Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif resmi meneken revisi regulasi mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Kebijakan ini tertuang di dalam Peraturan Menteri atau (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum atau IUPTLU, alias PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan berlakunya Permen tersebut, skema jual beli listrik dari pemasangan PLTS Atap tak lagi bisa dilakukan oleh pengguna. Pasal 13 dalam Permen menyatakan, kelebihan energi listrik dari PLTS Atap yang masuk ke jaringan pemegang IUPTLU tak dihitung ke dalam penentuan jumlah tagihan listrik pelanggan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, pemerintah berjanji akan memberikan insentif untuk menarik minat pemasangan PLTS Atap.
"Kan tidak ada ekspor-impor (listrik), tapi tetap ada insentifnya. Konsumen yang pasang PLTS Atap itu tidak kena charge, kan ada biaya sandar dan sebagainya. Nah, di dalam itu tidak ada, itu sebagai insentif," kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam keterangan resmi yang dikutip Ahad, 25 Februari 2024.
Atas revisi Permen tersebut, Dadan mengakui bahwa pengembangan PLTS Atap untuk rumah tangga akan jadi kurang menarik. Sebab, puncak penggunaan listrik berada pada malam hari, sementara produksi puncak PLTS Atap pada siang hari.
"Tidak ada ekspor impor listrik dan tidak ada titip (listrik). Kalau dulu kan bisa dititipkan di PLN (produksi listrik PLTS Atap di siang hari), terus dipakai malam. Rumah tangga kan pakai listriknya malam, padahal matahari adanya siang. Nah, ini kurang match di situ, kecuali jika menggunakan baterai untuk menyimpan listrik," ucapnya.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Permen ESDM 2/2024 terlalu berpihak pada kepentingan PT PLN (Persero). Pasalnya, aturan baru ini menghapus skema net-metering sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari PLTS atap pengguna ke jaringan PLN tidak dapat dihitung sebagai pengurangan tagihan listrik.
Menurut Fabby, aturan tersebut akan membatasi partisipasi publik untuk mendukung transisi energi lewat PLTS Atap.
"Peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025 dan target bauran energi terbarukan 23 persen pada tahun yang sama," kata Fabby melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 23 Februari 2024.
Fabby juga mengatakan, peniadaan skema net-metering akan berdampak pada menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap, terutama pada segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak pada malam hari. Walhasil, kata dia, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil cenderung menunda adopsi PLTS atap.
"Karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari," ujar Fabby. "Tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal. Terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi atau battery energy storage."
Dadan mengatakan, pemerintah akan mendorong pemanfaatan PLTS Atap untuk industri. Menurut dia, konsumsi listrik industri relatif stabil. Produksi listrik PLTS Atap di siang hari bisa langsung digunakan oleh industri yang beban puncaknya juga di siang hari. ESDM membantah Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 akan menurunkan target pemasangan PLTS Atap sebesar 3,6 gigawatt.
"Kami tidak menurunkan target, tapi kita masih menunggu, masih membahas, masih memastikan kuota yang keluar tahun ini berapa. Karena akan ada urusannya dengan keandalan sistem PLN. Lagi dihitung oleh Ditjen Gatrik, EBTKE dan PLN," ujar Dadan.
Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 memberlakukan sistem kuota. Sebabnya, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus menjamin kualitas listrik tetap andal untuk disalurkan kepada masyarakat dan industri. Mengingat, kata dia, PLN punya keterbatasan dari sisi penerimaan listrik dari PLTS Atap.
"Misalnya sekarang mendung, padahal PLN menghitung ini ada listrik PLTS Atap. Di satu sisi harus menyediakan listrik yang harus siap salur, di sisi lain tetap harus menyalurkan listrik yang berkualitas," katanya.
Pasal 7 Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 menyebutkan bahwa pemegang IUPTLU (PLN) wajib menyusun kuota pengembangan sistem PLTS Atap untuk setiap sistem tenaga listrik. Penyusunan kuotanya didasarkan atas pertimbangan arah kebijakan energi nasional, rencana dan realisasi rencana usaha penyediaan tenaga listrik, serta keandalan sistem tenaga listrik sesuai ketentuan dalam aturan jaringan pemegang IUPTLU. Kuota pengembangan sistem PLTS Atap disusun untuk jangka waktu lima tahun, yang dirinci untuk setiap tahun dari bulan Januari sampai Desember.
Kuota disusun oleh pemegang IUPTLU dengan mempertimbangkan tiga hal. Mulai dari arah kebijakan energi nasional, rencana dan realisasi rencana usaha penyediaan tenaga listrik, serta keandalan sistem tenaga listrik sebagaimana dalam aturan jaringan sistem tenaga listrik (grid code) pemegang IUPTLU.
ANNISA FEBIOLA
Pilihan Editor: Pekan Keempat Februari, Aliran Modal Asing Masuk Rp 1,01 Triliun