Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lebaran dengan busana taiwan

Menjelang lebaran pusat perbelanjaan di jakarta di banjiri pakaian jadi anak-anak eks taiwan. masuk Indonesia tidak melalui prosedur impor yang layak. harganya terjangkau golongan "menengah". (eb)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKAIAN jadi (garment) anak-anak eks Taiwan sedang ramai di sini. Toko Matahari di pusat perbelanjaan Ratu Plaza (Jakarta), misalnya, mengobralnya Rp 2.900 sampai Rp 5. 200 setiap potong. Baju anak-anak usia 3-12 tahun, terutama merk Shang Yu, Mei Lu, Chiang Li, dan Shey Meii, jadi rebutan. "Lebih murah beli jadi daripada harus menjahit sendiri, modelnya pun bagus-bagus," kata seorang ibu yang berbelanja di toko itu. Pasaraya Sarinah Jaya, Kebayoran Baru, juga menjual pakaian sejenis dengan harga bersaing. Juga di hampir semua pusat perbelanjaan Jakarta: Glogok Plaza, Duta Merlin, Metro (Pasar Baru), Ratu Plaza, dan Aldiron Plaza, pakaian anak-anak eks Taiwan disukai. Kehadirannya sejak pertengahan Juni dengan cepat mendesak pakaian sejenis eks Jepang yang berharga rata-rata di atas Rp 10 ribu setiap potong. Adakah pakaian jadi anak-anak eks Taiwan itu diimpor? Menurut Wartono, Ketua Harian I Asosiasi Perdagangan Tekstil Indonesia, masuknya pakaian jadi itu tak melalui prosedur impor yang layak, alias ilegal. "Secara resmi tidak ada ekspor garment anak-anak ke Indonesia," kata James C.W. Tao, jurubicara Kamar Dagang Taiwan di Jakarta. Dari ekspor Taiwan ke Indonesia (US$ 500 juta/1980, US$ 424 juta/1981), hampir seluruhnya berwujud barang elektronik, mesin, suku cadang, keramik dan synthetic fibre. Balram T. Vatvani, Direktur M/S Balram TV, pembuat pakaian jadi anak-anak, menduga pakaian anak-anak eks Taiwan itu merupakan barang cangkingan inang-inang. "Kalau pun resmi diimpor harg,anya niscaya akan mahal," katanya. Seorang pengusaha pakaian jadi terkemuka membenarkan anggapan itu. Impor Pakaian jadi anak-anak eks Taiwan dalam jumlah kecil, katanya, pernah dilakukan sejumlah pengusaha. Setibanya di Jakarta, pakaian eks impor tadi dicampur dengan pakaian eks lokal, yang disain, jahitan, dan bahannya sama, dan membaak merk-merk yang terkenal dari Taiwan. Dengan cara itulah, menurut pengusaha itu, harga pakaian jadi anak-anak "eks Taiwan" bisa ditekan rendah. "Langkah seperti itu terpaksa dilakukan karena konsumen menyukai merk-merk impor," katanya. "Apa boleh buat." Situasi pasar men]elang Lebaran cukup menyenangkan PT. Sarinah Jaya. Dari dua toko yang dimilikinya (sebuah di Blok M, Kebayoran Baru, dan sebuah lagi di Gedung Sarinah), perusahaan itu mampu meraih penjualan Rp 1,1 milyar sejak Juni sampai awal Juli. Sekitar 20% di antaranya berasal dari penjualan pakaian jadi anak-anak. Abdul Latief, Dir-Ut Sarinah Jaya, memuji pakaian anak-anak eks Jepang yang punya jahitan kuat dengan mode tak ketinggalan zaman. Dia menyayangkan justru tidak banyak pengusaha garment Indonesia yang menaruh minat untuk menghasilkan pakaian jadi anak-anak dan wanita. Dalam usaha mengambil peluang itu, Sarinah Jaya bekerjasama dengan Sashida (Jepang) ingin mendirikan industri pakaian jadi anak-anak dengan investasi Rp 1,6 milyar. Dari situ Latief, 42 tahun, tokoh Hipmi, membayangkan akan bisa meraih keuntungan Rp 650 juta/bulan. Dalam skala kecil, Sarinah Jaya sesungguhnya sudah menghasilkan pakaian jadi anak-anak dengan bahan batik yang diekspor ke Singapura. "Saya tidak tahu apakah ada yang sampai ke Taiwan atau Jepang," ujar Latief kepada wartawan TEMPO Musthafa Helmy. Hanya Balram Vatvani tampaknya yang sudah memetik peluang bagus di pasar dalam negeri itu. Sekitar 20% dari volume produksinya yang rata-rata mencapai 200 ribu lusin setiap tahun dipasarkan di dalam negeri. Tapi produksinya tahun ini sampai Juli baru mencapai 50 ribu lusin. Vatvani menyatakan tidak gentar menghadapi banjir pakaian jadi anak-anak eks Taiwan, dan Jepang. "Bagaimanapun, produksi dalam negeri tetap murah, dan tak kalah modenya," ujarnya. Harga pakaian jenis itu eks Vatvani, berkisar Rp 4.000 - Rp 12.000 setiap lusin. Sesungguhnya pula, menurut Vatvani, pemerintah (kelak) tidak perlu mengimpor kedua jenis pakaian jadi itu. Dia menganggap industri garment dalam negeri sudah mampu membuatnya. Dia sendiri sudah mengekspor (sekitar 80%) produksi pakaian jadi anak-anak ke Dubai, Hongkong, dan Singapura. Tapi prospek ekspornya menjelang Lebaran ini menunjukkan masa suram. "Sudah terlihat kemerosotan sekitar 60%," katanya. Langkah serupa juga sudah dilakukan Asosiasi Perdagangan Tekstil Indonesia yang mengekspor 6 juta pakaian jadi -- separuh lebih untuk anak-anak-ke Swedia dan beberapa pasar Eropa. Sedang ke AS mencapai 8 juta potong (US $ 30 juta), dan sebagian lagi ke Australia. Kendati angka ekspor melonjak, angka pemasaran di dalam negeri dari anggota asosiasi ternyata merosot. Situasi pasar di dalam negeri tidak seperti tahun-tahun lalu, kini sedang suram. "Dulu (setiap menjelang Lebaran) pesanan dari daerah meningkat, sekarang tidak," ujar Wartono. "Sekarang malahan banyak produksi yang masih dikreditkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus