PERMINTAAN dunia akan minyak OPEC (Organisasi Negara-negara
Pengekspor Minyak) ternyata tetap lemah. "Situasi pasar bahkan
menunjukkan perkembangan tidak menggembirakan sejak pertemuan
terakhir (Mei) OPEC di Quito, dan ada tanda-tanda harga minyak
melemah," kata Mana Said al-Oteiba. Menteri Perminyakan Uni
Emirat Arab itu mengemukakan pendapat dalam kedudukannya sebagai
ketua komite monitoring pasar yang beranggotakan UEA, Indonesia,
Aljazair, dan Venezuela.
Melemahnya harga patokan OPEC US$ 34 per barrel itu erutama
terjadi sesudah sejumlah negara anggotanya meningkatkan produksi
melebihi kuota dan memberikan potongan harga besar-besaran.
Menganggap bahwa tindakan sepihak itu bisa mengancam keutuhan
organisasi, komite monitring kemudian memanggil sidang darurat
OPEC, 9 Juli, di Wina. "Kebocoran pada produksi adalah menjadi
tanggung jawab sejumlah negara tertentu," ujar Oteiba. Secara
tidak langsung dia kemudian menyebut Iran, Libya, dan Nigeria,
sebagai para pelakunya.
Sudah sejak sidang OPEC akhir Maret di Wina yang memutuskan
membatasi produksi minyak para anggota sampai tingkat 17,5 juta
barrel per hari, Iran menunjukkan sikap membangkang. Pembatasan
terhadap produksi 13 anggota OPEC itu sesungguhnya dilakukan
untuk mempertahankan harga patokan US$ 34 per barrel yang
mendapat tekanan dari pasar minyak yang melimpah. Tapi Iran
ketika itu berani menjual sebagian minyaknya dengan harga
rata-rata US$ 29 per barrel. Dengan cara sepihak itulah, Teheran
secara berangsur mendongkrak produksinya melampaui kuota 1,2
juta barrel per hari yang harus ditaatinya.
Dan kini, menurut Menteri Perminyakan Iran Mohammad Gharazi,
negeri itu merencanakan meningkatkan produksi hingga 3 juta
barrel per hari -- 2,5 juta di antaranya akan diekspor. Produksi
rata-rata negeri itu kini diduga sekitar 2,5 juta barrel per
hari. Langkah menaikkan produksi, dan menjual minyak di bawah
harga patokan juga diikuti Libya dan Nigeria. Kedua negara di
Afrika ini mendapat tekanan dari pembeli agar mau menjual minyak
masing-masing di bawah harga patokan. Alasan pembeli: minyak
sejenis yang diproduksi kedua negara, yang dijual di pasar tunai
(spot) harganya di bawah US$ 34 per barrel.
Nigeria terutama, yang cadangan devisanya nyaris terkuras, amat
menderita menghadapi situasi itu. Kendati Arab Saudi sudah
bersedia menolong -- dengan setiap hari membeli 220 ribu barrel
minyak Nigeria -- negeri itu toh masih menjual minyaknya di
bawah harga patokan. Aksi sepihak Iran, Libya, dan Nigeria itu
telah menjengkelkan Menteri Perminyakan Venezuela Humberto
Calderon Berti. "Jika mau kami bisa menjual tambahan produksi
sekitar 400 ribu barrel per hari di atas kuota kami yang 1,5
juta barrel," katanya.
Sidang darurat di Wina pekan lalu itu tentunya tak akan
membekukan keanggotaan Iran, mengingat kedudukan masing-masing
anggota tak terikat dan berdaulat penuh. Yang pasti baik Menteri
Berti maupun Menteri Pertambangan dan Energi Soebroto sama-sama
menyebut kemungkinan perubahan batas produksi tertinggi. Menteri
Perminyakan Iran Gharazi malahan menghendaki pengaturan kembali
kuota secara "adil" dengan memperhatikan jumlah penduduk, dan
kebutuhan akan pendapatan masing-masing anggota OPEC.
Secara tidak langsung Gharazi menghendaki agar Arab Saudi, yang
memperoleh kuota 7 juta barrel per hari, harus menurunkan
produksinya lebih rendah lagi -- mengingat penduduknya hanya 5
juta. Sedang Iran, yang berpenduduk 38 juta, diperbolehkan
meningkatkan produksinya lagi.
Jika hal itu dilaksanakan, bisa dipastikan banyak proyek
pembangunan di Saudi bakal terbengkalai. "Kami tidak akan
mengubah posisi kami kini, Saudi harus memotong tingkat
produksinya," kata Gharazi. Sikap mendahulukan kepentingan
nasional seperti itulah yang sering merusak konsensus OPEC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini