HADIAH Adinegoro '78 seakan- akan dipaksakan, terutama untuk
karya tulis. Dewan jurinya yang terdiri dari 5 orang
diharuskan mencari pemenang. Memang ada pemenang. Tapi apakah
selayaknya menang?
"Terus terang saya terkejut," demikian Rosihan Anwar, anggota
Dewan Juri, tentang mutu 31 karangan yang masuk "yang umumnya
kurang memadai dari sudut teknis jurnalistik." Rosihan ini sudah
8 tahun menjadi Direktur Program Karya Latihan Wartawan (KLW)
PWI Pusat. Jadi, penilaiannya boleh dianggap berwibawa.
Suatu buku peringatan Hadiah Adinegoro (1974-78) memuat komentar
Rosihan tentang apa yang telah terjadi, antara lain: "Panitia
Penyelenggara meminta saya supaya memberikan angka penilaian
(dari 0 hingga 100) untuk empat hal yaitu (1) Jurnalistik, (2)
Kedalaman, (3) Sistematik-komposisi, (4) Bahasa. Sudah barang
tentu saya ikuti pedoman pihak Panitia tersebut, walaupun
pribadi saya beranggapan sebenarnya hanya tiga syarat atau aspek
sesuatu karangan yang perlu dinilai yaitu (1) Isi, (2) Bahasa,
(3) Teknik persembahan. Ketentuan ini ialah menurut ilmu
komposisi yang lazim. Barangkali pada tahun depan Panitia suka
mernpertimbangkan pandangan ini"
Terbayang dari situ bahwa cara memberi penilaian masih belum
matang dipikirkan. Padahal pemilihan untuk Hadiah Adinegoro ini
sudah kelima kalinya sejak 1974.
Hadiah Pulitzer
PWI Jaya memprakarsai gagasan Hadiah Adinegoro dengan tujuan
meningkatkan mutu jurnalistik, terutama di Jakarta. Gagasan ini
mendapat inspirasi dari Pulitzer Prie di Amerika Serikat. Tapi
Joseph Pulitzer (1847-1911), wartawan dan penerbit terkenal itu,
menghibahkan uang yang cukup besar jumlahnya pada Columbia
University guna membuka jurusan jurnalistik (1912) dan kemudian
hadiah tahunan sejak 1917. Ada 12 macam hadiahnya di bidang
jurnalistik saja, di samping untuk penulisan buku, karya musik
dan beasiswa.
Sesuai dengan pesan Pulitzer, Columbia University menetapkan
para pemenang berdasar rekomendasi Badan Penasehat. Universitas
itu menunjuk sejumlah juri untuk kategori masing-masing. Tapi
pilihan juri hanya dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi Badan
Penasehat itu yang beranggotakan para tokoh pers terkemuka dan
dari Columbia itu sendiri.
Para peserta mengirimkan karya masing-masing pada sekretariat
Badan Penasehat tadi. Semua sudah berjalan teratur.
Diselenggarakan dengan penuh wibawa, Pulitzer Prize sungguh
berniiai tinggi di mata masyarakat.
Djamaluddin Adinegoro gelar Datuk Maradjo Sutan, tokoh pers
Indonesia yang meninggal 8 Januari 1967 dalam usia 62 tahun,
bukanlah orang kaya yang mampu menghibahkan sesuatu untuk hadiah
tahunan. PWI Jaya memakai namanya melulu karena penuh hormat
kepadanya.
Zulharmans, Ketua PWI Jaya, mengungkapkan bahwa organisasi dan
program Hadiah Adinegoro selalu terbentur pada biaya yang belum
memadai. Dua tahun pertama, juri sepenuhnya dari kalangan PWI
saja. Kemudian secara berangsur dimasukkan unsur luar seperti
terakhir ini turut wakil dari Sekolah Tinggi Publisistik,
Universitas Indonesia, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
sebagai juri. Dan telah terbentuk pula suatu Yayasan guna
melembagakan Hadiah Adinegoro ini, demikian Zulharmans.
Dari tahun ke tahun yang relatif pendek, kemajuannya sudah
tampak. Namun jalan masih jauh untuk membuat Hadiah Adinegoro
ini bernilai.
Pemenang karya tulis tahun 1978 adalah Dengan Truk Menyusuri
Pulau Jawa oleh D.J. Pamoedji & Maruli Tobing yang pernah dimuat
Kompas. Tiga dari lima juri memilihnya hingga sepatutnya
dinyatakan menang. Tulisan inl mungkin terbaik dari semua yang
jelek.
Lebih Berbobot
Yang jelas, seperti dikatakan Rosihan Anwar pada TEMPO, tidak
pernah ada sidang Dewan Juri. "Pemenang hanya ditentukan dari
hasil penjumlahan angka masing-masing. Menurut saya, itu kurang
bisa' dipertanggungjawabkan. Semustinya ada diskusi. Dengan
diskusi dan adu argumentasi, hasilnya akan lebih berbobot . . .
Saya sebetulnya mengusulkan agar tak ada yang diberi hadiah."
Hadiah karya foto, berbeda dengan tahun sebelumnya, hanya
diberikan pada satu pemenang saja, yaitu Dari Pulau Dua oleh
Kartono Ryadi, yang juga pernah dimuat Kompas. Ada 46 foto
peserta yang dinilai oleh 4 juri. Ada 6 foto dari semua itu
"mendapat sorotan khusus dari berbagai segi dan makna.
Masing-masing juri melakukan perdebatan seru," kata ketua
panitia Syamsul Basri.
Pemenang Hadiah Adinegoro '78 untuk karya foto, kalau begitu,
selayaknya menang. Namun, ada anjuran supaya sesudah para juri
memilih, seperti halnya di Columbia, sebaiknya ada lagi suatu
Badan Penasehat yang memutuskan untuk memajukan rekomendasi pada
Yayasan Hadiah Jurnalistik Adinegoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini