SEKELOMPOK pastor ordo Yesuit, setelah agak lama berunding, akhirnya menerbitkan suatu media tempat para cendekiawan mengemukakan buah pikirannya. Basis, nama penerbitan itu, dalam bentuk sederhana muncul pertama kali pertengahan Agustus 1951. Mungkin karena di antara pengasuhnya terdapat Prof. N. Drijarkara, yang dikenal sebagai pengajar filsafat terkemuka, pembahasan filsafat ketika itu mendapat perhatian utama di majalah tersebut. Ciri Katolik memang juga pernah mewarnai penerbitannya pada tahun-tahun pertama. Tapi sesudah disadari bahwa hal tersebut hanya akan mempersempit wilayah penyebaran, kebijaksanaan keredaksian pun diubah. Masalah kebudayaan, sastra, seni, bahasa, politik dan ketatanegaraan, juga sering dikupas dalam Basis. Para penyumbangnya tak cuma penulis Katolik. Dan namanya kian semarak, hingga Oktober ini, ketika ia memasuki usia tiga puluh tahun. Kini Dick Hartoko, Penanggung Jawabnya (sejak 1957), masih tetap meletakkan penulisan masalah filsafat dan kebudayaan mendapat tempat utama di dalamnya. Telaah dan kreasi sastra pun juga diberinya ruangan. Sasaran pembacanya jelas: guru dan dosen. "Mereka yang pertama-tama membutuhkan input intelektual," kata Romo Dick, panggilan akrabnya meskipun nama Dick Hartoko sebenarnya adalah Geldrop. Imperialis Sekalipun demikian, banyak juga kalangan di luar guru dan dosen berminat membacanya. Sejumlah penulis terkemuka pernah menurunkan buah pikirannya di majalah ini. Ketika PKI tengah mengalami masa jaya menjelang tahun 1965, organisasi kebudayaannya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pernah menuduh Basis sebagai alat imperialis. Karena majalah inilah satu-satunya yang berani memuat tulisan para pengarang yang "diganyang" PKI dan pemerintah. Ketika hampir seluruh penerbitan waktu itu menghindari sikap konfrontatif, Basis, tutur Romo Dick, mencoba menonjolkan identitasnya. Banyak tulisan mengenai kebudayaan yang bertentangan dengan iklim politik periode itu dikemukakannya. Basis toh selamat--tak kena breidel, mungkin karena dikaitkan dengan gereja Katolik. Tapi entah apa sebabnya, oplahnya sejak itu merosot terus--dari 5.000 kini tinggal 2.000 eksemplar saja. Karena oplah sedikit, dan ongkos cetak tinggi, penerbit tentu saja sering rugi. Untuk menaikkan oplah, pemasarannya ke kampus-kampus perguruan tinggi kini digalakkan. Seorang promotor (mahasiswa dari perguruan tinggi bersangkutan) yang bersedia mengedarkannya, dijanjikan akan memperoleh keuntungan lumayan. Usaha itu juga ditunjang dengan perbaikan penyajian isi majalah. Basis sampai terbitan Septembcr 1981 sudah direncanakan setiap bulannya akan tampil dengan suatu tema. "Menurut pengalaman nomor-nomor yang tematis memang lebih laris," kata Paul Martadi, dari bagian administrasinya. Dalam sorotan bisnis suatu penerbitan, memang harus diakui Basis seret berkembang. Harga jual Rp 300/eks, menurut Martadi, sesungguhnya hanya pas untuk ongkos cetak belaka. Keuntungan tak pernah diperoleh. Bahkan sering untuk menjaga kelangsungan penerbitannya, Romo Dick mengeluarkan uang dari kantungnya sendiri. Ia sendiri, mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia, Seminari Tinggi dan Fakultas Sastra UGM Yogya. Pendapatannya dari iklan hampir tidak pernah ada. Hanya Penerbitan Yayasan Kanisius (Katolik) yang kadang masih tampak memasang iklan Romo Dick memang sengaja tidak mengejar iklan. "Itu terlalu sekuler," ulasnya. Dalam keseretan, Basis tak sendirian. Majalah kebudayaan dan sastra di Indonesia, misalnya Horison, terbit dalam suasana keprihatinan. Untuk menggembala keredaksian Romo Dick bekerja bahu membahu dengan lima rekannya di sebuah ruang sempit yang berada dalam kompleks gereja Kotabaru, Yogya. Romo Dick, yang dikenal sangat bersahabat dengan para penulis, punya problem lain: bila terdesak kebutuhan, honor tulisan yang dijanjikan akan dimuat sering dibayarkannya lebih dulu. Dalam situasi demikian, penerbitnya ternyata masih harus berhadapan dengan tuntutan pembaca yang tinggi -seperti tampak dari hasil angketnya baru-baru ini. Pembaca meminta Basis menambah topik menarik, tidak hanya soal filsafat, kebudayaan maupun sastra. Halaman majalah kini (32 halaman) supaya ditambah lagi. Sanggupkah? Sulit menjawabnya. Untuk menambah halaman, dengan oplah tidak besar, penerbit mau tak mau harus menaikkan harga jual untuk menutup ongkos cetak. Sementara itu honorarium penulis tentu harus bertambah pula. Kini Basis memberi imbalan Rp 5-10 ribu dan Rp 25 ribu (untuk tulisan pesanan). Tidak jauh beda sesungguhnya dengan imbalan majalah Prisma yang memberi Rp 20-30 ribu. Meskipun jauh lebih baik dibanding majalah sastra Horison yang memberi honorarium Rp 5 ribu (cerita pendek) dan Rp 1.500 (puisi), tapi saingan berat datang dari koran harian yang kini memuat juga esei dengan honorarium tinggi (sampai Rp 40.000) untuk tulisan yang lebih pendek. Majalah-majalah budaya kecil memang lagi kurang pamor--justru dengan membaiknya penerbitan lain dalam mutu atau pun uang. Tapi Basis sayang bila tak bisa mencapai 40 tahun --remaja kedua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini