Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Minyak menuju cerah

Pertamina kembali merundingkan penjualan minyaknya di pasar jepang. setelah sidang opec, harga patokan apbn 1988-1989 sebesar us$ 16 per barel, sementara cukup aman. harga minyak di pasar tunai menaik.

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RODA ekonomi Indonesia sampai akhir tahun ini boleh diharapkan menggelinding dengan mantap. Penjualan minyak bumi dan gas alam - sumber utama penerimaan pemerintah dan devisa negara untuk triwulan III dan IV tahun 1988, tampaknya, akan lebih baik. Setidaknya, harga minyak bisa dipastikan tidak akan turun di bawah US$ 16 per barel, sebagaimana yang dipatokkan pemerintah dalam APBN 1988-1989. Pertamina, dalam perundingan yang berlangsung pekan ini di Tokyo, tinggal berusaha mencari kelebihan. Ini dikatakan oleh seorang pejabat kepada TEMPO, Sabtu pekan lalu. Diharapkannya Pertamina bisa mempertahankan harga penjualan minyak sesuai dengan ketentuan pemerintah (GSP: government selling price), yang sekarang ini rata-rata US$ 17,54 per barel. Benar, beberapa waktu lalu Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita sempat melontarkan pernyataan yang mengejutkan. "Siap-siaplah, penjualan minyak tidak lagi sesuai GSP, " kata Ginandjar. Pernyataan itu, yang dikutip kantor berita asing, agaknya merupakan move menjelang sidang OPEC, tapi yang kentara ditujukan kepada beberapa negara Arab. Yang terakhir ini, membanting harga minyak sampai US$ 14 per barel di pasar Jepang. Kendati semula bernada keras, tapi peran Ginandjar sebagai perantara, telah meredakan situasi sidang yang eksplosif. James Tanner, wartawan Wall Street Journal, melaporkan pendapat beberapa anggota delegasi OPEC, yang mlihat Ginandjar berhasil membawa kompromi hingga konfrontas bisa dihindarkan. Menjelang sidangnya yang tertunda-tunda itu - karena menyesuaikan dengar agenda Liga Arab - tampaknya 13 negar anggota OPEC akan terpecah tiga. Irak yang membandel terhadap kuota, tetap menuntut jatah produksinya disamakan dengan jatah musuh bebuyutannya, Iran. Beberapa negara Arab - khususnya Arab Saudi dan Persatuan Emirat Arab - menginginkan kuota produksi OPEC dinaikkan. Alasan mereka: permintaan minyak semester akhir 1988 bakal naik. Namun, mayoritas anggota OPEC mengherdaki agar kuota dikembalikan dahulu, supaya harga minyak bisa didongkrak mendekati patokan 18 dolar. Ketua OPEC Rilwanu Lukman mengakui bahwa perhitungan para produsen minyak di Arab benar. Belahan bumi utara sekarang ini mengalami musim panas, sementara banyak orang bepergian, hingga meningkatkan permintaan BBM. Hal yang sama berulang pada triwulan IV nanti, karena para importir -minyak di sana juga akan meningkatkan pembelian untuk keperluan stok musim dingin. Diperkirakan permintaan minyak OPEC bisa mencapai 18,7 juta barel antara Juli dan September. Sementara itu, permintaan antara Oktober dan Desember diduga bakal naik menjadi 19,3 juta barel. Tapi masalahnya lagi-lagi adalah, beberapa negara berproduksi melampaui kuota. Pertama-tama Irak, yang dengan dalih menuntut persamaan kuota dengan Iran (2,3 juta barel per hari), lepas melejit dari sistem kuota. Akibatnya, produksi minyak Irak diduga sudah mencapai sekitar 300.000 barel di atas kuota Iran (2,3 juta barel). Faktor lain yang menyebabkan banjirnya pasar minyak dewasa ini, seperti dikatakan Prof. Subroto kepada TEMPO, adalah kondensat. Produksi kondesat sampai kini berada di luar kendali OPEC, karena memang tidak pernah dibahas kuotanya. Soalnya, seperti kata Sekjen OPEC itu (lihat Tantangan buat. . . ), belum ada kesepakatan tentang istilah kondensat. Isu kondensat dilontarkan oleh Kuwait dalam sidang OPEC baru lalu di Wina itu. Kuwait mempertanyakan sikap Venezuela, yang menggolongkan kondensat - sejenis cairanmentahtapi ringan - di luar kuota. Sekadar berkelit, Venezuela mengungkit-ungkit produksi minyak "zona netral" yang dilancarkan oleh Arab Saudi dan Kuwait, yang katanya demi kepentingan Irak. Akhirnya, soal kondensat itu akan dipecahkan oleh sebuah tim ahli yang dipimpin Sekjen OPEC, Subroto. Berat jenis kondensat sebenarnya bisa diukur. Menurut ketentuan, indeks API (American Petroleum Institute ) berat jenisnya 50 derajat API. Tapi ada yang memakai indeks 40 derajat, sehingga minyak ringannya dihitung sebagai kondensat. Sidang OPEC, yang berlangsung sengit, akhirnya mereda, sementara persatuan 12 negara anggotanya bisa dipertahankan. Kuncinya satu: kuota produksi tidak berubah sampai akhir 1988. "Situasi yang panas akhirnya bisa berubah menjadi damai seperti Christmas," ujar Ginandjar, sebagaimana dikutip Wall Street Journal. Sidang OPEC kali ini becermin pada keputusan mereka ketika Wina diliputi suasana Natal tahun silam: mempertahankan kuota 15,06 juta barel. "Keputusan paling baik. Saya berani bertaruh," ujar Ginandjar. Beberapa analis minyak seperti Stephen Platt dan Dean Witter, yang menjadi konsultan para spekulan minyak di Barat, juga berpendapat demikian. Buktinya, sesudah keputusan itu diumumkan, harga minyak di pasar tunai langsung naik. Di pasar Eropa, harga minyak Brent dari Laut Utara untuk penyerahan langsung (prompt) naik dari US$ 15,55 menjadi USS 15,85 per barel. Sementara itu, harga West Texas Intermediate, patokan harga minyak di pasar AS, naik dari US$ 16,45 menjadi US$ 16,80 per barel. Dalam suasana menguatnya harga minyak di pasar tunai itu, wajar agaknya bila Pertamina akan lebih tenang berunding dengan para pembeli minyak di Jepang. April lalu, ketika harga minyak goyang di pasar tunai, para pembeli minyak di Jepang menekan Pertamina untuk melepaskan harga sampai US$ 14 per barel. Kini nasib belum terlalu buruk, rupanya, karena dua rekan Pertamina di Tokyo, FEOT (Far East Oil Trading) dan JIOC (Japan Indonesia Oil Company) mau menerima harga GSP (17,54). Padahal, kabarnya mereka hanya bisa menjual dengan harga US$ 16 per barel. Direksi FEOT, di bawah pimpinan presdir-nya yang baru, Akira Imao, datang memperkenalkan diri ke Jakarta, akhir Mei lalu. "Kami mohon maaf, karena belum bisa menaikkan harga lebih tinggi dari 16 dolar," kata Imao-san kepada Direktur Utama Pertamina A.R. Ramly. Waktu itu, harga minyak di pasar tunai memang berkisar 14 dolar per barel. Kini, dengan harga pasar tunai menaik, apakah harga resmi pemerintah (GSP) 17,54 dolar bisa dipertahankan? "Kita lihat dulu bagaimana hasil perundingannya. Ya, harga patokan di APBN memang 16 dolar. Tetapi kita menginginkan ada tambahan," kata Ginandjar. Max Wangkar, Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus