Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pengamat Sebut UKT Mahal akan Menambah Angka Pengangguran Usia Muda di Indonesia

Celios menilai mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT) akan menambah jumlah pengangguran usia muda di Indonesia

15 Agustus 2024 | 20.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira usai diskusi mengenai hasil survei persepsi publik terhadap JETP di Jakarta, Rabu, 5 Juni 2023. TEMPO/Amelia Rahima Sari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT) akan menambah jumlah pengangguran usia muda di Indonesia. Hal itu tercermin dari tingginya angka putus asa mencari kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyebut saat terdapat 33,4 persen pengangguran yang masuk kategori putus asa mencari kerja atau hopeless of job. Angka tersebut, kata Bhima, disumbang oleh angkatan kerja dengan pendidikan SMA sederajat ke bawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persentase pengangguran usia produktif di Indonesia juga tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 2023, ada 13,9 persen pengangguran usia muda di Indonesia. Di posisi tertinggi kedua dan ketiga masing-masing ditempati Malaysia dengan persentase 12,5 persen dan Vietnam sebanyak 6,2 persen.

Menurut Bhima, tingginya persentase pengangguran usia muda tersebut disebabkan karena sulitnya akses terhadap pendidikan tinggi. "Kondisi itu membuat kesempatan mencari pekerjaan layak menjadi lebih terbatas," katanya.

Selain itu, Bhima mengatakan sulitnya akses pendidikan tinggi akan memperparah ketimpangan sumber daya manusia dalam satu dekade ke depan. Sulitnya menjangkau pendidikan tinggi juga dikhawatirkan makin memperbesar angka putus asa mencari kerja.

Bhima memperkirakan kondisi itu membuat peluang Indonesia untuk lepas dari status negara berkembang semakin tipis. Sebab rendahnya kualitas pendidikan turut menentukan keberhasilan bonus demografi yang mencapai puncaknya pada 2030 mendatang. "Ketika akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas tidak bisa didapatkan peserta didik hari ini, dampaknya akan terlihat pada kualitas tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja dalam 12 tahun ke depan," jelas Bhima melalui keterangan tertulis, Kamis, 15 Agustus 2024.

Bhima mengatakan mahalnya biaya pendidikan tinggi pada akhirnya berdampak pada lambatnya mobilitas sosial para lulusan SMA. Mereka juga akan kesulitan bersaing dengan angkatan kerja berlatar belakang pendidikan tinggi. "Tingkat ketimpangan berisiko makin meningkat akibat mahalnya biaya kuliah, terlebih bagi keluarga kelas menengah rentan," kata Bhima.

Untuk itu, dia mendesak pemerintah segera membatalkan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Regulasi ini berisi tentang pengaturan besaran biaya operasional pada universitas negeri.

Aturan itu memberikan kewenangan bagi universitas untuk menambah tingkatan level UKT. Perhitungannya didasarkan pada besaran Biaya Kuliah Tunggal yang berbeda-beda, tergantung kebijakan program studi. "Regulasi ini tidak sejalan dengan upaya menghadirkan kesempatan akses pendidikan yang terjangkau demi terwujudnya perekonomian Indonesia yang lebih berkualitas di masa kini dan mendatang," kata Bhima.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus