Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mau Lokal, Tapi Mutunya Itu

Ketua BKPM mengeluarkan SK tentang daftar barang modal yang tidak terkena bebas bea masuk. Proteksi bagi produksi dalam negeri yang masih memerlukan bahan baku ln. Akan menciuntukan minat investor dari Jepang.

8 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBIJAKSANAAN baru dicetuskan lagi bagi para penanam modal. Ketua BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Ginandjar Kartasasmita mengeluarkan daftar barang modal yang tidak lagi mendapat fasilitas bebas bea masuk. Dasar pertimbangan SK, yang berlaku sejak 1 Februari 1986, itu berbau proteksi bagi produksi dalam negeri. Ginandjar, yang juga menjabat Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri, mengatakan bahwa selama ini ada perlakuan diskriminatif terhadap produksi barang modal lokal. Barang modal buatan dalam negeri, umumnya, dirakit dengan bahan baku yang sebagian besar masih impor, dan dikenai bea masuk. Itulah yang menjadi latar belakang keluarnya penghapusan bea masuk atas ratusan jenis barang modal. Daftar penghapusan fasilitas bebas bea masuk itu meliputi berbagai mesin atau peralatan keperluan pengusaha umum (alat-alat konstruksi), juga peralatan keperluan pabrik-pabrik pengolahan komoditi pertanian. (kopi, teh, karet, kelapa sawit, gula), pabrik-pabrik industri (semen, plastik, pupuk), dan industri pertambangan minyak dan gas. Sebenarnya, tidak semua barang yang disebut di dalam daftar itu sudah bisa diproduksi di dalam negeri. "BKPM hanya menyebut barang modal yang di sini sudah ada dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas yang cukup, dan harganya bisa bersaing dengan barang impor," kata Menteri Ginandjar, Senin lalu, kepada TEMPO. Keluarnya SK Ketua BKPM itu, dianggap oleh sebagian investor, semakin menyulitkan. Awal tahun 1985, satu insentif berupa tax holiday telah dihapuskan. Awal tahun ini, BKPM menghapuskan pula sejumlah barang modal dari master list, yang berarti hilangnya ketentuan bebas bea masuk, sekaligus memaksa pemakaian barang lokal. Umumnya, barang lokal memang dinilai masih diragukan kualitasnya, baik oleh perusahaan asing maupun nasional. Perusahaan konstruksi pertambangan Chiyoda (Jepang), misalnya, menurut suatu sumber, pernah memesan pipa buatan Krakatau Steel. "Ternyata, tidak memenuhi standar, bahkan Pertamina menolak memakai ukuran itu," tutur sumber di Chiyoda Jakarta. SELAIN itu, menurut Direktur Jetro (Japan External Trade Organization) Jakarta, Hiroshi Oshima, para investor Jepang mengeluhkan rendahnya kemampuan mesin perkakas dan mesin tekstil, sedangkan harganya lebih mahal. Ia memperkirakan, langkah baru BKPM ini akan semakin menciutkan minat investor Jepang ke Indonesia. Jetro Pusat di Tokyo, pertengahan 1985,mengatakan bahwa hapusnya tax holiday serta kelesuan pasar -- antara lain akibat sistem perpajakan baru dan kondisi ekonomi belum kuat -- telah mengurungkan niat sebagian investor Jepang ke Indonesia. Bahkan, menurut Oshima, tahun lalu ada lima pengusaha asal Jepang secara diam-diam telah menjual sahamnya kepada rekan Indonesia atau pihak ketiga. Tahun 1986 ini, konon ada sekitar lima perusahaan lagi hendak di tinggalkan pihak Jepang. Namun, ada yang menanggapi (langka) baru BKPM itu biasa-biasa saja. Tengku Fachri dari bidang personalia PT Soofind (perusahaan Belgia di bidang perkebunan di Sumatera Utara) dan Manajer Teknik Perkebunan London Sumatera Indonesia Sainap Siahaan, menilai penghapusan fasilitas sebagian barang modal itu sebagai langkah BKPM yang "kurang populer" saja. Dirut PT Mc Dermott, Basuki S. Hardjo soekatmo, mengatakan kepada wartawan TEMPO Budi Kusumah bahwa masih cukup perangsang bagi investor ke Indonesia. "Pajak kita lebih rendah, perusahaan yang melakukan ekspor bisa mendapatkan kredit bank pemerintah, tenaga kerja murah, dan ada Pulau Batam (yang memberi fasilitas bebas bea masuk atas semua barang modal), katanya. Menteri Ginandjar sendiri membantah bahwa ada investor Jepang menarik diri gara-gara SK-nya itu. "Tidak benar. Saya dengar sendiri dari pertemuan dengan mereka," tutur Ketua BKPM, yang telah dua kali melakukan kampanye penanaman modal di Jepang itu. Dewasa ini BKPM, menurut keterangan Deputi Bidang Pengembangan &: Promosi Achmad Az, tengah melancarkan kampanye rutin lewat KBRI di Tokyo, dengan anggaran US$ 1.500 per bulan. Di AS, yaitu di Washington, Los Angeles, New York, dan Chicago, juga ada kampanye dengan anggaran masing-masing US$ 1.000 per bulan. Sedangkan di sekitar Asia Pasifik anggaran kampanye USS 750 per bulan. Ternyata, iklim investasi tahun lalu memang masih gersang. Nilai aplikasi PMA hanya berjumlah US 1.568 juta, naik 0,5% dibandingkan tahun 1984 yang berjumlah US$ 1.559. Sedangkan untuk PMDN, nilai aplikasi 1985 sebesar Rp 5.809 juta -- turun 7% dibandingkan aplikasi 1984 sebesar Rp 6.265 juta. Target tahun ini? "Bahaya memakai target, seperti di waktu-waktu lalu, akan terjadi terlalu banyak izin dikeluarkan," kata Ginandjar Kartasasmita. Ia mengakui, kebijaksanaan baru BKPM ini bisa merupakan disinsentif bagi yang mau memasukkan mesin, tapi jaminan bagi yang mau memproduksi barang modal di sini. Max Wangkar Laporan Biro Jakarta dan Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus