Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rupiah Sudah Pulang Dan Menganggur

Seminggu setelah isu sanering padam, bank-bank mulai kebanjiran rupiah. suku bunga pinjaman dalam negeri dibiarkan tinggi, dan suku bunga deposito turun banyak yang mencari dana dari singapura. (eb)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA seminggu sesudah isu sanering padam, situasi pasar uang di Jakarta pekan lalu menunJukkan perubahan luar biasa. Rupiah, yang menjelang devaluasi sangat mahal, kini melimpah di pelbagai bank devisa nasional dan asing. Situasi kelebihan likuiditas itu terjadi setelah pelbagai dana dalam dollar AS, yang parkir di perbankan luar dan dalam negeri dicairkan para pemiliknya ke dalam rupiah. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap rupiah itu, menurut Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana di depan Kadin pekan lalu, telah menaikkan posisi deposito dan tabungan di pelbagai bank. Dia benar. Selain deposito, posisi rekening giro di Bank Perniagaan Indonesia Jakarta, misalnya, naik 30% April ini dibandingkan bulan sebelumnya. Masuknya rupiah dalam jumlah besar itu, menurut Mu'min Ali, direktur Panin Bank, menunjukkan kebijaksanaan pemerintah memaksa rupiah kembali "berhasil". Kebijaksanaan pemerintah yang disebut adalah mengenai devaluasi dan pagu pertambahan kredit, yang tahun ini hanya akan naik sebesar 15% - sedang pada tahun anggaran sebelumnya mencapai 40%. Upaya mengerem ekspansi moneter, yang ditujukan untuk mengendalikan inflasi itu, ternyata telah menaikkan suku bunga pinjaman dari rata-rata24% menjadi 26% per tahun. Mahalnya biaya rupiah itu tampaknya telah mendorong sejumlah pengusaha untuk mencairkan dollarnya yang disimpan di luar negeri. Sedang sebagian pengusaha menurut James T. Riady, dirut BPI, lebih suka melakukan pinjaman ke luar negeri (offshore loans). Dibandingkan dengan rupiah, suku bunga antarbank di Singapura (Sibor) yang 9,5%, misalnya, memang lebih menarik. Karena itulah "saya menyuruh orang-orang saya, yang bergerak di bidang usaha agar pinjam dollar AS saja di Singapura," kata James Riady kepada Marah Sakti dari TEMPo. Apalagi rupiah di sini sangat mahal. Hingga "hanya pengusaha bonafid yang bisa mendapatkan kredit komersial dengan bunga 22% setahun," katanya. Tapi akibatnya, menurut I Nyoman Moena, ketua Perhimpunan Bank Nasinal Swasta, banyak dana rupiah kini menganggur di pelbagai bank. Dia menduga banyaknya dan menganggur (overnight) itu berkaitan erat dengan lesunya dunia usaha, dan sikap menahan diri dari pengusaha. Pendeknya "pasar uang kini sedang sepi," kata Moena, yang juga dirut Overseas Express Bank. Bisa dipastikan Bank Indonesia akan tetap mempertahankan suku bunga pinjaman rupiah yang demikian tinggi, untuk sementara. Apalagi kurs rupiah terhadap dollar AS belakangan ini mengalami semacam revaluasi. Banyaknya orang yang menjual dollar ke bank setelah devaluasi rupiah yang lalu, membuat nilai rupiah naik gengsinya terhadap dollar. Seorang pengusaha besar yang butuh rupiah, mengaku hanya mendapat 940 untuk 1 dollar AS. "Karena saya amat butuh rupiah, ya okey saja," katanya. Untuk transaksi yang besar, kini bank-bank devisa umumnya memasang kurs antara 940-950 untuk 1 dollar AS. Sampai kapan kecenderungan revaluasi kurs rupiah ini akan terjadi, itu tentu tergantung dari banyak hal, antara lain seberapa jauh pemerintah bisa mengerem la)u dari defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran, yang dalam tahun anggaran 1982/1984 mencapai sekitar US$7,3 milyar. Untuk mencegah defisit neraca pembayaran yang lebih besar, pemerintah melakukannya dengan mengerem secara lebih pakem arus impor barang-barang yang tidak esensial, misalnya barang elektronik, di samping membuat pagu kredit yang tahun lalu masih 40% menjadi seramping 15% tahun ini. Sepinya pasar uang itu ternyata berpengaruh besar pada tingkat suku bunga pinjaman antarbank (call money). Nyoman Moena, misalnya, Rabu pekan lalu mendapat tawaran pinjaman antarbank, yaitu pinjaman jangka pendek maksimum 7 hari, dengan bunga 13%. Tapi tiga hari kemudian The Hongkong and Shanghai Banking Corp. di Jakarta berani memberikan pinjaman antarbank dengan bunga 10% per tahun. Di hari itu Pardi Khendy dari foreign exchange dealer bank tersebut beberapa kali menerima telepon permintaan dana, Rp 3 juta sampai Rp 10 juta, dari sejumlah bank lain. Langkah memasarkan dana dengan murah seperti itu memang terpaksa dilakukan oleh sejumlah bank yang kelebihan likuiditas rupiah. "Daripada nganggur, akan lebih baik )ika dana itu dipin)amkan kepada rekan (bank) yang butuh likuiditas," ujar Pardi. Situasi pasar uang yang berat kini kelihatan sangat bertentangan dengan hari-hari menjelang devaluasi. Bunga pinjaman antarbank ketika itu meroket sampai 30%. Permintaan akan pinjaman likuiditas itu menggelembung besar mengingat banyak bank yang menggunakan dana rupiah untuk membeli valuta asing, dan menutup kontrak sqap. Pada tanggal 29 Maret itu, hanya sehari menjelang devaluasi, "saya sendiri sampai setengah mati mencari pinjaman likuiditas itu," ungkap Moena. Tetapi sesudah devaluasi, bunga pinjaman antarbank itu merosot secara berangsur. Tingkat bunga itu tentu akan semakin terus turun jika dana rupiah dari nasabah semakin besar mengalir ke lembaga perbankan. Dan hal itu tampaknya akan terjadi hari-hari ini mengingat suku bunga deposito rupiah lebih menarik ketimbang dollar AS. Di Bank Niaga, Jakarta, misalnya, deposito untuk dollar AS hanya 6-6,5% per tahun, sedang rupiah 16,5-18% per tahun dengan jangka 1-3 bulan. Suku bunga deposito dollar di Asian Currency Unit (ACU) Singapura, yang kini berkisar 8,625 - 9% per tahun, tampaknya juga kurang menarik lagi. Pendeknya "kalau bunga deposito rupiah masih di atas 15% setahun, orang diJakarta masih merasa aman menyimpan dalam rupiah," ujar Pardi dari The Hongkong and Shanghai Bank. Sulitnya sekarang, bank yang berkelebihan likuiditas itu, karena dibayangi kecilnya pagu pertambahan kredit, bersikap agak pelit meminjamkan dananya kepada nasabah. Jika sikap selektif bank itu berlanjut terus, Robby Djohan, direktur Bank Niaga, Jakarta, menduga banyak bank akan meninjau kembali bunga deposito rupiah yang kini berada pada tingkat 16 - 18%. Seandainya bunga deposito rupiah tadi turun sampai 14%, ia mengkhawatirkan banyak orang akan lari lagi ke deposito valuta asing. Tapi dia yakin hal ini tak akan terjadi. "Pemerintah tentu tak akan membiarkannya," ujar Robby kepada wartawan TEMPO Max Wangkar. Sejauh ini memang belum tampak tandatanda Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter di sini, akan mengeluarkan kebijaksanaan baru. "Pokoknya asal tidak ada desas-desus mengenai tindakan moneter baru, tidak akan banyak uang yang parkir di luar negeri," ujar Mu'min Ali dari Panin Bank. Desas-desus tentang sanering yang sempat bikin panik sebagian konsumen 15 April lalu memang sudah berlalu. Mudah-mudahan pemerintah cepat membantah desasdesus lain yang sampai pekan lalu masih beredar di Jakarta dan Singapura: bahwa biaya fiskal yang kini Rp 150.000 akan dinaikkan dua kali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus