Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENAP setahun Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tutup usia. Namun roh BPPN sepertinya masih akan gentayangan hingga setahun ke depan. Menteri Keuangan Jusuf Anwar telah mengusulkan agar masa kerja Tim Pemberesan diperpanjang lagi selama satu tahun.
Tim Pemberesan, juga Perusahaan Pengelola Aset (PPA), dibentuk untuk mewarisi aset yang belum dapat dijual BPPN. Tim Pemberesan kebagian aset yang masih berbalut masalah hukum, sementara PPA mendapat jatah aset yang siap jual. Selain mengampelas aset-aset bermasalah, Tim Pemberesan juga merampungkan urusan yang terkait dengan penutupan BPPN, seperti menyiapkan laporan keuangan BPPN.
Hingga masa kerja pertamanya berakhir, Agustus tahun lalu, tim itu gagal menuntaskan urusan tutup warung BPPN. Pemerintah lalu memperpanjang usia tim hingga lima bulan. Namun, ibarat tim sepak bola yang kelelahan, tim pemberesan tak kunjung mencetak gol. Tumpukan kertas kerja di meja tim pemberesan masih tersisa kendati tenggat perpanjangan pada 27 Januari terlewati.
Dalam sidang kabinet Februari lalu, Menteri Jusuf mengusulkan usia tim kembali diperpanjang hingga tahun depan. Namun hingga pekan lalu usul itu masih belum disetujui Presiden. "Baru akan dipaparkan ke Presiden," ujar Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Jusuf membenarkan, masih ada beberapa data yang perlu disimak Presiden sebelum memperpanjang usia Tim Pemberesan.
Yang sudah dipastikan oleh Jusuf adalah pengunduran diri Syafruddin Temenggung dari posisi koordinator pelaksana harian Tim Pemberesan. Syafruddin merupakan Ketua BPPN terakhir. "Beliau mengundurkan diri karena alasan keluarga," ujar Jusuf kepada S.S. Kurniawan dari Tempo. Posisi Syafruddin digantikan Harry Sukadis, bekas Direktur Keuangan BPPN.
Harry menyatakan, valuasi aset dan audit laporan keuangan sebagai pekerjaan yang belum tuntas. Keduanya terkait erat. Sebab, dari hasil valuasi aset itulah Tim Pemberesan menyusun laporan keuangan BPPN. Tugas audit itu sendiri akan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Kami hanya bertugas mendampingi, seperti saat peninjauan aset di lokasi," ujar Harry.
Selain urusan tutup buku, tim ini juga masih disibukkan urusan merapikan aset. Januari lalu, Tim Pemberesan mengalihkan tak kurang dari 3.000 aset properti ke PPA. Tim Pemberesan sendiri tak memiliki fungsi sebagai penjual aset. "Tapi, kalau mau ditunggu semua aset bersih, tugas tim ini tak akan pernah selesai," ujar seorang sumber Tempo di Tim Pemberesan.
Contoh aset dengan masalah super-ruwet yang ditangani tim ini adalah Texmaco dan Dirgantara Indonesia. Kedua aset yang nilai awalnya lebih dari Rp 30 triliun itu hingga kini masih belum jelas hendak diapakan. BPPN beberapa kali gagal menjual perusahaan tekstil terpadu milik Marimutu Sinivasan?sama halnya dengan aset Dirgantara.
Kendati masih menumpuk aset ruwet, sumber Tempo tak setuju jika usia tim diperpanjang. Ia beralasan, pekerjaan tutup buku dan menyetrika aset bisa dialihkan ke Departemen Keuangan. Apalagi ongkos operasional tim tak murah, mencapai belasan miliar rupiah per bulan. Besaran biaya itu memang masih di bawah BPPN, yang argonya selama empat tahun mencapai Rp 6 triliun. Tapi pekerjaan tim itu sebetulnya bisa diselesaikan lembaga yang sudah ada, seperti Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).
Namun Harry berpendapat sebaliknya. Menurut dia, usia tim tersebut harus diperpanjang agar tak ada data yang tercecer. "Nanti siapa yang mau bertanggung jawab?" katanya. Dia juga membantah timnya dinilai boros, meski ia mengaku tak ingat berapa persisnya ongkos Tim Pemberesan. Gaji karyawan hanya separuh dibandingkan dengan standar gaji BPPN. Luas ruang kantor yang digunakan Tim Pemberesan tak seluas yang dipergunakan BPPN. Dari pengamatan Tempo, Tim Pemberesan menggunakan tiga lantai di gedung Sudirman Tower, separuh jumlah lantai yang digunakan BPPN. "Saluran telepon saja sudah banyak yang dimatikan," kata Harry.
Malahan, kata Harry, gaji para staf di tim itu telah tertunggak dua bulan. Padahal, tanpa gaji terlambat pun, sudah banyak staf Tim Pemberesan yang tidak betah. "Saya kesulitan menahan orang," ujar Harry. Karena itu, sebaiknya Tim Pemberesan dibubarkan, karena toh sebagian besar pengelolanya sudah bekerja tak sepenuh hati.
Thomas Hadiwinata, Ramidi (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo