PASARAN minyak dunia masih lemah, tapi eksplorasi minyak di
Indonesia masih terus mengalami boom. Demikian pengamatan sebuah
laporan yang dikeluarkan Kedubes AS di Jakarta Juni lalu. Jumlah
sumur, kata laporan itu, mencapai rekor 244 tahun lalu. Jumlah
biaya yang dikeluarkan melebihi US$ 1 milyar selama dua tahun
terturut-turut, bahkan jumlah seluruh pengeluaran kontraktor
minyak asing untuk eksplorasi dan produksi mencapai US$.3,1
milyar pada 1981, US$ 1 milyar lebih banyak dari tahun
sebelumnya.
Sumur yang direncanakan dibor tahun ini akan bertambah lagi
dengan 40, mencapai biaya yang meningkat menjadi US$ 4,2 milyar.
Sekalipun perkembangan ini cukup menyenangkan, laporan itu juga
agak menyayangkan karena penemuan baru selama 1981 sebagian
besar terjadi pada sumur-sumur yang memang sudah berproduksi
sebelumnya (secondary discovery).
Produksi minyak Indonesia mencapai rata-rata 1,6 juta barrel
sehari pada 1981, 1,4% lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dan
mulai April tahun ini, sesuai kesepakatan OPEC, Indonesia harus
membatasi produksinya pada 1, 3 juta barrel sehari. Menurut
laporan itu, ini adalah untuk pertama kali produksi minyak
Indonesia dibatasi oleh pasar, bukan oleh kapasitas.
Meramal berapa produksi minyak Indonesia tahun ini agak sulit,
karena masih ada ketidakpastian di pasar minyak. Sekalipun,
misalnya, Indonesia mampu memulihkan produksinya secara penuh
semester kedua ini, jumlahnya tidak lebih dari 1,5 juta barrel
sehari. Dan kalau Indonesia ingin terus menambah kapasitas
produksinya, tingkat eksplorasi yang tinggi seperti pernah
terjadi pada 1981 harus terus dipertahankan.
Dalam sebuah dengar pendapat dengan DPR belum lama berselang,
Dir-Ut Pertamina Judo Soembono memperkirakan sekurangnya 170
sumur harus dibor setiap tahun hanya untuk mempertahankan
kapasitas yang sekarang ini. Dan supaya cadangan minyak tidak
merosot, Indonesia harus bisa menemukan 600 juta barrel cadangan
minyak baru setiap tahun. Pengalaman menunjukkan, jarang sekali
tingkat cadangan sebanyak ini bisa ditemukan.
Indonesia mengekspor 1,05 juta barrel sehari yang sebagian besar
dibeli Jepang, dan AS yang pada 1981 masingmasing membeli 50%
dan 24% minyak Indonesia. Penjualan ke kedua negara ini pada
masa itu turun dengan 6,4% dan 20,5% dibanding tahun sebelumnya.
Menurut laporan itu, sekalipun pasaran minyak di Jepang, dan AS
melemah, Indonesia ternyata masih bisa mempertahankan
pasarannya, malahan bisa menambah ekspornya ke Bahama, Trinidtd,
Australia, dan Singapura.
Pada 1 Januari 1981, Indonesia menaikkan harga minyaknya 10,5%,
hingga harga minyaknya berkisar antara US$ 32,95 - US$ 38,25.
Tapi mulai Mei, pasaran mulai melemah. Ini memaksa Indonesia
untuk menurunkan harga premiumnya pada Juli, Agustus dan
September, dan mulai November bahkan harus menghapuskan semua
harga premiumnya. Laporan Kedubes AS itu juga menilai nasib
Indonesia masih lebih baik dibanding beberapa anggota OPEC lain.
Sikap Indonesia yang selalu moderat di bidang harga, dan
reputasinya sebagai pensuplai yang bisa diandalkan, sangat
membantu dalam mempertahankan para konsumennya yang setia.
Konsumsi BBM di dalam negeri yang cukup mengkhawatirkan
pemerintah dengan tingkat pertambahan 12% tiap tahun, menurut
laporan itu, memperlihatkan tanda-tanda akan menurun. Sesudah
harga BBM naik pada Mei 1979 dan Mei 1980, konsumsi BBM naik
11,8% pada 1980 dan 10,5% pada 1981. Dan sesudah kenaikan harga
terakhir sebesar 60% awal tahun ini, tingkat kenaikan konsumsi
turun 8,6% selama kuartal pertama tahun ini dibanding kuartal
yang sama tahun lalu.
LAPORAN itu tidak menyebut apakah penurunan ini berasal dari
resesi yang menimpa industri di Indonesia, atau karena memang
sudah ada penghematan energi yang nyata. Dari data yang
disajikan bisa dilihat bahwa selain listrik, yang tingkat
pertambahan konsumsinya naik, kenaikan pemakaian minyak oleh
sektor rumahtangga, pengangkutan, dan industri memang turun
antara 1980-1981. Menurut laporan itu, penurunan tingkat
kenaikan konsumsi BBM yang disebabkan kenaikan harga, "akan
memperluas horizon ekspor Indonesia."
Di samping minyak, laporan Kedubes AS itu juga menyoroti
perkembangan yang terjadi pada gas alam cair (LNG). Indonesia
tahun lalu merupakan pengekspor gas alam nomor satu di dunia,
dengan nilai US$ 2,5 milyar. Volumenya tak banyak berubah. Itu
merupakan indikasi produksi sudah mencapai kapasitas penuh pada
lima proyek yang sudah bekerja. Peningkatan produksi baru bisa
terjadi bila perluasan proyek yang sekarang tengah dikerjakan
itu selesai pada akhir 1983, atau awal 1984. Pada waktu itu
produksi LNG Indonesia akan meningkat 80%.
Pada April 1981 Pertamina mencapai persetujuan dengan beberapa
pembeli di Jepang yang bersedia membeli hasil perluasan proyek
di Arun dan Bontang. Untuk LNG hasil proyek baru nanti penetapan
harganya akan berbeda dengan LNG yang sekarang sudah diproduksi.
Pertama, harganya lebih tinggi, yaitu US$ 5,87 per satu juta BTU
untuk eks Bontang, dan US$ 5,78 untuk eks Arun dibanding US$
5,49 yang sekarang ini. Kedua, harganya dikaitkan dengan harga
minyak mentah Indonesia seluruhnya. Kontrak yang sekarang hanya
90% yang dikaitkan dengan harga minyak dan 10% dengan faktor
inflasi. Perbedaan ketiga, harganya aus dasar "free on board dan
bukan cost and freight seperti yang sekarang. Ini artinya, soal
kapal dan ongkos angkut menjadi urusan pihak pembeli.
Perkembangan industri LNG Indonesia sesudah 1985 akan tergantung
dari kemampuan Indonesia mencari tambahan pembeli. Selama ini
Jepang adalah pembeli terbesar, dan agaknya pasaran LNG di
Jepang tidak akan terus baik seperti sekarang. Jepang baru saja
menurunkan proyeksi permintaannya akan LNG sampai akhir dekade
ini. Sementara itu beberapa produsen baru LNG-Australia, Qatar,
Kanada, dan Malaysia -- akan muncul dan akan segera bersaing
dalam pasaran yang terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini