Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menurut kedubes AS.

Menurut laporan yang dikeluarkan kedubes AS di Jakarta eksplorasi minyak Indonesia masih tetap tinggi, meski Indonesia terikat pembatasan produksi. sebagian besar berasal dari sumur produksi lama. (eb)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASARAN minyak dunia masih lemah, tapi eksplorasi minyak di Indonesia masih terus mengalami boom. Demikian pengamatan sebuah laporan yang dikeluarkan Kedubes AS di Jakarta Juni lalu. Jumlah sumur, kata laporan itu, mencapai rekor 244 tahun lalu. Jumlah biaya yang dikeluarkan melebihi US$ 1 milyar selama dua tahun terturut-turut, bahkan jumlah seluruh pengeluaran kontraktor minyak asing untuk eksplorasi dan produksi mencapai US$.3,1 milyar pada 1981, US$ 1 milyar lebih banyak dari tahun sebelumnya. Sumur yang direncanakan dibor tahun ini akan bertambah lagi dengan 40, mencapai biaya yang meningkat menjadi US$ 4,2 milyar. Sekalipun perkembangan ini cukup menyenangkan, laporan itu juga agak menyayangkan karena penemuan baru selama 1981 sebagian besar terjadi pada sumur-sumur yang memang sudah berproduksi sebelumnya (secondary discovery). Produksi minyak Indonesia mencapai rata-rata 1,6 juta barrel sehari pada 1981, 1,4% lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dan mulai April tahun ini, sesuai kesepakatan OPEC, Indonesia harus membatasi produksinya pada 1, 3 juta barrel sehari. Menurut laporan itu, ini adalah untuk pertama kali produksi minyak Indonesia dibatasi oleh pasar, bukan oleh kapasitas. Meramal berapa produksi minyak Indonesia tahun ini agak sulit, karena masih ada ketidakpastian di pasar minyak. Sekalipun, misalnya, Indonesia mampu memulihkan produksinya secara penuh semester kedua ini, jumlahnya tidak lebih dari 1,5 juta barrel sehari. Dan kalau Indonesia ingin terus menambah kapasitas produksinya, tingkat eksplorasi yang tinggi seperti pernah terjadi pada 1981 harus terus dipertahankan. Dalam sebuah dengar pendapat dengan DPR belum lama berselang, Dir-Ut Pertamina Judo Soembono memperkirakan sekurangnya 170 sumur harus dibor setiap tahun hanya untuk mempertahankan kapasitas yang sekarang ini. Dan supaya cadangan minyak tidak merosot, Indonesia harus bisa menemukan 600 juta barrel cadangan minyak baru setiap tahun. Pengalaman menunjukkan, jarang sekali tingkat cadangan sebanyak ini bisa ditemukan. Indonesia mengekspor 1,05 juta barrel sehari yang sebagian besar dibeli Jepang, dan AS yang pada 1981 masingmasing membeli 50% dan 24% minyak Indonesia. Penjualan ke kedua negara ini pada masa itu turun dengan 6,4% dan 20,5% dibanding tahun sebelumnya. Menurut laporan itu, sekalipun pasaran minyak di Jepang, dan AS melemah, Indonesia ternyata masih bisa mempertahankan pasarannya, malahan bisa menambah ekspornya ke Bahama, Trinidtd, Australia, dan Singapura. Pada 1 Januari 1981, Indonesia menaikkan harga minyaknya 10,5%, hingga harga minyaknya berkisar antara US$ 32,95 - US$ 38,25. Tapi mulai Mei, pasaran mulai melemah. Ini memaksa Indonesia untuk menurunkan harga premiumnya pada Juli, Agustus dan September, dan mulai November bahkan harus menghapuskan semua harga premiumnya. Laporan Kedubes AS itu juga menilai nasib Indonesia masih lebih baik dibanding beberapa anggota OPEC lain. Sikap Indonesia yang selalu moderat di bidang harga, dan reputasinya sebagai pensuplai yang bisa diandalkan, sangat membantu dalam mempertahankan para konsumennya yang setia. Konsumsi BBM di dalam negeri yang cukup mengkhawatirkan pemerintah dengan tingkat pertambahan 12% tiap tahun, menurut laporan itu, memperlihatkan tanda-tanda akan menurun. Sesudah harga BBM naik pada Mei 1979 dan Mei 1980, konsumsi BBM naik 11,8% pada 1980 dan 10,5% pada 1981. Dan sesudah kenaikan harga terakhir sebesar 60% awal tahun ini, tingkat kenaikan konsumsi turun 8,6% selama kuartal pertama tahun ini dibanding kuartal yang sama tahun lalu. LAPORAN itu tidak menyebut apakah penurunan ini berasal dari resesi yang menimpa industri di Indonesia, atau karena memang sudah ada penghematan energi yang nyata. Dari data yang disajikan bisa dilihat bahwa selain listrik, yang tingkat pertambahan konsumsinya naik, kenaikan pemakaian minyak oleh sektor rumahtangga, pengangkutan, dan industri memang turun antara 1980-1981. Menurut laporan itu, penurunan tingkat kenaikan konsumsi BBM yang disebabkan kenaikan harga, "akan memperluas horizon ekspor Indonesia." Di samping minyak, laporan Kedubes AS itu juga menyoroti perkembangan yang terjadi pada gas alam cair (LNG). Indonesia tahun lalu merupakan pengekspor gas alam nomor satu di dunia, dengan nilai US$ 2,5 milyar. Volumenya tak banyak berubah. Itu merupakan indikasi produksi sudah mencapai kapasitas penuh pada lima proyek yang sudah bekerja. Peningkatan produksi baru bisa terjadi bila perluasan proyek yang sekarang tengah dikerjakan itu selesai pada akhir 1983, atau awal 1984. Pada waktu itu produksi LNG Indonesia akan meningkat 80%. Pada April 1981 Pertamina mencapai persetujuan dengan beberapa pembeli di Jepang yang bersedia membeli hasil perluasan proyek di Arun dan Bontang. Untuk LNG hasil proyek baru nanti penetapan harganya akan berbeda dengan LNG yang sekarang sudah diproduksi. Pertama, harganya lebih tinggi, yaitu US$ 5,87 per satu juta BTU untuk eks Bontang, dan US$ 5,78 untuk eks Arun dibanding US$ 5,49 yang sekarang ini. Kedua, harganya dikaitkan dengan harga minyak mentah Indonesia seluruhnya. Kontrak yang sekarang hanya 90% yang dikaitkan dengan harga minyak dan 10% dengan faktor inflasi. Perbedaan ketiga, harganya aus dasar "free on board dan bukan cost and freight seperti yang sekarang. Ini artinya, soal kapal dan ongkos angkut menjadi urusan pihak pembeli. Perkembangan industri LNG Indonesia sesudah 1985 akan tergantung dari kemampuan Indonesia mencari tambahan pembeli. Selama ini Jepang adalah pembeli terbesar, dan agaknya pasaran LNG di Jepang tidak akan terus baik seperti sekarang. Jepang baru saja menurunkan proyeksi permintaannya akan LNG sampai akhir dekade ini. Sementara itu beberapa produsen baru LNG-Australia, Qatar, Kanada, dan Malaysia -- akan muncul dan akan segera bersaing dalam pasaran yang terbatas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus