Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex sebagai perusahaan publik yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan dan pengumuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Departemen Pengawasan Emiten dan Perusahaan Publik OJK Novira Indrianingrum mengatakan penetapan ini berdasarkan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-16/D.04/2025 tentang Penetapan Emiten atau Perusahaan Publik yang Dikecualikan dari Kewajiban Pelaporan dan Pengumuman dan terhitung berlaku sejak tanggal 10 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan dengan kode saham SRIL ini, Novira menjelaskan, ditetapkan sebagai emiten yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan dan pengumuman karena telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht. Dengan adanya penetapan tersebut, Sritex dikecualikan dari kewajiban pelaporan dan pengumuman atas laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, serta laporan tahunan.
“Pengecualian kewajiban pelaporan dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.04/2015 PT Sri Rejeki Isman Tbk tersebut berlaku untuk kewajiban pelaporan dan pengumuman yang timbul sejak tanggal 10 Maret 2025,” tulis Novira dalam pengumuman bernomor PENG-1/PM.21/2025 di laman resmi OJK, dikutip Ahad, 16 Maret 2025. Pengecualian ini berlaku hingga OJK mencabut penetapan emiten atau perusahaan publik yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan dan pengumuman.
Novira mengatakan penetapan ini sesuai dengan amanat Pasal 6 Peraturan OJK Nomor 29/POJK.04/2015 tentang Emiten atau Perusahaan Publik yang Dikecualikan dari Kewajiban Pelaporan dan Pengumuman.
Adapun Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi berhenti beroperasi pada Sabtu, 1 Maret 2025. Sritex tak lagi beroperasi karena tak bisa membayar utang atau pailit. Akhir perjalanan bisnis perusahaan yang pernah memiliki pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara itu dikonfirmasi melalui rapat kreditur kepailitan Sritex yang berlangsung akhir Februari lalu.
Debitur dan kurator pailit menilai Sritex dalam kondisi tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang sehingga tidak dapat melakukan keberlanjutan usaha atau going concern.
"Tidak mungkin dijalankan going concern dengan kondisi yang telah dipaparkan oleh kurator maupun debitur pailit," kata Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Semarang, Haruno Patriadi, dalam rapat kreditur kepailitan PT Sritex di Semarang, Jumat, 28 Februari 2025, seperti diberitakan Antara.
Lebih dari 10 ribu orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam penghentian operasi perusahaan yang sudah berdiri sejak 1966 itu. Jumlah total karyawan dan pekerja Sritex Group yang terkena PHK akibat putusan pailit mencapai 10.665 orang. Gelombang PHK itu terhitung sejak Januari hingga akhir Februari 2025. Jumlah tersebut berasal dari pekerja di empat perusahaan Sritex Group, yakni PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan PT Primayuda Boyolali.
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.