Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengatakan ada 796 titik pelanggaran tata ruang di kawasan Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Puncak Cianjur atau Jabodetabek-Punjur. Ia menyebut pelanggaran itu secara tidak langsung berdampak pada banjir di kawasan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nusron mengatakan pelanggaran yang terjadi berupa perubahan tata guna lahan atau penggunaan lahan. "Lahan yang dulunya hutan, perkebunan, pertanian, digunakan untuk kepentingan permukiman, perumahan, maupun untuk kepentingan industri," kata Nusron usai rapat koordinasi di Kementerian PU, Jumat, 21 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nusron menyebut pelanggaran tata ruang itu terjadi sejak lama. Pelanggaran paling banyak terjadi di Kabupaten Bogor. Jumlahnya, kata dia, mencapai kurang lebih 400 pelanggaran atau lebih dari 50 persen.
Ia menjelaskan, beberapa pelanggaran terjadi usai terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. "Tapi pelanggaran yang sebelum tahun 2020 juga ada," kata Politikus Partai Golkar itu.
Menurut Nusron, pelanggaran terjadi karena ketidakdisiplinan. Namun, ia tidak menyebut siapa pihak yang tidak disiplin itu. Nusron kemudian mengaitkan persoalan ini dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja. "Kami tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa. Ini kan sejak ada Cipta Kerja, ada OSS (Online Single Submission), ada satu mekanisme fiktif-positif, yang SLA (Service Level Agreement), yang KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang)" ujar Nusron.
Nusron menjelaskan, sebelum ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), ada KKPR terlebih dahulu. Namun, dalam UU Cipta Kerja dan PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha dan Berbasis Risiko, menyampaikan apabila izin KKPR lebih dari 45 hari, maka menggunakan rumus SLA.
"Setuju tidak setuju, dinyatakan setuju," kata Nusron.
Kemudian setelah melakukan review dan berkomunikasi dengan Menteri Investasi dan Hilirisasi, Nusron menyebut 83 persen KKPR yang berbasis SLA tidak sesuai. Hal ini ditemukan di seluruh Indonesia.
"Solusinya adalah percepatan penyusunan RDTR, supaya KKPRnya itu begitu masuk, mau di SLA maupun tidak SLA, itu benar dan sesuai," kata Nusron.