GULA dari ketela pohon? Jika segalanya lancar, akhir Juli ini
gula fructose (cair) dari ketela pohon (singkong) akan
dihasilkan PT Saritani Nusantara, Malang, Jawa Timur. Pemasangan
mesin pabrik itu, dengan kapasitas produksi 25 ton/hari,
mendekati penyelesaian. Produksi pertamanya, menurut Moeksaid
Soeparman, direktur perusahaan itu, akan diselenggarakan akhir
Juli.
Gula cair dari singkong berwarna cerah itu sedikit lebih manis
dari gula kristal tebu. Menurut Ibrahim Husni dan Slamet Oerip
Prihadi dari TEMPO, yang mencicipi produksi percobaannya, rasa
gula itu menyerupai sari buah. Untuk menghasilkan 1 kg gula cair
dibutuhkan 4 kg singkong (harganya Rp 35/kg). Sesudah biaya
ragi, dan ongkos produksi diperhitungkan, Soeparman yakin bisa,
melempar gula itu 20% di bawah harga gula kristal dari tebu yang
kini rata-rata Rp 550/kg di eceran. Gula itu rencananya akan
dikalengkan @ 25 liter, dan dibotolkan @ 1 liter.
Sebelum mencoba menghasilkan gula cair dari singkong, Soeparman,
Direktur EMKL Pendawa (Surabaya), dan PT Indocorn (penghasil
minyak jagung), juga dikenal sebagai pengusaha tapioka. Bekerja
sama dengan PT Pertani, dari Saritani, dihasilkan pula tepung
tapioka makanan, tapioka untuk kertas dan tekstil, maltose untuk
kembang gula, glucose untuk biskuit, odol, serta keperluan
farmasi.
Tapi ketika tiga tahun lalu terjadi banjir ketela pohon, harga
tapioka eks Saritani jatuh. Keuntungan yang bisa dipetik
merosot. "Sekedar untuk membayar karyawan," ujar Soeparman.
Bertolak dari pengalaman pahit itulah Soeparman tertarik pada
usaha mengolah tapioka menjadi gula fructose. Dia kemudian
pergi ke Sayo Company (Jepang), dan Taefeyang Corporation
(Taiwan), yang sudah lama dikenal mampu menghasilkan gula
fructose dari singkong. Ketika dua tahun lalu terjadi krisis
gula pasir, Soeparman menyurati Presiden Soeharto, dan
mengutarakan gagasan membuat gula dari singkong itu.
Beberapa bulan kemudian, di luar dugaan, Menteri Pertanian
Soedarsono menjenguk PT Saritani. Karena dorongan dari
pemerintah itulah, Soeparman lalu memutuskan mengadakan studi
kelayakan. Kredit investasi sebesar Rp 1,7 milyar tak lama
kemudian diperolehnya, sebagian besar digunakan untuk membeli
mesin.
Pemerintah kabarnya akan menjadikan Saritani sebagai proyek
percontohan. Jika upaya Soeparman berhasil, pemerintah konon
akan mendirikan 40 pabrik serupa di berbagai wilayah
transmigrasi yang kaya akan singkong.
PT Margahayu Raya Bandung dengan modal Rp 10,3 milyar (PMDN)
juga akan mendirikan pabrik serupa di Desa Cikumis, Tasikmalaya.
Pembangunan pabrik, dengan mesin dari Taiwan kini sedang
dikerjakan dan diharapkan selesai tahun depan. Kebutuhan
singkongnya akan disuplai dari tanaman rakyat di sekitar kawasan
Tasikmalaya.
Kebutuhan singkong Saritani sendiri, jika kelak pabrik gula
cairnya sudah beroperasi, ditaksir meliputi 300 ton sehari
Seluruh kebutuhan itu akan dipenuhi dari singkong tanaman rakyat
di kawasan Malang, Lumajang, Pasuruan, dan Kediri.
Wakil Kepala Dolog Alim Fauzi belum bisa menjawab apakah
pihaknya kelak bersedia menampung produksi Saritani. Hanya saja
kalau sifatnya cair, katanya, si pengusaha bisa saja melempar
sendiri ke pasar. "Saya belum bisa menjawab sekarang, karena
produksinya belum beredar di pasaran," ujarnya.
Yang jelas, menurut Muchtar Efendy, Direktur PT Perkebunan Tebu
21 dan 22 (membawahkan sejumlah pabrik gula), kehadiran gula
fructose itu akan menolong pengadaan gula dan membantu
mengurangi impor. Pada tahun anggaran 1981/1982 ini, misalnya,
pemerintah masih mengimpor gula pasir 745 ribu ton lebih dari
Filipina, Thailand, dan India. Sedang pada tahun anggaran
sebelumnya 548 ribu ton lebih.
Bentuk gula cair fructose itu sendiri ternyata disukai sejumlah
pabrik minuman. "Kalau gula fructose itu sudah ada, kami tidak
perlu lagi menghidupkan mesin pencair gula kristal," kata
seorang karyawan Coca Cola, Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini