PAKAIAN jadi (garment) anak-anak eks Taiwan sedang ramai di
sini. Toko Matahari di pusat perbelanjaan Ratu Plaza (Jakarta),
misalnya, mengobralnya Rp 2.900 sampai Rp 5. 200 setiap potong.
Baju anak-anak usia 3-12 tahun, terutama merk Shang Yu, Mei Lu,
Chiang Li, dan Shey Meii, jadi rebutan. "Lebih murah beli jadi
daripada harus menjahit sendiri, modelnya pun bagus-bagus," kata
seorang ibu yang berbelanja di toko itu.
Pasaraya Sarinah Jaya, Kebayoran Baru, juga menjual pakaian
sejenis dengan harga bersaing. Juga di hampir semua pusat
perbelanjaan Jakarta: Glogok Plaza, Duta Merlin, Metro (Pasar
Baru), Ratu Plaza, dan Aldiron Plaza, pakaian anak-anak eks
Taiwan disukai. Kehadirannya sejak pertengahan Juni dengan cepat
mendesak pakaian sejenis eks Jepang yang berharga rata-rata di
atas Rp 10 ribu setiap potong.
Adakah pakaian jadi anak-anak eks Taiwan itu diimpor? Menurut
Wartono, Ketua Harian I Asosiasi Perdagangan Tekstil Indonesia,
masuknya pakaian jadi itu tak melalui prosedur impor yang layak,
alias ilegal. "Secara resmi tidak ada ekspor garment anak-anak
ke Indonesia," kata James C.W. Tao, jurubicara Kamar Dagang
Taiwan di Jakarta. Dari ekspor Taiwan ke Indonesia (US$ 500
juta/1980, US$ 424 juta/1981), hampir seluruhnya berwujud barang
elektronik, mesin, suku cadang, keramik dan synthetic fibre.
Balram T. Vatvani, Direktur M/S Balram TV, pembuat pakaian jadi
anak-anak, menduga pakaian anak-anak eks Taiwan itu merupakan
barang cangkingan inang-inang. "Kalau pun resmi diimpor
harg,anya niscaya akan mahal," katanya.
Seorang pengusaha pakaian jadi terkemuka membenarkan anggapan
itu. Impor Pakaian jadi anak-anak eks Taiwan dalam jumlah
kecil, katanya, pernah dilakukan sejumlah pengusaha. Setibanya
di Jakarta, pakaian eks impor tadi dicampur dengan pakaian eks
lokal, yang disain, jahitan, dan bahannya sama, dan membaak
merk-merk yang terkenal dari Taiwan. Dengan cara itulah, menurut
pengusaha itu, harga pakaian jadi anak-anak "eks Taiwan" bisa
ditekan rendah. "Langkah seperti itu terpaksa dilakukan karena
konsumen menyukai merk-merk impor," katanya. "Apa boleh buat."
Situasi pasar men]elang Lebaran cukup menyenangkan PT. Sarinah
Jaya. Dari dua toko yang dimilikinya (sebuah di Blok M,
Kebayoran Baru, dan sebuah lagi di Gedung Sarinah), perusahaan
itu mampu meraih penjualan Rp 1,1 milyar sejak Juni sampai awal
Juli. Sekitar 20% di antaranya berasal dari penjualan pakaian
jadi anak-anak.
Abdul Latief, Dir-Ut Sarinah Jaya, memuji pakaian anak-anak eks
Jepang yang punya jahitan kuat dengan mode tak ketinggalan
zaman. Dia menyayangkan justru tidak banyak pengusaha garment
Indonesia yang menaruh minat untuk menghasilkan pakaian jadi
anak-anak dan wanita. Dalam usaha mengambil peluang itu, Sarinah
Jaya bekerjasama dengan Sashida (Jepang) ingin mendirikan
industri pakaian jadi anak-anak dengan investasi Rp 1,6 milyar.
Dari situ Latief, 42 tahun, tokoh Hipmi, membayangkan akan bisa
meraih keuntungan Rp 650 juta/bulan.
Dalam skala kecil, Sarinah Jaya sesungguhnya sudah menghasilkan
pakaian jadi anak-anak dengan bahan batik yang diekspor ke
Singapura. "Saya tidak tahu apakah ada yang sampai ke Taiwan
atau Jepang," ujar Latief kepada wartawan TEMPO Musthafa Helmy.
Hanya Balram Vatvani tampaknya yang sudah memetik peluang bagus
di pasar dalam negeri itu. Sekitar 20% dari volume produksinya
yang rata-rata mencapai 200 ribu lusin setiap tahun dipasarkan
di dalam negeri. Tapi produksinya tahun ini sampai Juli baru
mencapai 50 ribu lusin. Vatvani menyatakan tidak gentar
menghadapi banjir pakaian jadi anak-anak eks Taiwan, dan Jepang.
"Bagaimanapun, produksi dalam negeri tetap murah, dan tak kalah
modenya," ujarnya. Harga pakaian jenis itu eks Vatvani, berkisar
Rp 4.000 - Rp 12.000 setiap lusin.
Sesungguhnya pula, menurut Vatvani, pemerintah (kelak) tidak
perlu mengimpor kedua jenis pakaian jadi itu. Dia menganggap
industri garment dalam negeri sudah mampu membuatnya. Dia
sendiri sudah mengekspor (sekitar 80%) produksi pakaian jadi
anak-anak ke Dubai, Hongkong, dan Singapura. Tapi prospek
ekspornya menjelang Lebaran ini menunjukkan masa suram. "Sudah
terlihat kemerosotan sekitar 60%," katanya.
Langkah serupa juga sudah dilakukan Asosiasi Perdagangan Tekstil
Indonesia yang mengekspor 6 juta pakaian jadi -- separuh lebih
untuk anak-anak-ke Swedia dan beberapa pasar Eropa. Sedang ke AS
mencapai 8 juta potong (US $ 30 juta), dan sebagian lagi ke
Australia. Kendati angka ekspor melonjak, angka pemasaran di
dalam negeri dari anggota asosiasi ternyata merosot.
Situasi pasar di dalam negeri tidak seperti tahun-tahun lalu,
kini sedang suram. "Dulu (setiap menjelang Lebaran) pesanan dari
daerah meningkat, sekarang tidak," ujar Wartono. "Sekarang
malahan banyak produksi yang masih dikreditkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini