Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bagaimana Perusahaan Jusuf Kalla Membangun Smelter Nikel

Bumi Mineral Sulawesi milik Grup Kalla membangun smelter nikel bersama sejumlah investor. Ditopang sumber energi terbarukan.

7 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PORTAL besi menghadang di depan gerbang utama pabrik pengolahan atau smelter nikel PT Bumi Mineral Sulawesi di Desa Karang-Karangan, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Pos penjaga berdiri tepat di sebelah kiri palang pintu tersebut. “Tamu wajib lapor”, begitu tulisan pada papan yang terpasang di pos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kompleks smelter ini berada di tiga desa, yakni Toddopuli, Karang-Karangan, dan Bukit Harapan. Smelter beratap biru yang sedang memasuki tahap konstruksi ini tampak mencolok, berdampingan dengan permukiman warga di sebelah kiri dan lahan pertanian di sisi kanan. “Kami membuat dua pabrik pada pembangunan tahap I ini,” kata Direktur Bumi Mineral Sulawesi Afifuddin Suhaeli Kalla kepada Tempo pada Jumat, 5 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Smelter ini terdiri atas dua bagian. Yang pertama, Afifuddin menjelaskan, smelter feronikel dengan output 10 persen dari bahan baku. Smelter berkapasitas 34 ribu ton output per tahun ini akan rampung dibangun dan beroperasi pada Oktober 2023. Proyek kedua adalah pabrik nikel sulfat battery grade berkapasitas produksi 31.400 ton output per tahun. Nikel sulfat diperlukan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Smelter ini bakal beroperasi pada triwulan I 2024. Semua proyek tahap I mengolah bijih nikel 1 juta ton per tahun. 

Bumi Mineral Sulawesi adalah perusahaan di bawah Grup Kalla. Berdiri pada Oktober 2014, perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan mineral ini sepenuhnya dimiliki dan dikelola keluarga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemegang saham pengendalinya adalah PT Hadji Kalla, yang menguasai 62,2 persen saham. 

Pembangunan tahap II dimulai pada 2024. Bumi Mineral Sulawesi akan melakukan ekspansi besar-besaran pada periode lanjutan ini dengan membangun empat unit smelter penghasil nikel sulfat, masing-masing berkapasitas 31.400 ton output per tahun. Fasilitas jumbo ini mengolah ore nikel 2,5 juta ton per tahun dan akan rampung dibangun pada 2026.

Saat ini Bumi Mineral sedang mendirikan fasilitas terminal pelabuhan khusus atau jetty serta jalan layang atau flyover dari pabrik menuju pelabuhan itu. Jalan layang diperlukan supaya aktivitas pengangkutan material tambang tidak mengganggu lalu lintas warga di jalan poros Palopo-Makassar. “Kemajuan pembangunan jetty sudah 65 persen,” Afifuddin menerangkan.

Smelter nikel Luwu didukung pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 225 megawatt (MW). Perusahaan tengah membangun pembangkit listrik energi terbarukan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Infrastruktur ini memanfaatkan Sungai Saddang yang mengalir di daerah tersebut. “PLTA sudah mencapai 85 persen,” tutur Afifuddin.

Seorang warga Desa Bukit Harapan, Akbar, mendengar kabar bahwa pabrik pengolahan nikel ini membutuhkan lahan sekitar 500 hektare. Sejauh ini, Bumi Mineral baru membebaskan lahan 400 hektare. Menurut amatan Akbar dan warga sekitar, pembangunan pabrik tergolong cepat. Proyek mulai digarap tahun lalu dan kemajuannya pesat. “Pak Jusuf Kalla beberapa waktu lalu datang ke sini,” ujarnya. 

Menjelang akhir Februari lalu, Jusuf Kalla datang untuk meninjau pembangunan pabrik dan fasilitas pendukung, seperti akses ke pelabuhan dan jetty. Dia juga meninjau PLTA serta saluran udara tegangan tinggi untuk menyalurkan listrik ke smelter. Bumi Mineral membangun transmisi sepanjang 220 kilometer. 

Pembangunan smleter oleh PT Bumi Mineral Sulawesi di Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Tempo/Didit Hariyadi

Kepada Tempo pada Kamis, 2 Maret lalu, Kalla bercerita bahwa smelter dibangun di Luwu supaya lebih efektif dan efisien. Pabrik ini akan mendapat suplai nikel dari penambang-penambang lokal di Kendari, Kolaka, dan Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Ia mengatakan banyak pemegang izin usaha pertambangan skala kecil yang antre memasok nikel ke smelter itu. 

Selama ini, penambang-penambang kecil tersebut menjual nikel mereka ke smelter di Morowali, Sulawesi Tengah. Masalahnya, karena tambang mereka berada di Sulawesi Tenggara, dibutuhkan dua hari untuk mencapai Morowali dengan perjalanan darat. Sedangkan bila nikel dikirim ke smelter di Luwu, perjalanan akan memakan waktu sekitar enam jam melalui jalur laut. "Akan jauh lebih efisien," ujar Kalla.  

Menurut Kalla, grup perusahaannya akan membangun PLTA dengan kapasitas total 2.000 MW. Saat ini yang sudah terealisasi sebesar 800 MW, antara lain PLTA Poso Unit 1 (195 MW) dan Unit 2 (320 MW) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang beroperasi sejak Desember 2021. Ada pula PLTA Malea (2 x 45 MW) di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Grup Kalla juga akan mengembangkan PLTA Poso Unit 3 (400 MW) dan PLTA Poso Unit 4 (30 MW). Selain itu, di Mamuju, Sulawesi Barat, akan dibangun PLTA Tumbuan Mamuju Atas (90 MW) dan PLTA Tumbuan Mamuju Bawah (360 MW). “Pembangunan PLTA itu berjenjang. Sekarang sedang persiapan Poso 3,” ucap Kalla. Di luar Sulawesi, Grup Kalla mengembangkan PLTA Kerinci (350 MW) di Merangin, Jambi. Sejauh ini, progres pembangunan PLTA Kerinci sudah mencapai 50 persen.

Dalam proyek smelter nikel Luwu, Grup Kalla berkongsi dengan Eramet. Perusahaan pertambangan asal Prancis ini sudah belasan tahun beroperasi di Indonesia melalui partisipasi di PT Weda Bay Nickel, Halmahera, Maluku Utara. 

Kerja sama itu terungkap dalam pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Bahlil mengatakan, pada Ahad, 16 April lalu, Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan dengan petinggi Volkswagen PowerCo, anak usaha perusahaan otomotif Jerman, Volkswagen, yang menangani bisnis baterai mobil listrik. Pertemuan di Hotel Kastens Luisenhof, Hannover, Jerman, itu dihadiri petinggi Eramet dan perusahaan kimia Jerman, BASF.

Bahlil mengatakan Grup Kalla berkolaborasi dengan Eramet dan BASF. Adapun Volkswagen PowerCo akan membangun ekosistem baterai mobil listrik bersama PT Vale Indonesia Tbk di pabrik nikel Blok Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Dalam proyek ini, Vale juga berkolaborasi dengan perusahaan pengolah nikel asal Cina, Zhejiang Huayou Cobalt Co, dan produsen mobil asal Amerika Serikat, Ford Motor Co.

Kabar tentang kerja sama ini dibenarkan oleh Afifuddin Kalla. Menurut dia, pembahasannya berlangsung sejak tahun lalu. Bahkan Grup Kalla dan Eramet telah membentuk perusahaan patungan atau joint venture bernama PT Eramet Bumi Sulawesi. “Kami sudah jauh, sejak tahun lalu berkomunikasi intensif,” Afifuddin mengungkapkan. 

Kedua perusahaan ini berkongsi untuk mengembangkan ekosistem green nickel yang menggunakan pembangkit listrik ramah lingkungan. Rencananya, mereka akan membangun dua unit PLTA berkapasitas 1.000 MW. Kolaborasi dijalin dari pengembangan pembangkit listrik, penambangan nikel, hingga pengembangan smelter serta pabrik prekursor. Afifuddin mengatakan Volkswagen PowerCo akan masuk ke ekosistem green nickel

Adapun Jusuf Kalla menyebut ekosistem hijau sebagai kunci. “Pasar akan datang,” tuturnya, optimistis. Sebab, Kalla menjelaskan, pasar Eropa hanya mau membeli produk smelter yang memakai energi hijau. “Satu-satunya smelter yang mempunyai green energy di Sulawesi cuma Kalla Group, selain smelter lama Vale di Luwu Timur yang juga pakai PLTA. Lainnya pakai pembangkit tenaga uap,” ujarnya. 

Kalla juga mengatakan pembeli dari Amerika Serikat hanya mau membeli produk olahan nikel dari proyek yang tidak melibatkan Cina, baik dari sisi kepemilikan, pembiayaan, permodalan, maupun tenaga kerja. Karena itu, dia menambahkan, “Bukan kita yang mencari pasar, tapi pasar yang datang.” Kuncinya, menurut dia, adalah listrik energi bersih yang berasal dari Tana Toraja dan Poso untuk menggerakkan mesin-mesin smelter di Desa Karang-Karangan.

Adapun bagi warga Desa Bukit Harapan, proyek smelter nikel Luwu adalah harapan. Akbar dan warga lain mendengar kabar bahwa Bumi Mineral Sulawesi akan membangun sekitar 10 tungku dengan kebutuhan pegawai sebanyak 1.200 orang per tungku. “Kabarnya Juli-Agustus akan ada penerimaan karyawan,” tutur Akbar, berharap-harap.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Khairul Anam di Jakarta dan Didit Hariyadi di Luwu berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di versi cetak artikel ini terbit dengan judul "Asa Smelter Hijau di Luwu"

Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus