JEPANG sedang kebanjiran kayu lapis. Tiga tahun terakhir ini, volume ekspor kayu lapis dari sini naik hampir 15 kali lipat: dari 2.559 ribu m2 di tahun 1983 meroket ke angka 37.930 m2 sampai November 1985 lalu. Wajar bila kemudian Asosiasi Pembuat Kayu Lapis Jepang (JPMA), pekan lalu, menyatakan sangat terpukul melihat kenyataan itu. "Kenaikan itu terlalu luar biasa," kata Hisashi Takahashi, Direktur Pelaksana JPMA. Padahal, usaha Jepang membendung kayu lapis impor untuk melindungi industri dalam negerinya sudah cukup dilakukan. Bea masuk setinggi 20%, misalnya, dikenakan terhadap kayu lapis impor dengan ketebalan 3 mm sampai 6 mm. Tapi justru kayu dengan ketebalan kurang dari 6 mm itu yang membanjir dari Indonesia -- sekalipun ukuran panjang dan lebarnya tidak cocok dengan kebutuhan rumah tangga orang Jepang. Peluang menaikkan ekspor kayu lapis itu, kini, makin terbuka lebar ketika karpet pelapis lantai di banyak rumah tangga Jepang belakangan ini diberitakan banyak yang hancur dimakan sebangsa kutu. Masyarakat kemudian dianjurkan mengganti karpet tadi dengan kayu lapis. Memang kebanyakan rumah tangga Jepang lebih membutuhkan kayu lapis dengan ukuran 91 cm X 182 cm. Tapi, karena mungkin harganya murah, kayu lapis Indonesia dengan ukuran 121 cm X 242 cm sekalipun laris dibeli. Besarnya ukuran kayu lapis impor itu rupanya bukan merupakan penghalang konsumen di sana. Buktinya, setelah dipotong dan disesuaikan dengan kebutuhan, kayu lapis dari Indonesia bisa mereka beli dengan harga 380 yen, sementara kayu lapis lokal 500 yen. Harga itu sudah turun jauh karena, kira-kira setahun lalu, harga kayu lapis Indonesia itu masih 450 yen. Pukulan kayu lapis impor itu, meskipun volumenya setiap tahun hanya meliputi sekitar 4% dari seluruh produksi Jepang, rupanya meninggalkan luka dalam. Sejak tahun 1980 sampai 1984 lalu, sudah 34 pabrik kayu lapis, dengan hampir 10 ribu buruh di dalamnya, tergulung ketatnya persaingan. Sampai dua tahun lalu itu, jumlah pabrik kayu lapis yang masih bisa bernapas megap-megap tinggal 164 buah, dengan 23 ribu pekerja. Serangkaian kenyataan itu, tentu saja, makin menciutkan nyali Takahashi, apalagi mengingat mulai April 1987 nanti bea masuk kayu lapis dengan ketebalan kurang dari 6 mm bakal turun jadi 17,5%, dan setahun kemudian turun lagi jadi 15%. Mungkin karena sudah kepepet, Takahashi mulai menuduh Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) memberikan semacam uang subsidi terhadap eksportir yang bisa memasuki pasar Jepang, sejak September 1985. Tuduhan semacam itu, juga mengenai subsidi terselubung lewat kredit ekspor dan sertifikat ekspor, memang sudah dua tahun belakangan ditembakkan sejumlah negara industri untuk melindungi industri lokal mereka. Yang dilupakan anggota JPMA adalah kenyataan ini: nilai yen kini makin menguat terhadap dolar. Berubahnya nilai tukar dolar, yang lazim dijadikan mata uang patokan itu, jelas mengakibatkan biaya impor jadi murah. Di pasar uang Tokyo, pekan lalu harga dolar hanya 193 yen, padahal setahun lalu masih 254 yen. Penguatan sekitar 24% itu, yang menyebabkan harga pelbagai barang ekspor Jepang jadi tidak bersaing karena biaya produksinya ikut naik, rupanya memprihatinkan pihak Bank Sentral. Nah, supaya biaya uang para nasabah bank itu bisa ditekan, pekan lalu, Bank of Tokyo menurunkan tingkat bunga diskonto dari 5% jadi 4,5% untuk kepentingan pelbagai lembaga keuangan. Dengan turunnya tingkat bunga diskonto itu bank, yang kini bisa meminjam dana lebih murah ke Bank of Tokyo, diharapkan bisa memberikan kredit dengan bunga bersaing kepada para nasabahnya. Dengan cara itu, anggota JPMA diharapkan bisa lebih efisien dalam menghasilkan kayu lapis. Dan kemungkinan itu memang sudah dilihat anggota Apkindo. "Kalau pengusaha Indonesia tidak ikut menaikkan efisiensi, bakal tidak masuk lagi tahun depan," kata seorang pimpinan perusahaan kayu lapis. Peringatan itu tampaknya perlu dikemukakan, meskipun anggota Apkindo secara alamiah mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan JPMA upah buruh dan bahan baku (kayu gelondongan) di sini lebih murah. Tapi tunggu dulu. Pemerintah dan bank swasta di Jepang kabarnya kini sudah menyisihkan dana 150 milyar yen, yang 50 milyar yen di antaranya dari pemerintah, untuk menyubsidi kredit bagi industri anggota JPMA supaya tangguh menghadapi barang impor. Tidak tanggung-tanggung, memang, Tokyo berusaha melindungi industri masyarakat swastanya. Jadi, wajar saja jika kemudian Apkindo juga berusaha membantu anggotanya dengan nada pengganti sebesar kerugian yang dipikulnya, bila mereka memasuki suatu negara yang sangat protektif seperti Jepang. Pasar Jepang, sekalipun porsinya rata-rata kurang 5% dari seluruh ekspor anggota Apkindo, memang cukup penting (lihat Grafik). Paling tidak, kalau ada apa-apa dengan ekonomi Amerika, pasar utama kayu lapis Indonesia gampang membelokkannya ke sana -- apalagi ongkos pengapalan dengan jadwal tetap cukup murah. Kata Presiden Apkindo J.C. Oevang Oeray, kalau eksportir dari siini ingin menghantam jantung pengusaha Jepang mereka bisa membuat kayu lapis dengan ukuran standar rumah tangg Jepang. "Tapi kami tidak mau konfrontasi," katanya. Memang tidak enak, jika para pengusaha Indonesia, yang semula hanya bertindak sebagai pemasok kayu gelondongan bagi anggota JPMA dan memperoleh barang modal dari sana, jadi pesaing satu par di bawah mereka. Tapi, bukankah bisnis yang sehat berasal dari persaingan yang sehat? E.H. Laporan Seiichi Okawa (Tokyo) dan Suhardjo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini