PASAR Ikan Lama, pusat distributor dan pengecer tekstil di
kawasan elite Kesawan Medan, hari-hari ini kelihatan sepi.
Nyonya Sianipar boru Pasaribu, salah satu distributor tekstil di
situ, sejak beberapa bulan terakhir ini merasakan kendurnya
permintaan. Kain tetoron miliknya sebanyak 13.500 meter masih
belum juga habis terjual sejak enam bulan lalu. "Padahal
harganya sudah saya turunkan dari Rp 525 jadi Rp 475 per meter,"
kata Nyonya itu. Dua tahun lalu ketika pasaran tekstil kencang,
setiap bulan dia mampu menjual 135 ribu meter tetoron.
Mengendurnya permintaan di Medanitu, menurut dugaan, banyak
disebabkan oleh melemahnya daya beli konsumen. Ketika harga
komoditi ekspor seperti karet, kopi, dan kelapa sawit jatuh di
pasaran dunia, daya beli sebagian besar penduduk Sumatera Utara
yang mengandalkan pendapatan dari sektor itu ikut merosot pula.
"Dalam situasi , seperti itu, konsumen lebih mengutamakan
membeli pangan daripada tekstil," kata seorang pejabat
perusahaan tekstil Jepang di Wisma Nusantara, Jakarta.
Kelesuan di tingkat distributor juga terjadi di Pasar Pagi,
pusat tekstil di Jakarta Slompretan, pusat tekstil di Surabaya
dan Pasar Klewer, pusat tekstil serta batik di Surakarta. Sudah
beberapa bulan ini pengecer tekstil dari Lampung, Kalimantan
Barat, Sulawesi Selatan, dan Lombok, misalnya, tidak lagi
mengajukan permintaan kepada Handoyo Gunawan, pemilik Toko
Lautan Mas, distributor tekstil di Pasar Pagi. Toko Asia Baru di
Cakranegara Lombok, salah satu pelanggannya, setiap dua bulan
biasanya berani mengambil 20 piece bahan celana, dan sekitar 30
piece bahan baju (1 piece sekitar 41 meter)."Tapi sudah sejak
Agustus, toko itu hanya mengambil kurang separuh dari biasanya,"
ujar Handoyo.
Bagi Yunus, pengecer tekstil selama 20 tahun di Pasar Balong,
Cirebon, mengendurnya pasar menjelang Natal dan Tahun Baru ini
cukup mengherankan. Menurut dia, pasar tekstil menjelang Natal,
Tahun Baru dan Lebaran seharusnya makin kencang. "Sekarang untuk
mengantungi uang Rp 100 ribu sehari saja sulitnya bukan main"
katanya. Lebaran silam, omset penjualan Yunus sehari rata-rata
mencapai Rp 300 ribu.
Kendurnya permintaan konsumen itu, tentu saja, menyebabkan
puluhan pabrik tekstil menumpuk hasil produksi melampaui
kebutuhan cadangan normal. Di gudang pabrik tekstil Cap Gadjah,
Pedan, Klaten, misalnya, kini menumpuk 40 ribu meter tetoron, 32
ribu meter kain selimut, dan puluhan piece blacu.
Di PT Mafahtex, Pekalongan, sejak dua bulan lalu menumpuk 1 juta
meter mori. Jumlah produksi tekstil yang menumpuk di gudang 61
pabrik di kawasan Pekalongan itu, menurut Sekjen Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) Wartono, meliputi 64 juta meter.
Sedang untuk seluruh Indonesia diperkirakannya mencapai jumlah
410 juta meter.
Seorang pejabat Bank Bumi Daya beranggapan, kelesuan pemasaran
hanya terjadi untuk produk tekstil tertentu saja. Karena corak
bahan pakaian pria sangat konservatif, katanya, sudah sejak dua
tahun lalu pasarannya mengendur. Sedang berkurangnya permintaan
tekstil kualitas menengah (polyester cotton, dan tetoron), dan
kasar (blacu, dan mori), menurut Atmadjisuryanto, pengusaha
tekstil Cap Gadjah di Medan, banyak disebabkan oleh melemahnya
daya beli petani. Karena kemarau panjang, katanya, banyak petani
gagal memungut panen.
Kemala Motik Amongpradja, pengusaha pakaian jadi, beranggapan
kelesuan di pasar itu banyak disebabkan oleh sikap pengusaha
tekstil sendiri. Mereka, katanya, kurang peka menanggapi
perubahan selera konsumen. "Terutama dari segi corak dan warna,"
tambahnya. Pendapat serupa juga dikemukakan H. Sachur Mukmin,
Direktur PT Saritex Batang, penghasil polyester cotton dan wol.
"Saya luput mensurvei selera masyarakat," katanya. "Masyarakat
kini tidak hanya menuntut mutu baik, dan harga murah saja, tapi
juga corak dan modenya." Pokoknya, pengusaha tekstil, menurut
Kemala, "harus selalu kreatif, dan mengikuti perkembangan selera
konsumen."
Tapi Gandasubrata, manajer pabrik tekstil Bintang Agung,
Bandung, berpendapat masuknya tekstil halus eks impor, yang
berkualitas tinggi juga berperanan mendesak pasar tekstil eks
lokal. Ia mengingat kejadian dua tahun lalu. Ketika itu tingkat
konsumsi mencapai 1.603 juta meter, pasar dalam negeri dibanjiri
1.623 juta meter tekstil eks lokal ditambah 247 juta meter eks
impor. Dan setahun kemudian pengusaha tekstil kecil lokal
menjerit karena pasar kelebihan suplai, dan mereka mulai sulit
menjual.
Seorang p.ejabat teras di Departemen Perdagangan dan Koperasi,
tentu saja, menyanggah anggapan itu. Menurut dia, jumlah tekstil
eks impor itu sesungguhnya sangat kecil artinya untuk bisa
mempengaruhi pasar tekstil eks lokal. Menurut Biro Pusat
Statistik, sejak Januari hingga Juni tahun ini sejumlah 29 ribu
ton tekstil eks impor, dengan nilai US$ 69 juta, memasuki
pasaran Indonesia. Tahun lalu tekstil impor yang masuk secara
legal berjumlah 75 ribu ton, dengan nilai US$ 163 juta.
Namun menurut Wartono, pasar tekstil lokal sesungguhnya banyak
dipengaruhi oleh membanjirnya tekstil selundupan. Di Pekalongan,
katanya, belum lama ini terbongkar dua kasus penyelundupan.
Sedang di Surabaya "lebih banyak lagi," tambahnya. Haruskah
tekstil impor legal disetop? "Kalau hanya tekstil impor saja
yang ditangani, maka hanya sekelompok pengusaha tertentu yang
untung," kata Frans Seda, Ketua API kepada Kompas awal bulan
ini. "Sedang masalah tekstil sendiri secara menyeluruh belum
terselesaikan."
Dalam upaya mengatasi kemacetan pasar seperti sekarang, kata
Frans Seda, diperlukan pengaturan perdagangan lebih sehat. Dia
tampaknya ingin menganjurkan agar pengusaha dan pemerintah
mengatur secara lebih baik tingkat produksi dengan mengikuti
tingkat permintaan. Sudah menjadi rahasia umum jika API maupun
Departemen Perindustrian kabarnya tidak mengetahui secara tepat
angka produksi total industri tekstil dan tingkat kebutuhan
konsumen setiap tahunnya.
Berkaitan dengan soal perdagangan itu pula, seorang pengusaha
tekstil menganjurkan agar pemerintah juga turut mengawasi volume
pelemparan pakaian jadi untuk konsumsi ekspor ke pasar dalam
negeri. Karena alasan negara-negara industri pengimpor pakaian
jadi sedang dilanda resesi, maka Kemala Motik sejak beberapa
bulan ini melempar separuh produksi pakaian jadi dari kedlla
pabriknya ke pasar dalam negeri. Dengan kapasitas produksi 60
ribu potong pakaian jadi, semula sekitar 70% pakaian jadi eks PT
Arrish Rulan dan Astrad itu dicadangkan untuk ekspor. Toh
persaingan di dalam negeri sendiri amat berat. "Rebutannya
seperti orang gila," kata Kemala.
Dan dalam usaha memperbaiki perputaran modal, sejumlah pengusaha
kini terpaksa tega juga menjual tekstil di bawah ongkos
produksi. PT Mafahtex, Pekalongan, misalnya, pekan lalu
terpaksa menjual 500 ribu meter mori dengan harga Rp 330 per
meter, di bawah harga pokok yang Rp 360 per meter. Di daerah itu
harga mori prima sudah anjlok dari Rp 440 (Juli) menjadi Rp 330
per meter pada bulan ini. "Apa boleh buat, daripada tidak laku,
dan tak bisa membayar gaji buruh," ujar Lukman Hakim, manajer
Mahfatex yang mempekerjakan 700 buruh.
Banting harga semacam itu juga dilakukan sebuah perusahaan
tekstil Jepang yang sudah memasyarakat. Kendati kain polyester
cotton eks pabrik itu sudah diturunkan dari Rp 420 ke Rp 380 per
meter, permintaan pasar tetap lesu. Saling banting harga seperti
itu, jika diteruskan, tentu bisa menimbulkan persaingan yang
saling mencekik. Untuk memasarkan menumpuknya tekstil itu, Ketua
API Frans Seda, mengusulkan pembentukan Bulog swasta untuk
tekstil. "Dengan bantuan dana dari pemerintah, lembaga inilah
yang mengurus pemasaran tekstil itu ke luar negeri," katanya
kepada TEMPO di Solo pekan lalu.
Seorang pengusaha tekstil terkemuka di Pintu Kecii, Jakarta
Kota, juga mendukung gagasan itu. Untuk mengatur suplai dengan
permintaan tanpa merugikan pengusaha dan konsumen, katanya,
Bulog untuk tekstil yang mendapat dukungan dana pemerinuh
diperlukan kehadirannya. Dia optimistis, tekstil dan pakaian
jadi akan menjadi sumber devisa yang bisa diandalkan. Tapi di
saat dunia dilanda resesi seperti sekarang, siapa yang mau beli
tekstil itu di luar negeri?
Menghadapi situasi sulit di dalam dan iuar negeri semacam itu,
berbagai perusahaan tekstil berusaha bertahan dengan berbagai
cara untuk tetap hidup."Tak memberhentikan buruh saja saat ini
sudah merupakan prestasi buat kami," ujar Ny. Haji Tintin
Kuraesin, Wakil Direktur Habsatex, Majalaya. Pabrik tekstil yang
memproduksi 30 ribu meter kain kemeja, 12 ribu kain sprei, dan
10 ribu meter kain paris setiap minggu itu, hingga kini masih
mempertahankan kehadiran 125 buruhnya (16 vanita), denan gaji
Rp 8 sampai 20 ribu per minggu setiap orang.
Toh sejumlah pabrik tekstil ada juga yang terpaksa mengurangi
jumlah buruh, dan menurunkan tingkat produksi untuk menekan
beban produksi. Di Pekalongan, menuntt Sekjen API Wartono,
sampai pekan lalu sudah terjadi pemutusan kerja 2.700 buruh
dengan pesangon aia kadarnya. Jika sampai Maret tahun depan
pasaran tekstil belum juga sehat, dia khawatir puluhan ribu
buruh terancam menganggur, termasuk di Solo, Yogya, dan
Semarang.
Dan untuk mengurangi beban perusahaan, sejumlah perusahaan
nasabah Panin Bank sudah mengajukan permohonan menunda membayar
cicilan utang, dari tiga bulan menjadi enam bulan. Jumlah
pinjaman yang ditunda cicilannya itu meliputi Rp 700 juta
(kredit modal kerja dengan bunga 24% setahun), atau berjumiah
sekitar 2% dari seluruh total pinjaman yang diberikan bank itu.
"Jadi penundaan itu tak akan membawa efek buruk," kata Mu'min
Ali Gunawan, Wakil Dirut Panin Bank.
Ny. Haji Tintin Kuraesin, nasabah sebuah bank pemerintah, sudah
enam bulan terakhir ini hanya mampu mencicil bunga atas pinjaman
Rp 60 juta, karena perusahaannya tak pernah meraih keuntungan.
Sedang Lukman Hakim dari Mafahtex menghimbau agar bank sudi
mengurangi tingkat bunga pinjaman sekitar 1% atau 0,5%. "Jika
tidak ada kebijaksanaan seperti itu jangan-jangan malah justru
bank-lah yang akan jadi beban," katanya.
Pengurangan tingkat bunga seperti itu, agaknya, sulit dilakukan.
"Uluran tangan dari bank paling banter hanyalah penundaan
pembayaran cicilan utang yang hanya bersifat memperpanjang napas
pengusaha tanpa memecahkan persoalan," kata Mu'min Ali Gunawan.
Jika industri tekstil masih lesu, industri pemintalan, sebagai
penyedia bahan baku juga akan terpengaruh. PT Maligi, yang
memiliii 60 ribu mata pintal, kini sudah menuntnkan tingkat
produksi sekitar 30%. Di Pasuruan, PT Imbritek, perusahaan
patungan Indonesia dan Inggris, penghasil benang tenun benang
jahit, dan kain blacu, kini hanya mengoperasikan 30 ribu mata
pinul dari 42 ribu mau pintal yang tersedia. Hanya benang jahit,
yang dipakai banyak industri pakaian jadi, yang hingga kini
masih punya pasaran baik. "Kalau pasaran tekstil terus lesu,
tingkat produksi mungkin akan diturunkan," kata Ratmojo
Hatmokumoro, Dirut Imbritek.
Kendati permintaan lemah, PT Teijin Indonesia Fiber Corp.
(Tifico), penghasil benang sintetis Polyester Staple Fbre (SF),
dan Polyester Filamen Yarn (FY), tak mengurangi tingkat
produksi. (Tifico) yang sudah memasyarakat itu justru menaikkan
produksi SF dan FY dari 42 ton (dengan nilai Rp 62 milyar) tahun
lalu, menjadi 45 ton (dengan nilai Rp 69 milyar) tahun ini.
"Hanya harga jual kedua produk itu saja yang kami potong sekitar
20% sejak Juli, " ujar Taku Morota, Direktur Tifico. Konsumen
benang sintetis pabrik itu meliputi 50 industri tekstil.
Adalah menarik mendengarkan apa yang dikatakan Hiromi Hogan,
Dirut P T Century Textile Industry, ketika menyajikan laporan
perusahaannya untuk tahun ini. "Prospek pasaran di dalam negeri
dihadapkan pada persediaan dan produksi yang makin melimpah di
satu pihak, sementara kebutuhan kousulmen sudah banyak dipenuhi
di masa lampau."
Kebanyakan konsumen, terutama yang menghuni daerah pedesaan,
memang bukan termasuk manusia yang butuh tekstil setiap bulan.
Sedang berlimpahnya produksi sekarang, selain menciutnya pasaran
akibat angin resesi, mungkin tak pernah diperkirakan para
produsen sebelumnya. Akibatnya, banyak pengusaha yang merasa
tidur di atas barang. Seperti juga pemerintah, banyak di antara
mereka yang tadinya menduga resesi sudah akan pulih lagi di
negara-negara industri pada pertengahan atau akhir tahun ini.
Ternyata yang terjadi malah sebaliknya: resesi itu sulit diduga
kapan berakhirnya. Malah beberapa pengamat sudah melihat adanya
gejala orang di Eropa mulai membiasakan diri untuk hidup dengan
resesi ekonomi yang panjang. Kalau benar begitu, sudah pula
waktunya bagi para produsen tekstil di Indonesia untuk
menghitung kembali rencana produksi, sebelum menginjak tahun
depan yang pasti akan lebih sulit lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini