Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERILAKU Bursa Efek Jakarta mulai terlihat aneh. Indeks harga saham gabungan (IHSG) terus merangkak naik sejak pertengahan tahun lalu, hingga akhirnya menembus rekor 1.000 pada akhir 2004. Pergerakan ini ternyata terus berlanjut hingga pekan lalu. Kali ini peran saham likuid dan berkapitalisasi besar (blue chip) digantikan oleh saham lapis kedua dan ketiga. Harga saham kelas ini tiba-tiba melesat bak peluru kendali meski faktor fundamentalnya masih buruk.
Analis Danareksa, Erwan Teguh, mengkhawatirkan terjadinya koreksi harga saham yang besar. Seperti dikatakan praktisi pasar modal, Yanuar Rizky, perdagangan saham belakangan ini sangat didominasi aksi spekulasi karena lonjakan harga didorong oleh faktor teknis, bukan faktor fundamental. Harga saham lapis atas bisa dibilang sudah terlalu tinggi, dan ruang bermain ada di lapisan di bawahnya.
Pada sesi penutupan bursa, akhir pekan lalu, indeks harga saham gabungan turun menjadi 1.108 (lihat tabel). Tapi sehari sebelumnya, indeks kembali mencatat rekor tertinggi 1.116,8 setelah reli panjang sejak 3 Maret 2005. Indikasi saham lapis kedua yang diburu bisa dilihat pada saham Kopitime Dot Com, yang melambung dari lima perak pada awal 2005 menjadi Rp 110 pada akhir pekan lalu, alias meroket 2.100 persen. Seayun dengan Kopitime, saham Barito Pacific Timber juga naik 177 persen menjadi Rp 1.250.
Padahal, kata analis Supra Surya Danawan, Hendra Bujang, tak ada faktor fundamental yang bisa mendongkrak harga saham kedua emiten itu. Kopitime masih merugi dan Barito tak mampu membayar bunga obligasi yang jatuh tempo Januari lalu. Rumor yang beredar seputar kedua emiten itu pun tidak meyakinkan. "Kopitime yang berbisnis teknologi informasi rumornya akan ikut tender infrastruktur karena ada investor baru yang akan menyuntikkan dana segar," ujarnya.
Barito, kata Hendra, dikabarkan akan menjual sahamnya di PT Musi Hutan Persada dan PT Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper. "Sekalipun Barito mendapat dana tunai dari penjualan saham, itu bukan faktor fundamental," katanya. Dia menduga saham lapis kedua memang digoreng. Pola yang sama dicurigai terjadi terhadap 20-an saham yang selama pekan lalu naik gila-gilaan, 50-450 persen. Saham Putra Surya Perkasa sempat naik 466,7 persen, Panca Wiratama Sakti naik 100 persen hanya dalam empat hari.
Erwan mengingatkan investor agar berhati-hati, karena bursa saham bergerak tidak rasional. Pembelian saham secara spekulatif sangat berbahaya. "Aksi spekulator ini pertanda pasar sudah jenuh sehingga sangat mungkin terjadi koreksi yang cukup tajam. Investor bisa rugi besar," kata Erwan. Karena itu, pengelola Bursa Jakarta seharusnya mengambil tindakan antisipasi. "BEJ memang kurang responsif terhadap saham lapis kedua dan ketiga yang naik tanpa dukungan faktor fundamental," kata seorang analis yang tak bersedia disebut namanya.
Bagi Yanuar, Badan Pengawas Pasar Modal juga harus bertanggung jawab karena badan ini punya otoritas menyelidiki keanehan di bursa saham. Banyak kasus spekulasi saham tak diselidiki. Pada 2004, misalnya, ada 76 kasus goreng-menggoreng saham yang tak ada tindak lanjutnya. Begitu juga kasus spekulasi pada tahun sebelumnya. Ada kecenderungan, kasus-kasus yang tidak dibesarkan pers tak diselidiki. Akhirnya memang investor yang harus ekstrahati-hati. Pada 2001, saham pernah anjlok tajam setelah aksi goreng-menggoreng.
Bank Indonesia, kata Yanuar, juga diharapkan tak cepat-cepat menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sebab, spekulan di bursa saham memang mengharapkan bunga SBI naik hingga tingkat bunga yang menguntungkan. "Soalnya, ketika tingkat bunga itu tercapai, dana di bursa saham akan dialihkan ke SBI. Saat itulah harga saham akan anjlok," kata Yanuar. Ini karena dana yang dipakai untuk investasi itu sesungguhnya sama saja. "Saya tidak percaya pada perkataan banyak analis bahwa dana yang kini memperkuat IHSG adalah investasi asing."
Buktinya, kata Yanuar, rupiah tidak menguat signifikan. Bila dolar AS memang masuk ke bursa saham, rupiah seharusnya menguat karena saham di BEJ dijual dalam rupiah. Tapi di pasar spot tidak terlihat permintaan rupiah secara signifikan, justru dolar AS yang diburu. Itu artinya dana investasi itu diyakini mengalir deras dari perbankan dalam negeri. "Di perbankan kita ada dana Rp 200 triliun yang belum mengalir ke sektor rill," ujar Yanuar.
Dugaan itu makin kuat karena laporan keuangan perbankan menunjukkan kenaikan laba sangat signifikan. "Bagaimana bank bisa mencetak laba pada saat penyerapan kredit masih rendah," kata Yanuar. Banyak analis mencurigai uang yang masuk ke bursa adalah uang praktek pencucian uang (money laundering). "Itu terjadi karena bursa saham kita memang masih memberikan peluang masuknya dana investasi tanpa identitas investor." Cuma, membuktikannya memang tak mudah.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo