PROSPEK media cetak di Indonesia rasa-rasanya tak pernah secerah sekarang. Prospek itu begitu cerahnya, para pengusaha tidak cuma mengincar, tapi benarbenar menanamkan uangnya di sana. Beberapa waktu berselang, Surya Paloh mengambil alih sejumlah surat kabar daerah, sementara kini Soetrisno Bachir, dari Grup Ika Muda, menampung majalah bulanan Info Bank. Padahal, grup itu juga sudah menerbitkan majalah mingguan remaja Mode dan majalah bulanan Anda. Sekalipun begitu, tak urung masyarakat pers bertanya-tanya. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya motivasi yang menggerakkan kelompok bisnis di Jakarta, hingga mau mengadu untung di sektor informasi. Apalagi, selain Soetrisno, pengusaha besar seperti Fadel Muhammad dan Aburizal Bakrie juga sudah menancapkan kakinya di bisnis yang "rawan" itu. Apa semata-mata karena prospeknya yang cerah, atau misalnya akan dimanfaatkan sebagai "perisai" untuk melindungi bisnis mereka. Dan juga bukan tidak mungkin, dengan modal yang kuat, kelompok bisnis itu bisa menggencet pers yang bermodal pas-pasan. Padahal, bisnis pers tak melulu mengejar keuntungan. Ada misi mengemban kepentingan orang banyak di sektor informasi. "Pers kini sangat penting," demikian Soetrisno Bachir. "Dengan tumbuhnya ekonomi dan kecerdasan, media akan muncul sebagai kebutuhan primer," tambahnya. Ia berpendapat, kalau suatu media cetak dikelola secara profesional, maka pastilah laku keras. "Masyarakat kita sangat haus informasi," tutur Soetrisno, yang tampak begitu yakin pada masa depan pers nasional. Soetrisno sudah berkiprah dalam penerbitan media cetak sejak 1986. Ia mulai dengan memodali Mode (oplah terakhir 60.000 eksemplar) Rp 1 milyar -- Rp 500 juta diambil dari koceknya sendiri dan Rp 500 juta dari pinjaman bank. Hanya dalam sebelas bulan, majalah remaja itu berhasil mencapai titik impas. Tahun lalu, dengan modal sendiri Rp 1 milyar, ia meluncurkan bulanan Anda. "Saya memperkirakan, tak sampai setahun titik impas akan tercapai," katanya optimistis. Kini, setelah merangkul Info Bank dan menguasai 40% sahamnya, Soetrisno mengaku tak lagi terlalu peduli soal keuntungan. Ia memperkirakan, dana yang akan disuntikkan sekitar Rp 1,25 milyar -- Rp 750 juta dari pinjaman bank dan sisanya dari kocek sendiri. "Ika Muda tak akan mengambil keuntungan materi dari sini. Kalau Info Bank maju, yang ditingkatkan adalah kesejahteraan karyawannya," janjinya. InfoBank sebenarnya tak merugi. Keuntungan yang diraup selama periode 1987/1989 lumayan, ada Rp 185 juta. Hanya oplahnya yang 10.000 eksemplar itu dirasakan terlalu sedikit. Sedangkan pengasuh lama, duet Abdul Gani (Dirut Bank Duta yang menjabat pemimpin umum) dan Muchtar Mandala (bekas Dirut Bank Bukopin yang menjabat pemimpin redaksi) sangat sibuk dan hampir tak ada waktu, bahkan hanya untuk berdialog dengan anggota redaksi sekalipun. Posisi mereka sebagai petinggi bank malah membuat risi kalau, misalnya, harus mengkritik pemerintah. "Padahal, kalau dikelola lebih serius, bisa lebih maju. Mereka cari partner, dan saya dipilih karena punya ide yang sama," ucap Soetrisno. Itu sebabnya, Muchtar Mandala -- kini pemimpin redaksi yang non-aktif -- menyanggah kalau pengusaha asal Pekalongan itu dituding telah mencaplok milik orang lain. "Justru kami yang melakukan hand over," ujar Muchtar. Maksudnya, pihak dialah yang menawarkan InfoBank kepada Soetrisno, dan bukan sebaliknya. Target Soetrisno: oplah InfoBank harus 75.000 eksemplar tahun ini. Sehari-hari ia akan melibatkan diri sebagai ketua manajemen buat majalah itu. Berarti, ia akan menangani urusan keuangan, pemasaran, dan produksi. Dalam edisi Maret 1990, majalah yang sudah pindah tangan itu memang tampil agak lain. Logonya agak "genit", dan bahasaya, seperti diakui Soetrisno, dibikin populer. Dan Soetrisno, yang masih muda itu, rupanya masih akan merepotkan diri dengan ambil alih 4 media cetak lainnya. "Masih rahasia. Pokoknya, kalau ada SIUPP dan media itu bermanfaat serta punya peluang pasar, saya bersedia diajak kerja sama," katanya. Ia rupanya mau menyaingi Surya Paloh, yang kini sudah memiliki 12 media cetak di berbagai daerah. Tapi dalam kompetisi itu ada juga pengusaha lain yang tak kalah gairahnya. Dialah adalah Aburizal Bakrie, bos Bakrie & Brothers. Bisnis pers tampaknya memang menguntungkan," katanya, spontan. Kenapa menguntungkan? "Ya, karena harga jual lebih besar dari ongkos," ucapnya, setengah berkelakar. Sebetulnya bagi Ical, begitu nama akrabnya, bisnis media bukanlah hal baru. Sejak dulu ia sudah menjadi penyandang dana buat majalah Popular. Tokoh yang santer disebut-sebut akan menggaet harian Pelita itu, sejak tahun lalu, membentuk PT Media Massa Nusantara (MMN). Badan usaha ini dipimpin oleh H. Azkarmin Zaini, bekas wartawan senior dari harian Kompas. Ia dibantu oleh Sudirman Tebba dan Purnama -- juga dari Kompas. Ical membantah sewaktu dituding telah "membajak" orang. "Saya tidak membajak Azkarmin dari Kompas. Dia teman saya sejak kecil," ujarnya. Soal idealisme? "Buat saya, apakah bisnis pers atau bisnis perkebunan, sama saja idealismenya. Jangan bilang kalau bisnis perkebunan kalah ideal dengan bisnis pers. Bisnis pers paling-paling hanya melibatkan 500 orang. Nah, perkebunan bisa menampung 12.000 tenaga kerja. Jadi, semua bisnis pasti punya idealismenya masing-masing," kata Ical. Pengusaha ini juga menggarisbawahi, kondisi ekonomi masa kini sangat membutuhkan lapangan pekerjaan. "Apa jeleknya kalau konglomerat masuk ke dunia pers," kata Ical. "Perlu deregulasi dalam bisnis pers, dan SIUPP harus bisa dipermudah," ujar Surya Paloh menimpali. "Dengan begitu, persaingan akan lebih sehat." Ahmed K. Soeriawidjaja, Tri Budianto S., dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini