DEVALUASI rupiah sudah hampir genap sebulan. Pasar sejumlah
barang strategis belum kelihatan berputar normal. Penjualan
semen, misalnya, dengan Harga Pedoman Setempat (HPS) yang rata
dinaikkan 7% sejak pertengahan bulan ini, ternyata maslh lemah.
Di pelbagai daerah utama, pada tingkat pengecer, banyak merk
semen dijual di bawah HPS. Aziz, pengecer semen di Surabaya,
misalnya, masih menjual semen Gresik Rp 2.700 kendati HPS-nya
sudah Rp 2.825 per kantung. Untuk partai besar dia bahkan berani
menjual Rp 2.650. Di Yogya, PT Dharma Niaga, salah satu
subdistributor di kawasan itu, sering melepas semen dengan harga
Rp 2.800,- sedang HPS di sana Rp 2.925 per kantung.
Sejumlah subdistributor di Yogya malah dikabarkan berani menjual
dengan harga jauh di bawah HPS. Mungkin itu pula sebabnya Dharma
Niaga baru pada awal April bisa menghabiskan jatah semen untuk
Februari. Itu pun hanya 10 ribu kantung. Tadinya tiap bulan
perusahaan ini bisa menjual 25 ribu kantung. Sekarang, "Untung
Rp 20 per kantung tak apa-apa asal ajeg," ujar Soeranto dari
Dharma Niaga.
Dalam keadaan pasar masih lesu, seorang pengurus persatuan
distributor semen Tonasa di Ujungpandang, menganggap kenaikan
HPS di situ dari Rp 2.750 jadi Rp 2.950 per kantung, "terlalu
tinggi". Menurut dia, kemampuan beli masyarakat Ujungpandang
untuk setiap kantung semen paling banter hanya Rp 2.800. Karena
itulah dia menganggap kenaikan HPS semen Tonasa, yang pabriknya
justru tak jauh dari Ujungpandang, mestinya tidak lebih dari 6%,
bukan 8,2% seperti sekarang.
Seorang distributor semen di Jawa menganggap kenaikan HPS, yang
bermula dari pabrik itu, tidak wajar. Dia memperkirakan kenaikan
itu paling tinggi 4%, mengingat pemakaian gypsum, salah satu
bahan baku semen yang masih diimpor, juga sebesar itu. Apalagi
semen Gresik, misalnya, kini bisa menikmati harga impor gypsum
eks Australia yang turun dari US$48 jadi US$33 pcr ton.
Sebetulnya "soal komponen gypsum itu kecil sekali pengaruhnya,"
ujar distributor itu.
Benarkah? Kepada wartawan TEMPO Marah Sakti, Menteri
Perindustrian Hartarto mencoba memberi sejumlah alasan.
Devaluasi, katanya, telah menyebabkan pabrik harus mengeluarkan
rupiah lebih banyak lagi untuk membeli bahan baku impor, dan
juga untuk mencicil utang dari luar negeri (offshore loans).
Dengan kata lain, di dalam harga baru semen itu sudah pula
dimasukkan komponen bi.,ya uang, selain kenaikan
komponen bahan baku. Tapi sejauh ini Menteri Hartarto menganggap
kenaikan harga semen itu masih 'dalam tingkat yang wajar".
Soeranto dari Dharma Niaga, Yogya, memperkirakan pasar bakal
kembali membaik pada Mei-Juni. Saat itulah "proyekproyek
pemerintah mulai jalan," katanya.
Ada benarnya. Daftar Isian Proyek, misalnya, pekan lalu baru
saja dibagikan kepada para menteri dan gubernur. Penyesuaian
harga kontrak borongan pekerjaan sipil, yang menyangkut pelbagai
macam komponen bangunan, juga baru saja diturunkan pekan lalu.
Sekali ini para kontraktor bisa agak lega. Pada Januari lalu.
kctiha BBM naik dan menyebabkan pengeluaran operasional juga
naik, para kontraktor tidakmemperoleh penyesuaian harga borongan.
Kendati demikian banyak kontraktor yang tahun ini membayangkan
hanya akan memperoleh untung tipis, mengingat besi profil, salah
satu bahan utama konstruksi yang masih diimpor, naik pula. Ingot
standar kualitas besi beton (besi profil), misalnya, naik dari
Rp 227 jadi Rp 261 per kg scjak 11 April. Jika volume pemakaian
besi profil itu besar, kenaikan sebesar 15% itu jelas sangat
mempengaruhi harga borongan. Akibatnya "keuntungan pun akan
berkurang," ujar Rumintarto, kepala cabang PT Konstruksi
Dirgantara, Yogya.
Apa boleh buat. Demi r.elindungi industri baja dalam negeri,
terutama PT Krakatau Steel, pemerintah terpaksa turut mengontrol
harga baja olahan eks impor itu. Pada mulanya memang, harga baja
olahan eks impor, mungkin karena sudah diproduksi secara efisien
dan juga mungkin karena dumping, lebih murah dibanding eks
Krakatau Steel. Kini harga 9 jenis baja eks impor, termasuk juga
slab dan Hot Rolled Coils, sudah sama dengan harga eks Krakatau
Stecl. Tapi karena baja olahan eks impor kini juga terkena bea
masuk tinggi "bukan tidak mungkin harga baja olahan Krakatau
Steel akan lebih murah," kata seorang pejabat di Pusat Pengadaan
Besi Baja, yang paling berwenang menetapkan volume kebutuhan
baja impor.
Selain semen dan baja, Menteri Perdagangan Rachmat Saleh 11
April lalu juga mcnaikkan harga Jual kertas koran impor dari Rp
425 jadi Rp 450 per kg sampai gudang penerbit. PT Panca Niaga,
konon segera mengikuti ketetapan baru itu. Sedang PT Serikat
Grafika Pers dan PT In Pers, dua importir kertas koran
terkemuka, baru akan memberlakukan harga baru itu Juni
mendatang. Kenaikan memang tak perlu scgcra dilakukan mengingat
In Pers, misalnya, masih bisa memperoleh kertas koran dcngan
harga sekitar US$405 per metrik ton atau Rp 393 per kg. Dan
"belum ada tanda-tanda akan naik," kata Sunardi D.M. kepada
TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini