Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pembangunan tidak jalan di tempat

Wawancara Tempo dengan menteri saleh afiff tentang pembangunan tahun 1992-1993.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUJET Pemerintah untuk pengeluaran pembangunan dalam RAPBN 1992-93 ditentukan Rp 22,9 trilyun. Jumlah itu 14,6% lebih besar dibandingkan bujet anggaran berjalan. Namun, ada yang mengatakan bahwa RAPBN 1992-1993 itu jalan di tempat alias tidak ada kemajuan. Sepintas, memang terkesan bahwa bujet itu tidak akan banyak membuat lompatan. Apalagi sasaran fisiknya dalam beberapa subsektor lebih banyak untuk perbaikan, pemeliharaan, atau peningkatan dari proyek yang sudah ada. Sedangkan anggaran pembangunan untuk jalan baru, jembatan, puskesmas baru, dananya jauh di bawah anggaran untuk rehabilitasi proyek-proyek. Namun, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas, Prof. Dr. Saleh Afiff membantah pendapat tersebut. Menurut Afiff, kalau mau menilai apakah pengeluaran untuk pembangunan meningkat atau tidak, harus dilihat anggaran rupiahnya. Ia pun menegaskan, anggaran (dalam rupiah) untuk RAPBN mendatang adalah Rp 13,8 trilyun, naik 23,7% dibandingkan APBN tahun berjalan. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan TEMPO Max Wangkar dan Bambang Aji, Menteri Afiff memaparkan lebih rinci halhal yang menyangkut pembangunan tahun 1992-93. "Kalau mau dihitung dengan inflasi -- katakanlah 10% -- secara riil anggaran pembangunan jelas masih meningkat," kata Afiff lagi. Berikut petikan wawancara itu: Tampaknya, dalam RAPBN 1992-93, anggaran pembangunan proyek baru, sedikit sekali. Dari sektor pembangunan prasarana jalan yang dialokasikan Rp 2,7 trilyun, pembuatan jalan baru direncanakan cuma 245 km dan jembatan baru cuma 224 meter. Sedangkan jalan yang direhabilitasi ada 40.000 km. Belum lagi peningkatan jalan-jalan provinsi sepanjang 2.887 km, serta jalan-jalan kabupaten sepanjang 12.000 kim lebih. Anda tahu apa arti peningkatan? Itu bisa berupa jalan tanah dijadikan jalan aspal, jalan setapak dijadikan jalan tanah. Apakah ini akan jadi baru atau tidak? Ya, baru . . .. Nah, jumlahnya akan mencapai 23.000 km lebih. Jadi, peningkatan itu penting, dan ini merupakan wadah untuk pemerataan. Dengan adanya jalan, masyarakat yang terisolasi akan dapat memanfaatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan di daerah yang lebih maju. Misalnya jalan Trans-Sulawesi dan Trans-Kalimantan. Jalan itu sudah ada, tapi beberapa bagiannya masih tanah, tinggal diperkuat dengan aspal. Dalam Rp 2,7 trilyun itu sudah termasuk Inpres jalan. Kenapa Inpres? Bukankah lebih baik secara nasional? Kalau proyek Inpres itu biayanya di atas Rp 3 milyar, apakah harus ada persetujuan dari Menko Ekuin dan Wasbang? Ya, benar. Kalau di atas Rp 3 milyar, baik daerah tingkat I maupun II harus melalui persetujuan Menko Ekuin. Pembiayaan proyek untuk pembangunan dianggarkan Rp 13.813 milyar. Untuk proyek Inpres Rp 4.148 milyar lebih, selebihnya untuk proyek-proyek sektoral. Mengapa masih harus dibedakan Inpres dan sektoral? Kan sama-sama untuk pemerataan di daerah? Mekanisme Inpres dikembangkan sejak 1974. Hal itu untuk memungkinkan anggaran langsung jatuh di pemerintah daerah, bukan ke departemen dalam negeri atau departemen teknis lainnya. Inpres sengaja ditonjolkan untuk menggarisbawahi, bahwa dari anggaran pembangunan sekian, sekitar 30% disediakan untuk pembangunan di daerah. Proyek ditentukan oleh tiaptiap daerah, bukan oleh pemerintah pusat. Dulu tidak ada dalam peraturan untuk menyerahkan langsung kepada daerah. Kalau kepada sektor kan harus pakai DIP (daftar isian proyek). Misalnya, DIP Jasamarga, DIP Sektor perhubungan. Sedangkan dana Inpres langsung diserahkan kepada pemerintah daerah dan langsung masuk dalam APBD. Kalau di DIP, tentu semua diatur dari Pusat. Tentu saja birokrasinya lebih tinggi. Proyek sektoral pendidikan mendapat alokasi Rp 2.740 milyar. Namun, karena sebagian besar dipakai untuk pemeliharaan, ada kesan tidak ada pembangunan. Mengapa untuk pemeliharaan saja harus disubsidi Pemerintah? Pertanyaan bagus. Tapi itu kan terjadi di kota-kota. Di kota, orang tua murid mampu membiayai pemeliharaan, sedangkan yang kita bantu itu adalah sekolah-sekolah di daerah terpencil. Karena besarnya tekanan terhadap tersedianya SD pada tahun 1974-75, dengan dana yang terbatas, kita membangun sebanyak mungkin. Akibatnya apa? Standarnya lebih rendah dari yang sewajarnya (kurang lebih hanya 75% dari standar wajar). Dan sesudah 15 tahun, banyak yang sudah rusak. Mengapa tidak didorong supaya mereka mandiri? Masyarakat disekitar SD itu banyak yang tidak mampu. Maka, kita bantu Rp 700.000 per SD per tahun, atau Rp 50.000 lebih sebulannya. Sebenarnya, jumlah itu sangat minim, tapi karena ada 168.000 SD, jumlah bantuan itu menjadi besar sekali. Barangkali sekarang perlu ditingkatkan kualitas pendidikan tiap-tiap sekolah. Sekolah negeri yang populer ternyata akan menarik banyak peminat, dan bisa meminta uang pangkal untuk pemeliharaan sekolah. Ya. Dalam anggaran ini antara lain akan ditingkatkan guru SD setara D2 sebanyak 65.000 orang. Juga ada penataran guru dan pembina sebanyak 66.500 orang. Sehingga, gaji guru tentu akan ditingkatkan. Tapi soal gaji ini masuk anggaran rutin, ditangani Departemen Keuangan. Anggaran untuk sektor pertanian Rp 1,9 trilyun, di antaranya untuk mencetak sawah. Bukankah Presiden sudah mengajak konglomerat untuk mencetak sawah? Itu sebagian besar adalah bantuan luar negeri, sebesar Rp 1,3 trilyun. Jangan lupa, di situ ada subsidi pupuk. Mengenai pencetakan sawah baru sebanyak 70.000 ha, dan itu tidak ada hubungannya dengan pencetakan sawah oleh konglomerat. Pencetakan sawah itu hampir setiap tahun ada, sebelum ada pemikiran pencetakan sawah oleh konglomerat. Di Aceh, misalnya, ada pengairan teknis yang sampai akhir Pelita IV hanya 10.000 ha. Pada akhir Pelita V akan menjadi 100.000 ha. Kalau ini berhasil, Aceh akan menjadi gudang beras baru. Kalau di Pulau Jawa, lain. Sawahnya dikeringkan dulu, lalu dijual, sehingga harganya tinggi . . . hahaha. Kalau tidak salah, pencetakan sawah baru sempat dihentikan sejak kita swasembada dan bisa ekspor beras. Kenapa pencetakan itu dihentikan? Begini. Kita ini mau swasembada, tapi jangan sampai mengharuskan kita menyimpan stok terlalu besar. Biayanya mahal. Jangan seperti yang dilakukan oleh Jepang dan Amerika. Amerika, misalnya, sampai harus mengeluarkan program PL. Jadi, kita harus mencari tingkat produksi yang kira-kira aman tetapi stoknya tidak terlalu tinggi. Tahun 1992 ini diperkirakan masih akan terjadi kemarau panjang, stok itu cepat berkurang. Stok yang harus selalu ada, disebut iron stock, sebesar satu juta ton. Ini diperlukan untuk operasi pasar dan distribusi pangan pegawai negeri. Tapi untuk amannya harus ada 2,5 juta ton. Masih tentang anggaran sektoral pertanian. Dikatakan ada program komoditi ekspor. Apakah itu akan merupakan penyertaan modal pemerintah bagi PTP-PTP? Program ini khusus untuk membantu perkebunan rakyat, misalnya bibit kelapa sawit dan karet. Tidak ada bantuan untuk PTP. Sebagai PT, mereka harus mandiri. Apakah ada anggaran untuk bibit cengkeh? Tidak ada. Dewasa ini dirasakan kelangkaan telepon, sedangkan fasilitas ini sangat dibutuhkan dunia usaha. Tapi anggaran sektor ini kok kecil? PT Telekomunikasi kan perseroan. Mereka tidak perlu anggaran pembangunan. Mereka sekarang bisa mencari kredit (kredit ekspor) atau dari dana sendiri. Bantuan juga ada, seperti dari Prancis atau Jerman, tapi tidak tercermin dalam anggaran ini. Memang, untuk kredit itu Pemerintah yang pinjam, kemudian dipinjamkan lagi kepada PT Telekomunikasi. Ini disebut two step loan. Lalu rupiahnya dari mana? Itu bisa dari keuntungan mereka yang ditahan, dan pinjaman sendiri. Sektor energi juga dirasakan langka. Apakah anggarannya yang Rp 2.748,6 milyar itu cukup untuk menutup kebutuhan energi? Selain itu, ada biaya yang ditanggung PLN. Jumlahnya hampir mencapai Rp 1 trilyun. Memang harus begitu, jangan terus-terusan Pemerintah. Tahun 1992-93 diperkirakan akan ada penambahan 1.300 MW. Namun, bukan berarti bahwa seluruh anggaran untuk penambahan listrik tadi. Ada yang baru berproduksi tahun 1994. Yang termasuk dalam anggaran tersebut, misalnya Suralaya unit 5, 6, 7 (3 kali 600 MW). Pembangunannya akan dibiayai oleh bantuan Bank Dunia, dana rupiah dan PLN sendiri. Dalam anggaran energi itu termasuk juga penyelesaian PLTU Paiton unit 1 dan 2 yang akan selesai tahun 1994. Ini juga dibantu oleh Bank Dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus