HANYA seminggu sesudah isu sanering padam, situasi pasar uang di Jakarta pekan lalu menunJukkan perubahan luar biasa. Rupiah,
yang menjelang devaluasi sangat mahal, kini melimpah di pelbagai
bank devisa nasional dan asing. Situasi kelebihan likuiditas itu
terjadi setelah pelbagai dana dalam dollar AS, yang parkir di
perbankan luar dan dalam negeri dicairkan para pemiliknya ke
dalam rupiah.
Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah itu, menurut
Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana di depan
Kadin pekan lalu, telah menaikkan posisi deposito dan tabungan
di pelbagai bank. Dia benar. Selain deposito, posisi rekening
giro di Bank Perniagaan Indonesia Jakarta, misalnya, naik 30%
April ini dibandingkan bulan sebelumnya. Masuknya rupiah dalam
jumlah besar itu, menurut Mu'min Ali, direktur Panin Bank,
menunjukkan kebijaksanaan pemerintah memaksa rupiah
kembali "berhasil".
Kebijaksanaan pemerintah yang disebut adalah mengenai devaluasi
dan pagu pertambahan kredit, yang tahun ini hanya akan naik
sebesar 15% - sedang pada tahun anggaran sebelumnya mencapai
40%. Upaya mengerem ekspansi moneter, yang ditujukan untuk
mengendalikan inflasi itu, ternyata telah menaikkan suku bunga
pinjaman dari rata-rata24% menjadi 26% per tahun. Mahalnya
biaya rupiah itu tampaknya telah mendorong sejumlah pengusaha
untuk mencairkan dollarnya yang disimpan di luar negeri.
Sedang sebagian pengusaha menurut James T. Riady, dirut BPI,
lebih suka melakukan pinjaman ke luar negeri (offshore loans).
Dibandingkan dengan rupiah, suku bunga antarbank di Singapura
(Sibor) yang 9,5%, misalnya, memang lebih menarik. Karena itulah
"saya menyuruh orang-orang saya, yang bergerak di bidang usaha
agar pinjam dollar AS saja di Singapura," kata James Riady
kepada Marah Sakti dari TEMPo. Apalagi rupiah di sini sangat
mahal. Hingga "hanya pengusaha bonafid yang bisa mendapatkan
kredit komersial dengan bunga 22% setahun," katanya.
Tapi akibatnya, menurut I Nyoman Moena, ketua Perhimpunan Bank
Nasinal Swasta, banyak dana rupiah kini menganggur di pelbagai
bank. Dia menduga banyaknya dan menganggur (overnight) itu
berkaitan erat dengan lesunya dunia usaha, dan sikap menahan
diri dari pengusaha. Pendeknya "pasar uang kini sedang sepi,"
kata Moena, yang juga dirut Overseas Express Bank.
Bisa dipastikan Bank Indonesia akan tetap mempertahankan suku
bunga pinjaman rupiah yang demikian tinggi, untuk sementara.
Apalagi kurs rupiah terhadap dollar AS belakangan ini mengalami
semacam revaluasi. Banyaknya orang yang menjual dollar ke bank
setelah devaluasi rupiah yang lalu, membuat nilai rupiah naik
gengsinya terhadap dollar. Seorang pengusaha besar yang butuh
rupiah, mengaku hanya mendapat 940 untuk 1 dollar AS. "Karena
saya amat butuh rupiah, ya okey saja," katanya. Untuk transaksi
yang besar, kini bank-bank devisa umumnya memasang kurs antara
940-950 untuk 1 dollar AS.
Sampai kapan kecenderungan revaluasi kurs rupiah ini akan
terjadi, itu tentu tergantung dari banyak hal, antara lain
seberapa jauh pemerintah bisa mengerem la)u dari defisit
transaksi berjalan pada neraca pembayaran, yang dalam tahun
anggaran 1982/1984 mencapai sekitar US$7,3 milyar. Untuk mencegah
defisit neraca pembayaran yang lebih besar, pemerintah
melakukannya dengan mengerem secara lebih pakem arus impor
barang-barang yang tidak esensial, misalnya barang elektronik,
di samping membuat pagu kredit yang tahun lalu masih 40%
menjadi seramping 15% tahun ini.
Sepinya pasar uang itu ternyata berpengaruh besar pada tingkat
suku bunga pinjaman antarbank (call money). Nyoman Moena,
misalnya, Rabu pekan lalu mendapat tawaran pinjaman antarbank,
yaitu pinjaman jangka pendek maksimum 7 hari, dengan bunga 13%.
Tapi tiga hari kemudian The Hongkong and Shanghai Banking Corp.
di Jakarta berani memberikan pinjaman antarbank dengan bunga
10% per tahun. Di hari itu Pardi Khendy dari foreign exchange
dealer bank tersebut beberapa kali menerima telepon permintaan
dana, Rp 3 juta sampai Rp 10 juta, dari sejumlah bank lain.
Langkah memasarkan dana dengan murah seperti itu memang terpaksa
dilakukan oleh sejumlah bank yang kelebihan likuiditas rupiah.
"Daripada nganggur, akan lebih baik )ika dana itu dipin)amkan
kepada rekan (bank) yang butuh likuiditas," ujar Pardi.
Situasi pasar uang yang berat kini kelihatan sangat bertentangan
dengan hari-hari menjelang devaluasi. Bunga pinjaman antarbank
ketika itu meroket sampai 30%. Permintaan akan pinjaman
likuiditas itu menggelembung besar mengingat banyak bank yang
menggunakan dana rupiah untuk membeli valuta asing, dan menutup
kontrak sqap. Pada tanggal 29 Maret itu, hanya sehari menjelang
devaluasi, "saya sendiri sampai setengah mati mencari pinjaman
likuiditas itu," ungkap Moena.
Tetapi sesudah devaluasi, bunga pinjaman antarbank itu merosot
secara berangsur. Tingkat bunga itu tentu akan semakin terus
turun jika dana rupiah dari nasabah semakin besar mengalir ke
lembaga perbankan. Dan hal itu tampaknya akan terjadi hari-hari
ini mengingat suku bunga deposito rupiah lebih menarik ketimbang
dollar AS. Di Bank Niaga, Jakarta, misalnya, deposito untuk
dollar AS hanya 6-6,5% per tahun, sedang rupiah 16,5-18% per
tahun dengan jangka 1-3 bulan.
Suku bunga deposito dollar di Asian Currency Unit (ACU)
Singapura, yang kini berkisar 8,625 - 9% per tahun, tampaknya
juga kurang menarik lagi. Pendeknya "kalau bunga deposito rupiah
masih di atas 15% setahun, orang diJakarta masih merasa aman
menyimpan dalam rupiah," ujar Pardi dari The Hongkong and
Shanghai Bank.
Sulitnya sekarang, bank yang berkelebihan likuiditas itu, karena
dibayangi kecilnya pagu pertambahan kredit, bersikap agak pelit
meminjamkan dananya kepada nasabah. Jika sikap selektif bank itu
berlanjut terus, Robby Djohan, direktur Bank Niaga, Jakarta,
menduga banyak bank akan meninjau kembali bunga deposito rupiah
yang kini berada pada tingkat 16 - 18%.
Seandainya bunga deposito rupiah tadi turun sampai 14%, ia
mengkhawatirkan banyak orang akan lari lagi ke deposito valuta
asing. Tapi dia yakin hal ini tak akan terjadi. "Pemerintah
tentu tak akan membiarkannya," ujar Robby kepada wartawan TEMPO
Max Wangkar.
Sejauh ini memang belum tampak tandatanda Bank Indonesia,
sebagai otoritas moneter di sini, akan mengeluarkan
kebijaksanaan baru. "Pokoknya asal tidak ada desas-desus
mengenai tindakan moneter baru, tidak akan banyak uang yang
parkir di luar negeri," ujar Mu'min Ali dari Panin Bank.
Desas-desus tentang sanering yang sempat bikin panik sebagian
konsumen 15 April lalu memang sudah berlalu. Mudah-mudahan
pemerintah cepat membantah desasdesus lain yang sampai pekan
lalu masih beredar di Jakarta dan Singapura: bahwa biaya fiskal
yang kini Rp 150.000 akan dinaikkan dua kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini