Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Pemilik Warung soal Larangan Jual Rokok Ketengan: Aturan Kok Aneh Gitu..

Pemilik warung kelontong menghadapi dilema saat tahu ada kanaturan yang melarang penjualan rokok ketengan. Bagaimana tanggapan mereka?

5 Agustus 2024 | 12.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pemilik warung kelontong di bilangan Cikoko Barat, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, mengeluhkan aturan yang melarang penjual rokok ketengan. Larangan penjualan rokok ketengan tercantum dalam Pasal 434 ayat 1 poin c Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan atau PP Kesehatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat pemilik warung kelontong yang ditemui Tempo hari ini pada umumnya mengaku tidak bisa membatasi keinginan pembeli yang hanya mampu beli rokok secara eceran. "Apakah kita harus melarang, sementara pembeli hanya punya uang pas-pasan?" kata Sugito, pemilik warung kelontong di Cikoko Barat, ketika ditempui pada Senin, 8 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria berusia 39 tahun ini mengatakan kebanyakan pembeli rokok ketengan adalah pekerja serabutan dan pengemudi ojek online. "Sulit dan tidak masuk akal saja menurut saya."

Kalaupun dilarang, Sugito menilai hal itu tidak akan berdampak pada penjualan rokok di warung miliknya. Sebab porsi penjualan rokok didominasi oleh konsumen yang membeli per bungkus. "Rokok ketengan yang saya jual itu tidak signifikan. Sehari itu palingan cuma tiga sampai 5 bungkus saja (yang terjual)," katanya.

Dalam Pasal 434 PP Kesehatan disebutkan larangan penjualan rokok dalam kemasan ‘kiddie pack’ atau kurang dari 20 pcs kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik. Aturan turunan dari UU Kesehatan ini juga melarang penjualan rokok eceran yang berada dekat sekolah dan tempat bermain anak.

Sugito menyatakan memang tidak akan menjual rokok ketengan kepada anak-anak. Namun di beberapa kasus, ada anak-anak yang disuruh bapaknya membeli rokok, baik ketengan maupun per bungkus. "Kalau seperti itu, apakah dilarang juga?" kata dia. 

Sementara itu, Sartini yang mengelola warung kelontong tak jauh dari SMPN 154, Jakarta Selatan, mengaku tidak tahu ada aturan yang melarang penjualan rokok eceran. Meski begitu, sejak sebelum aturan tersebut terbit, Sartini bercerita dirinya tidak pernah menjual rokok kepada pelajar. "Saya dari dulu tidak menjual kepada bocah-bocah, apalagi di jam sekolah," katanya.

Dari pengamatan Tempo, di sekitar sekolah yang berlokasi di Kelurahan Pengadegan, Kecamatan Pancoran itu, sedikitnya ada lima warung yang semuanya menjual menjual rokok dan disusun rapi di etalase bagian depan.

Lebih jauh Sartini mengaku bahwa selama ini menjual rokok kepada siapa saja. Kebanyakan, kata dia, para remaja yang membeli rokok di warung miliknya. "Pemerintah kalau buat aturan kok aneh seperti itu. Ya, siapa yang awasi, gitu lo. Jangan menakut-nakuti kami," ujarnya.

Ia pun menilai aturan tersebut juga diskriminatif dan menyasar warung kelontong skala kecil. "Kita ini berjualan di gang-gang, di kampung padat. Ya gimana lagi kalau dilarang orang beli ketengan," kata Sartini. Empat pemilik warung kelontong lainnya yang ditemui Tempo juga menyebutkan belum ada sosialisasi ihwal aturan larangan menjual rokok ketengan itu.

Adapun frasa larangan menjual rokok eceran yang berada dekat lokasi bermain anak juga membuat Sartini kebingungan. Warung Sartini berada di sisi jalan kecil selebar dua meter. Tak jauh dari situ, terdapat sepetak lahan kosong yang pada sore hari digunakan oleh anak-anak untuk bermain.

"Kalau begitu bunyi aturannya, apakah anak-anak itu saya larang bermain di sini? Atau saya yang harus berhenti menjual rokok?" kata Sartini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus