu Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura di Jakarta dengan gaji sekitar Rp 300 ribu. Selain mendapat gaji, setiap bulan ia memperoleh tambahan insentif paling kurang Rp 120 ribu per bulan. Insentif itu diberikan sebagai kebijakan internal instansi. Penghasilannya bertambah ketika Habibie sebagai presiden mengeluarkan kebijakan tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) bagi PNS. Secara resmi, ketika itu, penghasilan Hasdiq setiap bulan sekitar Rp 510 ribu. Ditambah penghasilan tambahan dari lemburan di proyek kantornya, ia bisa membawa pulang uang sekitar Rp 700 ribu. Tidak banyak pengeluarannya ketika itu. Sewa kos Rp 120 ribu ditanggung bareng dengan tiga temannya. Berangkat ke kantor pun hanya sekali naik bus. Bahkan, ketika itu, ia dapat menyisihkan sedikit penghasilannya untuk tabungan. Hasil tabungan itu kemudian ia gunakan untuk masuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Kosgoro, Jakarta Selatan. "Biaya kuliahnya Rp 2 juta setahun saya bayar dari tabungan," katanya. Namun, semuanya berubah ketika awal Januari 2000 ia dipindahkan ke Subang. Ia terpaksa harus pergi-pulang Subang-Jakarta. Sebab, kuliahnya belum selesai. Dengan kenaikan ongkos angkutan umum, praktis pengeluarannya makin besar. "Gaji saya hanya untuk menutupi biaya transportasi ke Jakarta," katanya. Untuk menyiasati kekurangan biayanya, Hasdiq menghemat habis-habisan. Ia membagi waktu menginap di Subang dan Jakarta. Jika tidak penting benar, ia tidak masuk kuliah. Tapi pegawai seperti Hasdiq masih bisa melihat secercah harapan dengan keluarnya surat edaran Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan tertanggal 5 Juni 2001 mengenai penyesuaian gaji PNS, hakim, TNI, dan Polri. Terhitung sejak 1 Januari 2001, TPP yang sekitar Rp 300 ribu menjadi bagian dari gaji pokok, sedangkan tunjangan lain-lain, seperti tunjangan beras, tetap dibayarkan. Dengan demikian, bila surat edaran ini sudah berlaku, penghasilan total Hasdiq setiap bulan menjadi sekitar Rp 800 ribu. Agak melegakan. Jika penyesuaian sesuai dengan surat edaran itu tidak jadi diberlakukan, Hasdiq memastikan kuliahnya akan berhenti dan ia hidup kian menderita. "Untuk makan saja, saya harus irit seirit-iritnya," katanya. Hasdiq sesungguhnya masih "beruntung" karena masih banyak Atek lain?bahkan yang nasibnya lebih buruk?yang perjuangannya untuk tetap hidup pasti lebih keras. Jika pegawai negeri sipil bujangan model Hasdiq saja merasa sesak napas dengan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari, apalagi yang telah berkeluarga, apalagi yang penghasilannya jalan di tempat. Mereka pasti sesak napas tercekik harga-harga yang tak mau diajak kompromi. Hartono,Tomi Lebang, Endah W.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus