Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Ada Tambang Nikel Ilegal di Konsesi Vale Indonesia?

Tambang nikel ilegal mengepung lahan konsesi Vale. Menyisakan problem lingkungan. 

7 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penambangan nikel ilegal di konsesi Vale kian masif sejak 2020.

  • Akumulasi luas penambangan nikel ilegal di Vale lebih dari 900 hektare.

  • Penambangan ilegal menyisakan persoalan lingkungan.

POS jaga berdinding kayu itu kosong melompong. Alih-alih melintang sebagai penutup jalan, portal besi di hadapan pos itu dibiarkan terbuka. Padahal jalan selebar 5 meter di Desa Bahomotefe, Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, itu menjadi salah satu pintu masuk ke area penambangan nikel PT Vale Indonesia Tbk di Sulawesi Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu siang di akhir Maret lalu, tak ada truk lalu-lalang melindas jalan tanah membawa bijih nikel dari lahan konsesi Vale. Di Sulawesi Tengah, perusahaan asal Brasil itu memiliki lahan konsesi 22.699 hektare, hampir sama dengan luas Kota Bekasi di Jawa Barat. Di pelabuhan yang berjarak 1 kilometer dari pos jaga, hanya ada kapal nelayan yang tertambat. Bukan lagi tongkang berbobot 10 ribu ton pengangkut nikel, seperti dua atau tiga tahun lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut seorang warga Bahomotefe bernama Marko, di desanya pernah ada penambangan nikel ilegal di lahan Vale yang berhenti pada Maret tahun lalu. Ketika itu, tim dari pemberantasan tambang ilegal Markas Besar Kepolisian RI datang ke kawasan tersebut, menyita sejumlah alat berat. 

Marko bersyukur penambangan ilegal berhenti karena desa tempat dia tinggal paling terkena dampak. Saban musim kemarau tiba, kata dia, debu dari tambang beterbangan mengganggu pernapasan. Sedangkan pada musim hujan, air di desanya keruh. “Longsor pernah terjadi, tapi jauh dari pemukiman,” tutur pria 37 tahun itu kepada Tempo pada Ahad, 26 Maret lalu. 

Meski begitu, Marko tak memungkiri kalau penambangan ilegal disebut menghidupkan perekonomian warga. Masyarakat, dia mengungkapkan, memperoleh pendapatan dari pengapalan para kontraktor yang menambang nikel ilegal. Marko bercerita, suatu hari ada kontraktor yang tak membayar biaya pengapalan kepada masyarakat setempat. “Kami memasang palang di jalur masuk pelabuhan sampai hak masyarakat dibayar,” ujarnya. 

Sisa-sisa bekas penambangan nikel ilegal masih tampak. Bukit-bukit di Bahomotefe terlihat gundul, tanah sisa pengerukan meninggalkan lubang-lubang menganga. Di bawah bukit, terlihat lima truk dan empat alat berat terparkir begitu saja. Tak jauh dari pos jaga, tampak puluhan gundukan tanah merah yang mengandung nikel, tak terburu diangkut ke pelabuhan. 

Suryana, 55 tahun, warga Desa Onepute Jaya, Kecamatan Bungku Tengah, mengatakan penambangan nikel ilegal ada sejak 2010. Ketika itu, dia menerangkan, banyak perusahaan lokal yang bekerja sama dengan perusahaan Cina mengeruk nikel di Morowali. Saking masifnya aktivitas itu, kata Suryana, untuk pertama kalinya terjadi tanah longsor dan banjir di Desa Dampala pada 2018. 

Sama seperti Marko, Suryana tak mengingkari realitas bahwa penambangan nikel membuat perekonomian hidup karena membuka lapangan pekerjaan. Namun, dia menambahkan, dalam 10-15 tahun ke depan, masyarakat akan merasakan dampak penambangan ilegal karena perusahaan tak bertanggung jawab atas kelestarian lingkungan. 

Penambangan ilegal di lahan konsesi Vale kian masif pada 2020. Penambangan itu disebut ilegal karena berada di dalam kawasan hutan tapi di luar lahan berstatus izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. IPPKH adalah salah satu syarat sebuah perusahaan bisa menambang.  

Berdasarkan hitungan Greenpeace Indonesia, akumulasi area penambangan ilegal di lahan konsesi Vale sebesar 792,22 hektare. Rinciannya, penambangan ilegal di Blok Bahodopi seluas 605,99 hektare, Blok Sorowako 97,45 hektare, dan Blok Pomalaa 88,78 hektare. Lokasi penambangan ilegal ini tersebar dari hutan produksi sampai hutan lindung. 

Di kalangan kontraktor, lahan konsesi Vale menjadi incaran penambang ilegal karena kadar nikelnya di atas 2 persen. Dalam hitungan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, harga nikel berkadar di atas 2 persen melampaui US$ 60 per ton pada April 2023. 

Para penambang ilegal leluasa masuk ke area konsesi Vale karena tak terawasi, saking luasnya lahan perusahaan itu. Saat ini lahan konsesi Vale seluas 118.017 hektare, tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Luas area tersebut tinggal 1,8 persen dari luas awal 6,6 juta hektare yang diberikan pemerintah Indonesia dalam kontrak karya pada 1968. 

Terakhir, area konsesi Vale berkurang 118 ribu hektare pada 2014. Saat ini pemerintah dan Vale tengah bernegosiasi karena kontrak karya perusahaan itu berakhir pada 28 Desember 2025. Dalam rapat panitia kerja Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat pada September 2022, Gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur Sulawesi Tenggara, dan Gubernur Sulawesi Tengah menolak memperpanjang kontrak karya. 

Dimintai konfirmasi tentang penambangan ilegal di Vale, Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi Aswin Bangun mengaku belum mengetahui persis kasus tersebut. Meski begitu, ia terbuka kepada siapa saja yang hendak memberikan data penambangan ilegal di Vale. 

Sebab, Aswin menjelaskan, lembaganya tidak melihat banyak atau sedikitnya aktivitas tambang, melainkan proses yang dilakukan, apakah mengikuti peraturan atau tidak. “Selama prosesnya dilakukan mengikuti peraturan yang berlaku, kegiatan yang legal diperkenankan,” tuturnya pada Kamis, 4 Mei lalu. “Kalau tidak sesuai dengan aturan, itu ilegal.” 

Ihwal pencegahan, Aswin mengatakan itu adalah tugas dinas kehutanan daerah. Saat ini, dia menambahkan, kawasan hutan lindung dan produksi dikelola oleh pemerintah daerah berdasarkan amanat Undang-Undang Otonomi Daerah. Sedangkan kawasan konservasi di bawah KLHK. “Kami baru bertindak ketika ada laporan,” ujarnya.  

Pelaksana tugas Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, A. Rahmansyah, mengatakan semua penambangan ilegal sudah ditutup pada 2022. Meski begitu, ia tak memungkiri masih banyaknya nikel ilegal yang belum diangkut ke pelabuhan. 

Rahmansyah mengatakan petugas Dinas Kehutanan terus berpatroli untuk mencegah penambangan ilegal, termasuk di lahan konsesi Vale. Bagi dia, kalau petugas menemukan, penambangan ilegal tanpa IPPKH akan dipidanakan. “Kena sanksi juga sesuai dengan aturan,” ucapnya. 

Rahmansyah menduga penambang ilegal di area konsesi Vale dilakukan oleh para kontraktor Vale sendiri. Menurut dia, tidak mungkin ada perusahaan lain yang berani masuk dan menambang nikel di Vale tanpa diketahui perusahaan tersebut. “Ada kemungkinan kontraktornya, jadi ya tidak ada masalah kalau masuk,” kata Rahmansyah. 

Namun manajemen Vale belum memberi tanggapan tentang penambangan ilegal di lahan konsesinya. “Kami kabari kalau sudah ada jawabannya, ya,” tutur Suwarny Dammar, Senior Coordinator Communication Vale Indonesia, Sabtu, 6 Mei lalu. 

Menurut Team Leader Forest Campaigner Greenpeace Indonesia Arie Rompas, penambangan ilegal marak karena lemahnya pengawasan pemerintah serta tumpulnya penegakan hukum. Arie mengatakan hal itu terjadi karena elite politik dan aparat diduga mendapatkan cuan dari praktik ilegal tersebut. “Yang menanggung dampak penambangan ilegal adalah masyarakat,” ujarnya. 
 
Handi, aktivis Koalisi Rakyat Selamatkan Morowali, mengatakan penambangan ilegal terjadi karena ada yang melindungi. “Kan, tidak mungkin beroperasi dalam dua tahun kalau tidak ada yang menjamin keamanannya,” kata warga Desa Siumbatu, Bahodopi, itu.  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Didit Hariyadi dari Morowali berkontribusi dalam penulisan artikel ini yang terbit di edisi cetak dengan judul "Dikepung Tambang Nikel Ilegal"

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus