Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Peneliti dan Dosen UII: Adakah Harapan dalam Situasi Tarif Trump

Dosen dan peneliti UII Listya Endang sebut kebijakan Tarif Trump berdampak signifikan bagi perekonomian Indonesia, tapi menurutnya ada peluang baik.

9 April 2025 | 11.05 WIB

Presiden Donald Trump. Dok. Whitehouse
Perbesar
Presiden Donald Trump. Dok. Whitehouse

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggegerkan perekonomian global usai menetapkan kebijakan tarif impor bagi nyaris semua mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani mengatakan kebijakan Tarif Trump—demikian kebijakan ini disebut— berdampak signifikan bagi perekonomian Tanah Air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Kebijakan tarif impor AS tidak hanya memberikan tekanan langsung pada sektor ekspor Indonesia tetapi juga menimbulkan efek domino yang mempengaruhi stabilitas makroekonomi,” kata Listya dalam tulisan ilmiah yang dokumennya diterima Tempo pada Ahad, 6 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Listya mengatakan kenaikan tarif yang diterapkan oleh AS terhadap produk-produk Indonesia merupakan sinyal yang jelas bahwa Indonesia tidak boleh bergantung pada satu pasar ekspor. Pasar AS, meskipun besar, tidak dapat lagi dianggap sebagai pasar yang stabil dalam jangka panjang, terutama di tengah ketidakpastian perdagangan global yang semakin meningkat.

Menurut dia, sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia perlu mencari alternatif pasar dan memperkuat kemitraan dengan negara-negara yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti India, Kanada, dan negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi salah satu langkah strategis yang harus diprioritaskan, guna memastikan Indonesia tak terpaku pada satu sumber pendapatan dari sektor perdagangan.

Sebelumnya, Trump Resmi menetapkan kebijakan tarif impor untuk hampir semua negara mitra dagang negaranya. Kebijakan ini guna menekan defisit perdagangan yang dianggap merugikan perekonomian domestik negara tersebut. Oleh karena itu, negara-negara dengan surplus perdagangan terhadap AS harus “membayar lebih”.

Trump menetapkan tarif impor dasar sebesar 10 persen, dengan tarif lebih tinggi dikenakan kepada sekitar 60 negara yang dinilai memiliki hubungan dagang “paling tidak adil” dengan AS. Indonesia, yang surplus berkat perdagangan nonmigas dengan AS sebesar 16,08 miliar dolar AS pada 2024, dikenai tarif timbal balik sebesar 32 persen—urutan tertinggi kedelapan dan salah satu tertinggi di ASEAN.

Listya, yang merupakan Dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta ini, menyarankan agar dalam merespons dampak kebijakan Tarif Trump, kebijakan ekonomi Indonesia harus berorientasi pada daya saing jangka panjang. Negara tidak hanya perlu bereaksi terhadap kebijakan jangka pendek, seperti penyesuaian tarif atau proteksi sektor tertentu, tetapi harus merancang kebijakan yang membangun ketahanan ekonomi yang lebih solid.

Seperti yang tercatat pada 2024, surplus perdagangan Indonesia mengalami penurunan sebesar 18,84 persen, yang mencerminkan betapa pentingnya penguatan sektor ekonomi domestik dan keberagaman pasar ekspor. Indonesia perlu fokus pada pembangunan kapasitas domestik yang berkelanjutan, dengan meningkatkan nilai tambah dalam produk-produk ekspor dan memperkenalkan inovasi yang dapat menjawab tantangan global.

“Mampukah Indonesia bertahan dan bahkan mengambil peluang dari tekanan ini? Semua tergantung pada kebijakan yang diterapkan saat ini,” katanya.

Pengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi ini mengatakan, Indonesia harus melihat fenomena ekonomi ini sebagai kesempatan untuk memperkuat daya saingnya dalam pasar global, meskipun berada di bawah tekanan kebijakan proteksionisme dari negara besar. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk meraih posisi yang lebih kuat dalam ekonomi global.

Dalam tulisan ilmiahnya bertajuk ‘Impor Trump: Benturan Kepentingan dan Ancaman bagi Ekonomi Indonesia’ tersebut, Listya menjelaskan salah satu teori ekonomi yang relevan dalam konteks ini adalah konsep Antifragility dalam Teori Resiliensi Ekonomi oleh Nassim Nicholas Taleb. Teori ini memaparkan bahwa beberapa sistem justru menjadi lebih kuat ketika menghadapi ketidakpastian atau guncangan eksternal.

Dalam konteks perekonomian Tanah Air, menurut Listya, Indonesia mampu bertahan dan berkembang meskipun menghadapi tekanan dari kebijakan proteksionisme global dengan kebijakan yang dapat memperkuat sektor-sektor domestik, meningkatkan inovasi, dan memperluas diversifikasi pasar. Kebijakan-kebijakan tersebut disebut dapat membuat ekonomi Indonesia lebih antifragile.

“Indonesia dapat memanfaatkan tantangan ini untuk mempercepat reformasi ekonomi dan meningkatkan daya saing di sektor-sektor strategis,” katanya.

Selain itu, kata Listya, Teori Kebijakan Responsif, yang mengemukakan perdebatan antara Kebijakan Keynesian dan Neoliberalisme, juga relevan dalam konteks Indonesia saat ini. Kebijakan Keynesian, yang mengusulkan intervensi pemerintah dalam ekonomi, dapat berperan dalam mengurangi dampak langsung kebijakan tarif, misalnya melalui subsidi atau insentif bagi sektor-sektor yang terdampak langsung, seperti tekstil dan elektronik.

Di sisi lain, Neoliberalisme lebih mendorong pada peran pasar bebas, di mana pemerintah diharapkan lebih sedikit terlibat dalam regulasi dan membiarkan mekanisme pasar yang menyesuaikan. Indonesia harus menemukan keseimbangan yang tepat antara intervensi yang diperlukan, untuk melindungi sektor-sektor strategis dan membiarkan pasar beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan kondisi global.

Lebih lanjut, Listya mengatakan kebijakan perdagangan yang lebih adaptif adalah kunci utama dalam merespons kebijakan tarif resiprokal AS. Bukan hanya reaktif terhadap kebijakan luar negeri temporal, tetapi lebih berorientasi pada penguatan daya saing jangka panjang. Sehingga Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang mungkin timbul di tengah ketidakpastian global.

“Negara harus memperkuat ekonomi domestiknya dengan inovasi dan efisiensi, memperluas jaringan perdagangan global, serta mendukung sektor-sektor yang memiliki potensi besar untuk bertumbuh dan bersaing di pasar dunia,” kata Listya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus