URUSAN pemeriksaan pajak kini bukan lagi monopoli aparat pajak. Mulai April depan, berdasarkan SK Menteri Keuangan tertanggal 30 Desember 1991, akuntan publik diberi wewenang melakukan verifikasi lapangan atas pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah. Ini memang jurus baru Pemerintah dalam menertibkan para wajib pajak. Selama ini akuntan publik hanya memeriksa audit pembukuan perusahaan secara keseluruhan. Verifikasi pajak dilakukan oleh aparat Ditjen Pajak. Akibatnya, pos pajak hanya merupakan salah satu bagian dari pemeriksaan. Itu pun sering tidak dilakukan secara rinci. "Paling-paling, akuntan hanya mengambil sampel pajak atas beberapa pembayaran," kata Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Subekti Ismaun. Dengan aturan baru ini, akuntan diharapkan juga memeriksa kepatuhan klien membayar pajak. Apalagi proses pemeriksaannya lebih sederhana dibandingkan audit pembukuan: mereka hanya "sekadar" mencocokkan faktur-faktur transaksi dengan pembayaran pajaknya. Hasil verifikasi ini kelak diserahkan kepada Ditjen Pajak. Tindak lanjut atas hasil temuan verifikasi akan dilakukan oleh aparat Dirjen Pajak. "Pokoknya, selesai bekerja, Anda dapat duit. Tindakan setelah itu adalah urusan kami," kata Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad, di depan rapat IAI akhir Desember lalu. Itulah sebabnya, Mar'ie wanti-wanti agar akuntan publik tidak bekerja dengan target menemukan kesalahan. Sesuai asas praduga tak bersalah, hasil verifikasi tidak mesti menghasilkan temuan-temuan yang mengakibatkan adanya pungutan tambahan PPN dan PPn BM. Hanya saja, sampai awal minggu ini belum ada petunjuk rinci tentang pelaksanaan verifikasi akuntan publik. Siapa, misalnya, yang akan menunjuk akuntan publik, Menteri Keuangan atau cukup Dirjen Pajak. Berapa banyak akuntan publik yang akan dioperasikan sebagai detektif swasta? Berapa honornya? Meski demikian, beberapa hal terlihat sudah rada terang, antara lain perusahaan yang akan diperiksa. Perusahaan yang akan diverifikasi pajaknya adalah yang mempunyai omset di atas Rp 10 milyar per tahun. Jumlah perusahaan seperti ini diperkirakan lebih dari 10.000 buah. Dan Dirjen Pajak akan menetapkan perusahaan mana saja yang akan diverifikasi. "Soal kenapa si A atau si B yang diperiksa, itu adalah rahasia kami," kata Mar'ie. Tentang tenaga yang akan diterjunkan, selain mereka harus karyawan tetap suatu kantor akuntan publik, juga harus sudah mengikuti penataran tentang verifikasi pajak, yang rencananya akan berlangsung sebelum April. Sedangkan syarat wajib bagi akuntan publik yang akan melakukan pemeriksaan, mereka diharuskan sudah memiliki nomor pokok wajib pajak. "Iya dong, mana layak akuntan memeriksa pajak orang lain, sementara pajaknya sendiri tidak beres," tambh Mar'ie. Selain itu, tenaga pemeriksa juga tidak diperbolehkan memiliki hubungan satu derajat ke atas, ke bawah dan ke samping. Artinya, pemeriksa tidak diperbolehkan memeriksa perusahaan milik ayah, anak, adik, atau kakak. Di samping itu, perusahaan yang diverifikasi tidak boleh merupakan klien akuntan publik bersangkutan. Sebelumnya, ditetapkan pula bahwa tenaga yang memeriksa harus sarjana dan berpengalaman dua tahun. Tapi, seorang akuntan yang datang pada pertemuan IAI, Desember lalu, mengajukan keberatan. "Bila ketentuan ini ditaati, biayanya terlalu mahal," katanya. Mar'ie menanggapi positif usul itu. "Mungkin kita ubah, sehingga yang penting berpengalaman," katanya. Bagaimana persisnya ketentuan yang baru itu, belum diketahui pasti. Soal honor, yang diperkirakan akan sangat membebani Pemerintah, ternyata bukan masalah. Menurut sebuah sumber, Pemerintah cukup mengeluarkan biaya untuk verifikasi ini tak lebih dari Rp 6 milyar. Sebuah jumlah yang tidak begitu berarti, memang. Apalagi jika dilihat dari hasil yang akan diperoleh dari pemeriksaan tersebut. "Secara bisnis, pemeriksaan oleh akuntan publik ini sangat menguntungkan," kata Subekti, "sekalipun kerja akuntan publik dihitung per jam dan dibayar dengan dolar." Sebagai contoh, taruhlah waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa sebuah perusahaan adalah tiga pekan. Tenaga yang bekerja, biasanya, terdiri dari dua akuntan dan 10 orang staf, yang masing-masing memperoleh honor US$ 30 per jam untuk akuntan, dan US$ 18 untuk staf. Jadi, untuk pemeriksaan selama 15 hari kerja atau sekitar 120 jam itu, dana yang bakal dirogoh dari saku Dirjen Pajak sekitar US$ 19.000. Tapi, kata Subekti, dampak psikologis yang dihasilkan akan jauh lebih dari itu. Wajib pajak akan jauh lebih taat dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. "Dan saya yakin, pajak tambahan yang bakal bisa ditarik pasti melebihi biaya yang dikeluarkan," kata Subekti berpromosi. Yang masih menjadi pertanyaan: Bisakah akuntan dipercaya sebagai pemeriksa pajak yang jujur? Apalagi, kasus bobolnya Bank Duta, yang melibatkan peran akuntan publik, masih hangat dalam ingatan. Untuk menangkal musibah seperti ini, kata Dirjen Mar'ie, pihaknya sudah menyiapkan beberapa parangkat. Salah satu di antaranya, prosedur standar minimum yang harus dilakukan oleh pemeriksa. Selain itu, sebuah tim yang beranggotakan aparat pajak, BPKP, dan IAI juga sudah dibentuk. Tim ini bertugas memeriksa hasil verifikasi yang dilakukan akuntan publik. "Jika terbukti terjadi persekongkolan antara akuntan dan wajib pajak, kami tidak akan segan-segan mengajukan mereka (akuntan) ke pengadilan," kata Mar'ie. Budi Kusumah, Iwan Qodar, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini