Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi merespons positif langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghapus pasal skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan atau RUU EBT. Sebab menurutnya, skema power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat.
Selain itu, kata Fahmy, skema power wheeling melanggar UUD 1945, UU Ketenagalistrikan, dan keputusan Mahkamah Konstitusi. “Penarikan pasal skema power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat,” kata Fahmy dalam keterangannya, Minggu, 22 Januari 2023.
Baca: Badan Keahlian DPR Gandeng UMM Susun RUU Energi Baru Terbarukan
“Selanjutnya, semua pihak harus ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan DIM, sehingga tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa power wheeling,” imbuhnya.
Adapun skema power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Penjualan setrum IPP tersebut menggunakan jaringan distribusi dan transmisi milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui open source, dengan membayar fee yang ditetapkan Kementerian ESDM.
Fahmy mengatakan penerapan skema power wheeling berpotensi menambah beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan merugikan negara. Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen. Penuruann pelanggan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.
“Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tariff listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian,” ujar Fahmy.
Lebih lanjut, Fahmy menilai power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen dengan penetapan tariff listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebab skema ini akan membuat tariff listrik bergantung demand and supply. “Pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan.”
Fahmy menyebut power wheeling sebagai liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Dia juga mengatakan Power wheeling merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.
Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. Lalu UU itu diganti dengan UU No.30/2009, dengan menghilangkan pasal unbundling.
Adapun ihwal RUU EBT, mengutip siaran pers dari laman resmi Kementerian ESDM, disusun sebagai kebutuhan mendesak karena diperlukan kerangka regulasi yang komprehensif yang dapat menjaga ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan, sehingga EBT dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
"Dengan adanya regulasi dalam bentuk UU,diharapkan ada kepastian hukum, penguatan kelembagaan dan tata kelola, pencipataan iklim investasi yang kondusif, serta sumber EBT untuk pembangunan industri dan ekonomi nasional, kata Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Eneergi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Adapun substansi pokok pendalaman Daftar Investasi Masalah atau DIM RUU EBT, meliputi transisi energi dan peta jalan, sumber EBT, nuklir, perizinan berusaha, penelitian dan pengembangan, harga EBT, dukungan pemerintah, dana EBT, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pembagian kewenangan, pembinaan dan pengawasan, serta partisipasi masyarakat.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Persoalkan Nuklir-Batu Bara dalam RUU Energi Baru Terbarukan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini