Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka Tidur Di Atas Tekstil

Pasaran tekstil lesu. setumpuk sebab dikemukakan pengusaha tentang melimpahnya persediaan tekstil. ada yang mulai memberhentikan buruhnya. ketua api, frans seda, menyatakan perlu adanya bulog tekstil. (eb)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASAR Ikan Lama, pusat distributor dan pengecer tekstil di kawasan elite Kesawan Medan, hari-hari ini kelihatan sepi. Nyonya Sianipar boru Pasaribu, salah satu distributor tekstil di situ, sejak beberapa bulan terakhir ini merasakan kendurnya permintaan. Kain tetoron miliknya sebanyak 13.500 meter masih belum juga habis terjual sejak enam bulan lalu. "Padahal harganya sudah saya turunkan dari Rp 525 jadi Rp 475 per meter," kata Nyonya itu. Dua tahun lalu ketika pasaran tekstil kencang, setiap bulan dia mampu menjual 135 ribu meter tetoron. Mengendurnya permintaan di Medanitu, menurut dugaan, banyak disebabkan oleh melemahnya daya beli konsumen. Ketika harga komoditi ekspor seperti karet, kopi, dan kelapa sawit jatuh di pasaran dunia, daya beli sebagian besar penduduk Sumatera Utara yang mengandalkan pendapatan dari sektor itu ikut merosot pula. "Dalam situasi , seperti itu, konsumen lebih mengutamakan membeli pangan daripada tekstil," kata seorang pejabat perusahaan tekstil Jepang di Wisma Nusantara, Jakarta. Kelesuan di tingkat distributor juga terjadi di Pasar Pagi, pusat tekstil di Jakarta Slompretan, pusat tekstil di Surabaya dan Pasar Klewer, pusat tekstil serta batik di Surakarta. Sudah beberapa bulan ini pengecer tekstil dari Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Lombok, misalnya, tidak lagi mengajukan permintaan kepada Handoyo Gunawan, pemilik Toko Lautan Mas, distributor tekstil di Pasar Pagi. Toko Asia Baru di Cakranegara Lombok, salah satu pelanggannya, setiap dua bulan biasanya berani mengambil 20 piece bahan celana, dan sekitar 30 piece bahan baju (1 piece sekitar 41 meter)."Tapi sudah sejak Agustus, toko itu hanya mengambil kurang separuh dari biasanya," ujar Handoyo. Bagi Yunus, pengecer tekstil selama 20 tahun di Pasar Balong, Cirebon, mengendurnya pasar menjelang Natal dan Tahun Baru ini cukup mengherankan. Menurut dia, pasar tekstil menjelang Natal, Tahun Baru dan Lebaran seharusnya makin kencang. "Sekarang untuk mengantungi uang Rp 100 ribu sehari saja sulitnya bukan main" katanya. Lebaran silam, omset penjualan Yunus sehari rata-rata mencapai Rp 300 ribu. Kendurnya permintaan konsumen itu, tentu saja, menyebabkan puluhan pabrik tekstil menumpuk hasil produksi melampaui kebutuhan cadangan normal. Di gudang pabrik tekstil Cap Gadjah, Pedan, Klaten, misalnya, kini menumpuk 40 ribu meter tetoron, 32 ribu meter kain selimut, dan puluhan piece blacu. Di PT Mafahtex, Pekalongan, sejak dua bulan lalu menumpuk 1 juta meter mori. Jumlah produksi tekstil yang menumpuk di gudang 61 pabrik di kawasan Pekalongan itu, menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Wartono, meliputi 64 juta meter. Sedang untuk seluruh Indonesia diperkirakannya mencapai jumlah 410 juta meter. Seorang pejabat Bank Bumi Daya beranggapan, kelesuan pemasaran hanya terjadi untuk produk tekstil tertentu saja. Karena corak bahan pakaian pria sangat konservatif, katanya, sudah sejak dua tahun lalu pasarannya mengendur. Sedang berkurangnya permintaan tekstil kualitas menengah (polyester cotton, dan tetoron), dan kasar (blacu, dan mori), menurut Atmadjisuryanto, pengusaha tekstil Cap Gadjah di Medan, banyak disebabkan oleh melemahnya daya beli petani. Karena kemarau panjang, katanya, banyak petani gagal memungut panen. Kemala Motik Amongpradja, pengusaha pakaian jadi, beranggapan kelesuan di pasar itu banyak disebabkan oleh sikap pengusaha tekstil sendiri. Mereka, katanya, kurang peka menanggapi perubahan selera konsumen. "Terutama dari segi corak dan warna," tambahnya. Pendapat serupa juga dikemukakan H. Sachur Mukmin, Direktur PT Saritex Batang, penghasil polyester cotton dan wol. "Saya luput mensurvei selera masyarakat," katanya. "Masyarakat kini tidak hanya menuntut mutu baik, dan harga murah saja, tapi juga corak dan modenya." Pokoknya, pengusaha tekstil, menurut Kemala, "harus selalu kreatif, dan mengikuti perkembangan selera konsumen." Tapi Gandasubrata, manajer pabrik tekstil Bintang Agung, Bandung, berpendapat masuknya tekstil halus eks impor, yang berkualitas tinggi juga berperanan mendesak pasar tekstil eks lokal. Ia mengingat kejadian dua tahun lalu. Ketika itu tingkat konsumsi mencapai 1.603 juta meter, pasar dalam negeri dibanjiri 1.623 juta meter tekstil eks lokal ditambah 247 juta meter eks impor. Dan setahun kemudian pengusaha tekstil kecil lokal menjerit karena pasar kelebihan suplai, dan mereka mulai sulit menjual. Seorang p.ejabat teras di Departemen Perdagangan dan Koperasi, tentu saja, menyanggah anggapan itu. Menurut dia, jumlah tekstil eks impor itu sesungguhnya sangat kecil artinya untuk bisa mempengaruhi pasar tekstil eks lokal. Menurut Biro Pusat Statistik, sejak Januari hingga Juni tahun ini sejumlah 29 ribu ton tekstil eks impor, dengan nilai US$ 69 juta, memasuki pasaran Indonesia. Tahun lalu tekstil impor yang masuk secara legal berjumlah 75 ribu ton, dengan nilai US$ 163 juta. Namun menurut Wartono, pasar tekstil lokal sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh membanjirnya tekstil selundupan. Di Pekalongan, katanya, belum lama ini terbongkar dua kasus penyelundupan. Sedang di Surabaya "lebih banyak lagi," tambahnya. Haruskah tekstil impor legal disetop? "Kalau hanya tekstil impor saja yang ditangani, maka hanya sekelompok pengusaha tertentu yang untung," kata Frans Seda, Ketua API kepada Kompas awal bulan ini. "Sedang masalah tekstil sendiri secara menyeluruh belum terselesaikan." Dalam upaya mengatasi kemacetan pasar seperti sekarang, kata Frans Seda, diperlukan pengaturan perdagangan lebih sehat. Dia tampaknya ingin menganjurkan agar pengusaha dan pemerintah mengatur secara lebih baik tingkat produksi dengan mengikuti tingkat permintaan. Sudah menjadi rahasia umum jika API maupun Departemen Perindustrian kabarnya tidak mengetahui secara tepat angka produksi total industri tekstil dan tingkat kebutuhan konsumen setiap tahunnya. Berkaitan dengan soal perdagangan itu pula, seorang pengusaha tekstil menganjurkan agar pemerintah juga turut mengawasi volume pelemparan pakaian jadi untuk konsumsi ekspor ke pasar dalam negeri. Karena alasan negara-negara industri pengimpor pakaian jadi sedang dilanda resesi, maka Kemala Motik sejak beberapa bulan ini melempar separuh produksi pakaian jadi dari kedlla pabriknya ke pasar dalam negeri. Dengan kapasitas produksi 60 ribu potong pakaian jadi, semula sekitar 70% pakaian jadi eks PT Arrish Rulan dan Astrad itu dicadangkan untuk ekspor. Toh persaingan di dalam negeri sendiri amat berat. "Rebutannya seperti orang gila," kata Kemala. Dan dalam usaha memperbaiki perputaran modal, sejumlah pengusaha kini terpaksa tega juga menjual tekstil di bawah ongkos produksi. PT Mafahtex, Pekalongan, misalnya, pekan lalu terpaksa menjual 500 ribu meter mori dengan harga Rp 330 per meter, di bawah harga pokok yang Rp 360 per meter. Di daerah itu harga mori prima sudah anjlok dari Rp 440 (Juli) menjadi Rp 330 per meter pada bulan ini. "Apa boleh buat, daripada tidak laku, dan tak bisa membayar gaji buruh," ujar Lukman Hakim, manajer Mahfatex yang mempekerjakan 700 buruh. Banting harga semacam itu juga dilakukan sebuah perusahaan tekstil Jepang yang sudah memasyarakat. Kendati kain polyester cotton eks pabrik itu sudah diturunkan dari Rp 420 ke Rp 380 per meter, permintaan pasar tetap lesu. Saling banting harga seperti itu, jika diteruskan, tentu bisa menimbulkan persaingan yang saling mencekik. Untuk memasarkan menumpuknya tekstil itu, Ketua API Frans Seda, mengusulkan pembentukan Bulog swasta untuk tekstil. "Dengan bantuan dana dari pemerintah, lembaga inilah yang mengurus pemasaran tekstil itu ke luar negeri," katanya kepada TEMPO di Solo pekan lalu. Seorang pengusaha tekstil terkemuka di Pintu Kecii, Jakarta Kota, juga mendukung gagasan itu. Untuk mengatur suplai dengan permintaan tanpa merugikan pengusaha dan konsumen, katanya, Bulog untuk tekstil yang mendapat dukungan dana pemerinuh diperlukan kehadirannya. Dia optimistis, tekstil dan pakaian jadi akan menjadi sumber devisa yang bisa diandalkan. Tapi di saat dunia dilanda resesi seperti sekarang, siapa yang mau beli tekstil itu di luar negeri? Menghadapi situasi sulit di dalam dan iuar negeri semacam itu, berbagai perusahaan tekstil berusaha bertahan dengan berbagai cara untuk tetap hidup."Tak memberhentikan buruh saja saat ini sudah merupakan prestasi buat kami," ujar Ny. Haji Tintin Kuraesin, Wakil Direktur Habsatex, Majalaya. Pabrik tekstil yang memproduksi 30 ribu meter kain kemeja, 12 ribu kain sprei, dan 10 ribu meter kain paris setiap minggu itu, hingga kini masih mempertahankan kehadiran 125 buruhnya (16 vanita), denan gaji Rp 8 sampai 20 ribu per minggu setiap orang. Toh sejumlah pabrik tekstil ada juga yang terpaksa mengurangi jumlah buruh, dan menurunkan tingkat produksi untuk menekan beban produksi. Di Pekalongan, menuntt Sekjen API Wartono, sampai pekan lalu sudah terjadi pemutusan kerja 2.700 buruh dengan pesangon aia kadarnya. Jika sampai Maret tahun depan pasaran tekstil belum juga sehat, dia khawatir puluhan ribu buruh terancam menganggur, termasuk di Solo, Yogya, dan Semarang. Dan untuk mengurangi beban perusahaan, sejumlah perusahaan nasabah Panin Bank sudah mengajukan permohonan menunda membayar cicilan utang, dari tiga bulan menjadi enam bulan. Jumlah pinjaman yang ditunda cicilannya itu meliputi Rp 700 juta (kredit modal kerja dengan bunga 24% setahun), atau berjumiah sekitar 2% dari seluruh total pinjaman yang diberikan bank itu. "Jadi penundaan itu tak akan membawa efek buruk," kata Mu'min Ali Gunawan, Wakil Dirut Panin Bank. Ny. Haji Tintin Kuraesin, nasabah sebuah bank pemerintah, sudah enam bulan terakhir ini hanya mampu mencicil bunga atas pinjaman Rp 60 juta, karena perusahaannya tak pernah meraih keuntungan. Sedang Lukman Hakim dari Mafahtex menghimbau agar bank sudi mengurangi tingkat bunga pinjaman sekitar 1% atau 0,5%. "Jika tidak ada kebijaksanaan seperti itu jangan-jangan malah justru bank-lah yang akan jadi beban," katanya. Pengurangan tingkat bunga seperti itu, agaknya, sulit dilakukan. "Uluran tangan dari bank paling banter hanyalah penundaan pembayaran cicilan utang yang hanya bersifat memperpanjang napas pengusaha tanpa memecahkan persoalan," kata Mu'min Ali Gunawan. Jika industri tekstil masih lesu, industri pemintalan, sebagai penyedia bahan baku juga akan terpengaruh. PT Maligi, yang memiliii 60 ribu mata pintal, kini sudah menuntnkan tingkat produksi sekitar 30%. Di Pasuruan, PT Imbritek, perusahaan patungan Indonesia dan Inggris, penghasil benang tenun benang jahit, dan kain blacu, kini hanya mengoperasikan 30 ribu mata pinul dari 42 ribu mau pintal yang tersedia. Hanya benang jahit, yang dipakai banyak industri pakaian jadi, yang hingga kini masih punya pasaran baik. "Kalau pasaran tekstil terus lesu, tingkat produksi mungkin akan diturunkan," kata Ratmojo Hatmokumoro, Dirut Imbritek. Kendati permintaan lemah, PT Teijin Indonesia Fiber Corp. (Tifico), penghasil benang sintetis Polyester Staple Fbre (SF), dan Polyester Filamen Yarn (FY), tak mengurangi tingkat produksi. (Tifico) yang sudah memasyarakat itu justru menaikkan produksi SF dan FY dari 42 ton (dengan nilai Rp 62 milyar) tahun lalu, menjadi 45 ton (dengan nilai Rp 69 milyar) tahun ini. "Hanya harga jual kedua produk itu saja yang kami potong sekitar 20% sejak Juli, " ujar Taku Morota, Direktur Tifico. Konsumen benang sintetis pabrik itu meliputi 50 industri tekstil. Adalah menarik mendengarkan apa yang dikatakan Hiromi Hogan, Dirut P T Century Textile Industry, ketika menyajikan laporan perusahaannya untuk tahun ini. "Prospek pasaran di dalam negeri dihadapkan pada persediaan dan produksi yang makin melimpah di satu pihak, sementara kebutuhan kousulmen sudah banyak dipenuhi di masa lampau." Kebanyakan konsumen, terutama yang menghuni daerah pedesaan, memang bukan termasuk manusia yang butuh tekstil setiap bulan. Sedang berlimpahnya produksi sekarang, selain menciutnya pasaran akibat angin resesi, mungkin tak pernah diperkirakan para produsen sebelumnya. Akibatnya, banyak pengusaha yang merasa tidur di atas barang. Seperti juga pemerintah, banyak di antara mereka yang tadinya menduga resesi sudah akan pulih lagi di negara-negara industri pada pertengahan atau akhir tahun ini. Ternyata yang terjadi malah sebaliknya: resesi itu sulit diduga kapan berakhirnya. Malah beberapa pengamat sudah melihat adanya gejala orang di Eropa mulai membiasakan diri untuk hidup dengan resesi ekonomi yang panjang. Kalau benar begitu, sudah pula waktunya bagi para produsen tekstil di Indonesia untuk menghitung kembali rencana produksi, sebelum menginjak tahun depan yang pasti akan lebih sulit lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus