Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lama Alfred Rohimone merencanakan mundur dari Pertamina. Niat itu sudah terbetik Juli tahun lalu, ketika Direktur Keuangan Pertamina itu sakit selama sebulan. Alfred sulit berjalan dan sering linglung, tapi rumah sakit tak menemukan penyakitnya. Ketika akhirnya sembuh, istrinya meminta dia keluar dari perusahaan minyak milik pemerintah itu. Alfred berjanji akan mundur setelah naik haji tahun ini.
Bekas Kepala Sekretariat Komite Kebijakan Sektor Keuangan itu akhirnya benar-benar keluar dari Pertamina. Tapi bukan karena memenuhi janji kepada istrinya. Alfred dinonaktifkan dari jabatannya, Senin pekan lalu, karena kasus penjualan dua tanker raksasa milik Pertamina. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai terjadi persekongkolan dalam penjualan itu. Alfred disebut sebagai aktor utama.
Di rumah dinas Pertamina di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, Alfred menjelaskan detail penjualan dan juga keuangan Pertamina kepada Leanika Tanjung dari Tempo.
KPPU menilai Anda mendominasi penjualan tanker itu?
Itu bukan dominasi. Saya tukang bersih-bersih. Coba ditanya siapa yang bersih-bersih Karaha Bodas Company (KBC) dan yang lainnya. Kalau dibilang dominasi, enggak, saya seorang pekerja. Masalah Pertamina itu menyangkut urusan finansial, soal restrukturisasi, dan arus kas. Dan saya yang paling mengetahui.
Anda tidak menerima disebut dominan?
Kenapa dominan? Saya bilang begini: bapak-bapak, kita tak punya uang. Mereka kaget karena sepanjang sejarah Pertamina tidak pernah seorang direktur keuangan menginformasikan kondisi keuangan. Mereka tahunya ada uang sehingga semuanya gampang, karena strukturnya memungkinkan.
Bagaimana struktur keuangan Pertamina?
Di hulu ada kepala keuangannya. Mereka kayak perusahaan sendiri. Mereka dikasih anggaran untuk jalan. Mereka enggak mau tahu arus kas seperti apa. Nah, waktu saya masuk, baru saya tahu ini perusahaan bangkrut. Utangnya sedemikian besar kepada pemerintah, tapi uangnya tidak ada.
Apa yang Anda temukan?
Keuangan Pertamina tidak kuat. Tidak punya uang kok foya-foya. Per 17 September 2003, Pertamina punya piutang ke pemerintah Rp 14 triliun, tapi utangnya ke pemerintah Rp 20 triliun. Padahal, pada 18 September kita harus bayar ke pemerintah Rp 18,4 triliun, sedangkan di kas cuma ada sisa uang Rp 6 triliun. Dan itu harus dibayar. Tahun 2004, arus kas Pertamina diproyeksikan negatif Rp 16,7 triliun.
Mengapa sampai parah seperti itu?
Karena duit yang digunakan untuk membayar utang jangka panjang adalah dana jangka pendek. Saya bilang ke Pak Boediono (Menteri Keuangan waktu itu), ini perusahaan sudah default (gagal bayar utang). Dia bilang, kamu menyesal dong masuk sini, diceburin. Saya bilang ini amanah, saya tidak cari kerja.
Karena itu, Anda mengusulkan menjual dua tanker itu?
Saya meminta kedua tanker itu dijual karena saya mengerti angka. Mau jual gedung tidak boleh, sementara cicilan terus dibayar. Kalau tidak, kapal itu bisa diambil Hyundai Heavy Industries. Karaha Bodas Company juga berniat menyita kapal itu. Ini semua tidak ada yang tahu. Sekarang saya dibilang dominan. Saya bilang di rapat, tidak bisa semua kotoran dilemparkan ke saya, semua harus teken untuk menyelamatkan perusahaan.
Niat KBC itu dinyatakan dalam bentuk apa?
Tanggal 6 Juli, Hyundai mengirim surat mengatakan kapal itu hendak disita KBC. Kita lalu menyiasati. Tengah malam menjelang 9 Juli, jual-beli kapal itu diteken dengan Hyundai dan Frontline. Kapal tak jadi disita karena sudah milik Frontline. Orang tidak tahu bagaimana deg-degannya menyelamatkan kapal itu.
Opsi penyelamatan lain tidak ada?
Kita bicarakan semua opsi sejak Januari 2004. Di DPR saya bilang keuangan Pertamina berdarah-darah. Persediaan BBM menipis. Batam dan Makassar sudah gelap. Kalau Jakarta kena, selesai sudah.
KPPU mengatakan ada kekurangan pembayaran yang tidak dibuktikan, hanya disebutkan cicilan kelima?
Itu bentuknya novasi dan sudah diterangkan kepada KPPU. Mereka tidak mengerti. Nilai bersih yang kita terima setelah dikurangi biaya-biaya hanya US$ 170,8 juta, bukan US$ 184 juta.
Menurut KPPU, kalau itu novasi, tetap harus ada buktinya?
Nanti kalau tanding di pengadilan mereka akan bilang, oh?ini toh. Mereka bilang ada uang hilang. Gila, kayak kita nyolong.
Mengapa penentuan Frontline sebagai pemenang dilakukan melalui negosiasi?
Tahap akhir memang negosiasi. Yang penting koridornya dipenuhi. Ini bukan pembelian, melainkan penjualan. Mereka kita tanding terbuka, bukan larak-lirik. Kalau tinggal dua penawar dengan beda harga lima persen, bisa negosiasi.
KPPU menganggap negosiasi itu bagian dari persekongkolan?
Kita bilang, sepanjang koridor, tak masalah. Secara bobot sudah diputuskan Frontline yang menang. Malah saya yang nyeletuk supaya hati-hati karena ada perbedaan harga US$ 5,5 juta. Saya yang ngomong. Kita juga menanyakan kepada mereka apa mereka bisa menaikkan harga lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo