APA kata para bankir tentang gagasan restrukturisasi industri
tekstil yang belum lama berselang dilontarkan Menteri
Perindustrian A.R. Soehoed? Menteri yang jangkung itu
berpendapat kinilah waktunya melakukan perubahan susunan modal,
memperbaiki tata niaga, dan mengganti teknologi industri tekstil
yang sudah ketinggalan aman tersebut. Lebih-lebih karena
negara-negara industri yang sekarang tengah dipepet oleh resesi
ekonomi sedang bersaing keras untuk menawarkan mesin-mesinnya
dengan harga murah.
Memang ditinjau dari segi pemanfaatan kesempatan, kinilah saat
yang paling tepat untuk membeli teknologi dari negara-negara
maju. Contohnya kontrak pembangunan kilang minyak di Plaju,
seharga US$ 1 milyar lebih, yang barubaru ini ditandatangani
pemerintah dengan 3 swasta Jepang. Selain Jepang dianggap telah
membantingharga kontraknya, persyaratan-persyaratan pengembalian
kredit dan bunganya yang 7% setahun, dianggap rendah.
Tapi Wakil Dirut Panin Bank, Mu'min Ali Gunawan nampaknya punya
catatan tentang gagasan restrukturisasi yang pasti akan menelan
dana besar. "Saya berpendapat itu belum relevan saat ini," kata
Wakil Dirut Panin Bank tersebut kepada TEMPO pekan lalu. Menurut
bankir swasta Indonesia yang terbesar, di samping Bank Central
Asia, mengendurnya pasaran tekstil sekarang lebih banyak
disebabkan daya beli konsumen yang lemah. "Jadi bukan oleh
perubahan selera konsumen," katanya.
Adalah Menteri Soehoed yang menilai merosotnya permintaan
tekstil di pasaran dalam dan luar negeri, sebagai akibat kurang
tanggapnya industriindustri tekstil kita melayani selera
konsumen masa kini. Namun bankir Mu'min, yang juga memiliki
pabrik pe
minulan PT Maligi di Cimanggis, Bogor,dengan 60 ribu mata pinul,
merasa lebih tepat kalau masalahnya diatasi secara makro:
memperbaiki taraf hidup rakyat. "Bisa saja kualitas itu kita
perbaiki, tapi kalau tak ada yang mau beli, untuk apa," katanya.
Sebagai penyedia dana, seorang pejabat Bank Bumi Daya (BBD) juga
punya pendapat yang serupa dengan orang Panin Bank udi. Bankir
pemerinuh yang kini menempati gedung mentereng di sudut Jalan
Imam Bonjol, Jakarta itu, masih sangsi apakah pelaksanaan
restrukturisasi itu kelak akan memperoleh gemanya di kalangan
konsumen lapisan bawah. Sang bankir juga masih sangsi kalau
penyakit resesi yang melilit dunia itu akan bisa sembuh pada
awal tahun 1983.
Maka dia menunjuk pada sektor yang sudah banyak disebut orang
daerahdaerah penghasil komoditi ekspor, seperti Lampung,
Sum-Sel, Sum-Ut dan lain-lain. "Di saat lesunya ekspor karet,
kopi, lada, dan lain-lain, apa memang sudah waktunya masyarakat
memakai tekstil berkualitas tinggi, " katanya. "Kalaupun ada,
itu cuma segelintir masyarakat yang marnpu, yang biasanya
membeli tekstil impor yang mahal."
Mungkin yang dirisaukan para bankir adalah kemampuan
industri-industri tekstil kecil yang banyak jumlahnya itu, untuk
mencicil uung-uungnya. Itu diakui oleh Dirut Bank Negara
Indonesia 1946, H. Somala Wiria. "Karena perusahaan mungkin
tidak efisien, dan struktur modal kurang baik, yang kecil-kecil
itulah kini yang paling terpukul," kata Dirut Somala.
Bank pemerintah yang dipimpinnya memang terkenal sebagai
penyedia kredit terbesar untuk kalangan industri tekstil. Karena
terbatasnya waktu, sampai awal pekan ini, Dirut BNI '46 belum
bisa menyediakan data-data, berapa kira-kira jumlah pengusaha
yang dilayani banknya, telah meminta penangguhan untuk mencicil
uungnya. Tapi yang tercatat di BBD, dari 90 pengusaha tekstil
yang mendapat kredit, ternyata baru 5 pengusaha (2%) yang meminu
penundaan pembayaran utang. Kredit yang telah diberikan kepada
lima pengusaha tekstil itu seluruhnya Rp 720 juu. Suatu jumlah
yang tak begitu besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini