PERLAHAN, tapi pasti. Itulah Gunung Agung Group (GAG), sebuah nama yang tersohor dalam bisnis buku, dan kini meluaskan usaha ke pertambangan emas. Ini tentu langkah maju, yang tak urung menimbulkan tanda tanya. Mengapa emas, apa prospeknya kira-kira jelas? Dengan nama PT Panen Mas Agung, GAG bekerja sama dengan PT Aneka Tambang (Antam), melakukan penggalian di daerah Cikondang, Cianjur, Jawa Barat. Ini sudah dimulai sejak 1986. Hanya, menurut sebuah sumber, baru pada bulan-bulan terakhir ini Panen Mas Agung (PMA) menemukan si kuning kemilau. "Biasanya, 'kan eksplorasi itu memakan waktu sampai tiga tahun," kata Purba Situmorang, juru bicara Antam. Mungkin karena itu, belum bisa diungkapkan berapa investasinya. Yang pasti, di atas proyek penambangan seluas 2.475 hektar itu, Antam bukan pemegang saham mayoritas (hanya 22,5%, sisanya dikuasai oleh GAG). Kendati penambangan emas cenderung meluas, belum tentu semua investor melirik atau betah di sektor ini. Lihat saja Colonial Sugar Refinery (CSR). Investor Australia yang biasa bergerak di bisnis gula itu di sini justru dikenal sebagai pemodal kakap bidang penambangan emas. Tapi kini beredar kabar, CSR berniat menjual saham-sahamnya, (tertanam di tujuh perusahaan kontrak karya), pada Biliton International Metals - sebuah anak perusahaan dari Shell Companies Indonesia. Belum jelas benar apa yang menyebabkan CSR angkat kaki, padahal modal yang ditanamnya tidak kecil. Lagi pula, sudah mcmbuahkan hasil. Di Lusang Mining Bengkulu - salah satu dari tujuh kontrak karya dengan Lebong Tandai Group -misalnya, CSR menguasai 70% saham. Nilai tambang itu, kalau ditaksir sekarang, sudah mencapai 32 juta dolar AS. Begitu pula pada usaha patungan lainnya, CSR muncul sebagai pemegang saham mayoritas. Di PT Ketaun Mining Bengkulu, mereka memegang 60%. Sementara itu, di Bima Baruna Raya Mining, PT Flores Indah Mining, dan PT Prima Mining Maluku, CSR masing-masing menguasai 90% saham. Belum lagi kerja sama yang dilakukannya dengan PT Antam, dengan nama Antam Barisan Mining, yang kini melakukan eksplorasi di Solok, Sumatera Barat. Bukan soal kepergian CSR saja yan dipertanyakan kalangan pertambangan. Tapi juga proses yang ditempuh dalam mengalihkan saham. Beberapa pengusaha emas berkomentar, "tidak etis" menjual langsung sahamnya ke perusahaan asing lain, tanpa lebih dulu menawarkan pada mitra lokalnya. Sebenarnya, bagi partner lokal, tindakan itu tidak merugikan. "Tapi seharusnya 'kan lebih dahulu ditawarkan pada kami," kata Gerry Mbatemooy, direktur Lebong Tanda Group. Ia menyayangkan, sebab dari tambang-tambang yang dikerjakan, ditemukan kandungan emas cukup banyak. Contohnya, Prima Lirang Mining d Maluku. Sebanyak 18 sumur yang digali di sana, semua mengandung emas. "Kami berani memperkirakan, dari sana saja paling sedikit bisa diangkat dua ton dalam setahun," ujar Gerry. Jadi, kalau saja Lebong Tandai ditawari ada kemungkinan saham CSR akan diambil alih. "Karena prospeknya bagus, tinggal kita ajukan saja ke bank, pasti dapat kredit," kat Gerry lebih lanjut. Lain halnya dengan Antam. Menurut Purba, sebagai perusahaa negara Antam tidak mungkin mengambil saham yang dijual. "Kendati lahan yang dijual sangat menarik, kalau tidak ada duit mau apa?" ia balik bertanya. Masalahnya, bolehkah patungan asin menjual saham ke perusahaan asing lainnya Menurut Soetaryo Sigit, Direktur Jenderal Pertambangan Umum, penjualan saham oleh CSR pada Biliton boleh-boleh saja. Hanya soal diizinkan, atau tidak, itu tergantung keputusan Menteri nanti. "Tapi kelihatannya tidak ada masalah," ujar Dirjen. Biliton sendiri, tampaknya, bersemangat mengurus pengambilalihan ini. "Kami sedang bekerja keras mengurus pembelian ini mungkin dua minggu lagi selesai" ujar G.P Krans, general representative Shell Companies Toh, ia belum mau menyebutkan nilai yang dibayarkan Shell pada CSR. Budi Kusumah, Yopie Hidayat, dan Teguh Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini