Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGAPA Faisal Basri selalu memilih terbang dengan Garuda Indonesia? Tak hanya untuk rute domestik, jika boleh memilih, setiap kali diundang ke luar negeri pun ia akan minta dibelikan tiket Garuda. Tak seperti kebanyakan maskapai asing, pelayanan para awak kabin yang ramah di perusahaan milik negara itu membuat Faisal merasa lebih dihargai.
"Saya merasa lebih nyaman," kata ekonom Universitas Indonesia itu kepada Tempo, Kamis malam pekan lalu. Yang mungkin akan membuat para pelanggan setia seperti Faisal kecewa: tak lama lagi pilihan rute bagi mereka akan semakin sedikit. Secara bertahap, sejak November 2002, penerbangan ke Eropa mulai dikurangi dan akhirnya ditutup sama sekali dengan berakhirnya penerbangan Jakarta-Amsterdam pada awal November 2004.
Data dari sumber Tempo di kantor Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memperlihatkan hampir semua rute ke Cina, juga Taiwan, mengalami kerugian. Padahal jalur itu umumnya baru dibuka kembali dua-tiga tahun lalu, setelah pada 1999 ditutup. Penerbangan Jakarta-Taipei, misalnya, selama periode Januari-Juni tahun lalu saja membukukan kerugian sekitar US$ 6 juta. Pada periode yang sama, rute Surabaya-Kuala Lumpur merugi US$ 1,5 juta, Denpasar-Kuala Lumpur sekitar US$ 1 juta, dan Jakarta-Kuala Lumpur US$ 800 ribu.
Garuda memang tak sendirian lunglai di jalur internasionalnya. Maskapai pendatang baru seperti Lion Air pun bulan lalu telah menutup penerbangannya ke Saigon, Vietnam. Begitu pula Batavia Air, yang sudah lebih dari sebulan menghentikan sementara pelayanan terbang Jakarta-Guangzhou. "Persaingan memang tidak mudah," kata Direktur Niaga Garuda Indonesia, Bachrul Hakim, kepada Tempo Jumat pekan lalu.
Bachrul membantah pihaknya tak cukup membuat kajian pasar sebelum membuka atau menambah frekuensi penerbangan ke berbagai rute rugi itu. Tapi ia mengakui ada masalah lama yang ternyata sampai sekarang masih menjadi hambatan untuk rute Cina, yakni sulitnya visa ke Indonesia. Tarif per visa US$ 35. Padahal, katanya, jika pemerintah mau menghapus hambatan visa itu, akan ada jauh lebih banyak uang yang mungkin kita peroleh.
"Satu turis minimal akan menghabiskan seribu dolar setiap kali berkunjung. Kalau dia belanja, pajaknya 21 persen bisa kita dapat," kata Bachrul. Ia membandingkan dengan Thailand, yang tiap tahun rata-rata mendapat tiga juta pengunjung asal Cina. "Ke Filipina bisa dua juta. Tapi yang ke Indonesia cuma 80-90 ribu orang," katanya.
Secara umum, gangguan pada bisnis penerbangan memang tak henti-henti dalam empat tahun terakhir. Mulai dari wabah flu burung dan virus SARS yang menekan jumlah penumpang, hingga perang di Timur Tengah yang memicu kenaikan harga minyak dunia. Dalam struktur biaya, komponen ini memiliki porsi 25 persen. Kenaikan bahan bakar hingga 50 persen lebih dalam setahun terakhir akan meningkatkan keseluruhan biaya hingga 12,5 persen. Padahal, rata-rata margin di bisnis penerbangan hanya 5-6 persen.
Namun, dalam situasi yang sama, ada maskapai seperti Cathay Pacific yang justru berhasil mencetak keuntungan hingga US$ 567 juta pada 2004 alias tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. "Kalau soalnya harga bahan bakar, mestinya kan ada penyesuaian harga tiket juga," kata Enggartiasto Lukita, anggota Komisi V DPR yang membidangi perhubungan dan menjadi mitra Garuda di parlemen.
Wakil rakyat dari Fraksi Partai Golkar itu justru melihat faktor manajemen Garuda, yang sudah hampir dua tahun dalam status demisioner, lebih berpengaruh. "Diperlukan langkah lebih strategis, tapi itu sulit dilakukan direksi sekarang," katanya. Direksi di bawah kepemimpinan Indra Setiawan memang sudah habis masa tugasnya pada Juli 2003, tapi penggantiannya terus tertunda, dan selama itu masa jabatannya diperpanjang.
Faisal Basri pun melihat masalah yang sama. "Kalau pemerintah niat memperbaiki, direksi memang harus diganti," katanya. Apa kata Menteri Negara BUMN sebagai juragan Garuda? "Tunggulah dalam satu-dua pekan ini," kata Menteri Sugiharto, Kamis malam pekan lalu. Entah sampai kapan janji itu dipenuhi.
Y. Tomi Aryanto, Angelus Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo