Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu harga normal

Harga semen di pasaran di bawah harga pedoman setempat (hps) yang rata-rata dinaikkan 7%. pasaran lesu dan banyak stock menumpuk. (eb)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEVALUASI rupiah sudah hampir genap sebulan. Pasar sejumlah barang strategis belum kelihatan berputar normal. Penjualan semen, misalnya, dengan Harga Pedoman Setempat (HPS) yang rata dinaikkan 7% sejak pertengahan bulan ini, ternyata maslh lemah. Di pelbagai daerah utama, pada tingkat pengecer, banyak merk semen dijual di bawah HPS. Aziz, pengecer semen di Surabaya, misalnya, masih menjual semen Gresik Rp 2.700 kendati HPS-nya sudah Rp 2.825 per kantung. Untuk partai besar dia bahkan berani menjual Rp 2.650. Di Yogya, PT Dharma Niaga, salah satu subdistributor di kawasan itu, sering melepas semen dengan harga Rp 2.800,- sedang HPS di sana Rp 2.925 per kantung. Sejumlah subdistributor di Yogya malah dikabarkan berani menjual dengan harga jauh di bawah HPS. Mungkin itu pula sebabnya Dharma Niaga baru pada awal April bisa menghabiskan jatah semen untuk Februari. Itu pun hanya 10 ribu kantung. Tadinya tiap bulan perusahaan ini bisa menjual 25 ribu kantung. Sekarang, "Untung Rp 20 per kantung tak apa-apa asal ajeg," ujar Soeranto dari Dharma Niaga. Dalam keadaan pasar masih lesu, seorang pengurus persatuan distributor semen Tonasa di Ujungpandang, menganggap kenaikan HPS di situ dari Rp 2.750 jadi Rp 2.950 per kantung, "terlalu tinggi". Menurut dia, kemampuan beli masyarakat Ujungpandang untuk setiap kantung semen paling banter hanya Rp 2.800. Karena itulah dia menganggap kenaikan HPS semen Tonasa, yang pabriknya justru tak jauh dari Ujungpandang, mestinya tidak lebih dari 6%, bukan 8,2% seperti sekarang. Seorang distributor semen di Jawa menganggap kenaikan HPS, yang bermula dari pabrik itu, tidak wajar. Dia memperkirakan kenaikan itu paling tinggi 4%, mengingat pemakaian gypsum, salah satu bahan baku semen yang masih diimpor, juga sebesar itu. Apalagi semen Gresik, misalnya, kini bisa menikmati harga impor gypsum eks Australia yang turun dari US$48 jadi US$33 pcr ton. Sebetulnya "soal komponen gypsum itu kecil sekali pengaruhnya," ujar distributor itu. Benarkah? Kepada wartawan TEMPO Marah Sakti, Menteri Perindustrian Hartarto mencoba memberi sejumlah alasan. Devaluasi, katanya, telah menyebabkan pabrik harus mengeluarkan rupiah lebih banyak lagi untuk membeli bahan baku impor, dan juga untuk mencicil utang dari luar negeri (offshore loans). Dengan kata lain, di dalam harga baru semen itu sudah pula dimasukkan komponen bi.,ya uang, selain kenaikan komponen bahan baku. Tapi sejauh ini Menteri Hartarto menganggap kenaikan harga semen itu masih 'dalam tingkat yang wajar". Soeranto dari Dharma Niaga, Yogya, memperkirakan pasar bakal kembali membaik pada Mei-Juni. Saat itulah "proyekproyek pemerintah mulai jalan," katanya. Ada benarnya. Daftar Isian Proyek, misalnya, pekan lalu baru saja dibagikan kepada para menteri dan gubernur. Penyesuaian harga kontrak borongan pekerjaan sipil, yang menyangkut pelbagai macam komponen bangunan, juga baru saja diturunkan pekan lalu. Sekali ini para kontraktor bisa agak lega. Pada Januari lalu. kctiha BBM naik dan menyebabkan pengeluaran operasional juga naik, para kontraktor tidakmemperoleh penyesuaian harga borongan. Kendati demikian banyak kontraktor yang tahun ini membayangkan hanya akan memperoleh untung tipis, mengingat besi profil, salah satu bahan utama konstruksi yang masih diimpor, naik pula. Ingot standar kualitas besi beton (besi profil), misalnya, naik dari Rp 227 jadi Rp 261 per kg scjak 11 April. Jika volume pemakaian besi profil itu besar, kenaikan sebesar 15% itu jelas sangat mempengaruhi harga borongan. Akibatnya "keuntungan pun akan berkurang," ujar Rumintarto, kepala cabang PT Konstruksi Dirgantara, Yogya. Apa boleh buat. Demi r.elindungi industri baja dalam negeri, terutama PT Krakatau Steel, pemerintah terpaksa turut mengontrol harga baja olahan eks impor itu. Pada mulanya memang, harga baja olahan eks impor, mungkin karena sudah diproduksi secara efisien dan juga mungkin karena dumping, lebih murah dibanding eks Krakatau Steel. Kini harga 9 jenis baja eks impor, termasuk juga slab dan Hot Rolled Coils, sudah sama dengan harga eks Krakatau Stecl. Tapi karena baja olahan eks impor kini juga terkena bea masuk tinggi "bukan tidak mungkin harga baja olahan Krakatau Steel akan lebih murah," kata seorang pejabat di Pusat Pengadaan Besi Baja, yang paling berwenang menetapkan volume kebutuhan baja impor. Selain semen dan baja, Menteri Perdagangan Rachmat Saleh 11 April lalu juga mcnaikkan harga Jual kertas koran impor dari Rp 425 jadi Rp 450 per kg sampai gudang penerbit. PT Panca Niaga, konon segera mengikuti ketetapan baru itu. Sedang PT Serikat Grafika Pers dan PT In Pers, dua importir kertas koran terkemuka, baru akan memberlakukan harga baru itu Juni mendatang. Kenaikan memang tak perlu scgcra dilakukan mengingat In Pers, misalnya, masih bisa memperoleh kertas koran dcngan harga sekitar US$405 per metrik ton atau Rp 393 per kg. Dan "belum ada tanda-tanda akan naik," kata Sunardi D.M. kepada TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus