Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Penghapusan Pajak Barang Mewah Dinilai Gairahkan Bisnis Properti

Industri sektor properti punya harapan baru lantaran Kementerian Keuangan tengah mengkaji penghapusan pajak rumah mewah

19 Oktober 2018 | 21.33 WIB

Pengunjung melihat pameran properti dalam Festival Properti Indonesia di Jakarta, 21 Maret 2018. Pembangunan rumah untuk masyarakat MBR ini guna mendukung program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah. ANTARA/Sigid Kurniawan
Perbesar
Pengunjung melihat pameran properti dalam Festival Properti Indonesia di Jakarta, 21 Maret 2018. Pembangunan rumah untuk masyarakat MBR ini guna mendukung program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah. ANTARA/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Industri sektor properti punya harapan baru lantaran Kementerian Keuangan tengah mengkaji penghapusan pajak rumah mewah, yaitu Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Insentif tersebut diharapkan dapat mengurangi beban biaya pengembang dan mendorong gairah industri sektor properti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia (REI) Totok Lucida menuturkan pengusaha properti sebetulnya sudah mengajukan permohonan tersebut sejak dua bulan lalu kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sehingga, penghapusan pajak barang mewah atas properti ini disambut baik oleh pengusaha properti. Pasalnya, Totok menilai pajak rumah mewah di Indonesia terbilang paling mahal di dunia.

“Setidaknya besar pajak yang harus dibayar oleh konsumen adalah 42 persen dari harga properti. Kami usulkan adanya pengurangan pajak supaya bisnis ini bisa kompetitif," ujar Totok, Jumat 19 Oktober 2018.

Dalam setiap kali pembelian rumah mewah, konsumen harus membayar PPnBM sebesar 20 persen, PPh dalam pasal 22 sebesar 5 persen, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen, dan PPh sebesar 2,5 persen. Totok bersyukur keinginan itu disambut positif oleh Kementerian Keuangan. Pada intinya, kata Totok, pemerintah tidak keberatan atas permintaan tersebut.

Totok menuturkan, pengajuan permohonan pengurangan pajak tersebut bukan karena konsumen merasa keberatan membayar pajak, melainkan mereka merasa terdiskriminasi dengan aturan pajak yang berbeda ketimbang dengan properti yang tidak masuk barang mewah. Pengusaha meminta adanya penyamarataan terhadap beban pajak rumah mewah.

"Selama ini ada perbedaan. Namun, setelah dihitung oleh Ditjen pajak ternyata hasilnya tidak terlalu signifikan (terhadap pendapatan pajak). Bahkan, hasilnya akan lebih signikfikan apabila ada relaksasi PPnBM karena akan merangsang properti," kata Totok.

Country General Manager Rumah123 Ignatius Untung harus ada tindak lanjut dari pemerintah agar kebijakan penghapusan PPnBM atau PPh disahkan. Pasalnya, kata dia, pengurangan pajak saja tidak akan menggairahkan bisnis properti secara signifikan, hanya sekitar satu digit pertumbuhannya. Apalagi, kata dia, rangsangan pengurangan pajak terbilang terlambat sejak kelesuannya terbaca pada 2015.

“Untuk saat ini problem utamanya bukan itu, tetapi calon pembeli tidak diedukasi bahwa investasi porperti itu perlu dijadikan prioritas," kata Untung.

Menurut dia, generasi milenial cenderung tidak tertarik untuk berinvestasi pada sektor properti lantaran fokus mereka pada tuntutan gaya hidup. Apalagi, generasi ini lebih cepat mengakses informasi tentang apa saja yang sedang tren saat ini, salah satu contohnya travelling atau berwisata. Faktor kelesuan ini lebih banyak pada perubahan prioritas.

Dulu, kata Untung, yang membeli properti masih generasi x, yang mana godaannya hanya mobil. Sementara generasi Y menghadapi banyak godaan karena akses informasi yang tidak terbatas. Untung menilai Selama ini properti mengandalkan investor. Namun, investor saat ini sedang lesu, sementera generasi baru tidak diedukasi. "Sehingga jadinya ambruk," kata dia.

Untung sepakat dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa bisnis properti bisa mendorong multiplier effect dari segi penciptaan kesempatan kerja yang cukup besar. Pasalnya, kata Untung, setidaknya ada 174 industri yang berada di belakang porperti, mulai dari semen, kaca, besi, baja, kayu, dan lainnya. Kalau bisnis properti lesu, tentu saja industri tersebut terdampak. “Begitu juga sebaliknya,” ujar Untung.

Aturan PPh 22 maupun PPnBM untuk properti tertuang dalam Peraturan Kementerian Keuangan. Pertama, PMK Nomor 35/PMK.010/2017 yang isiinya, kelompok hunian mewah rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan harga jual minimal Rp 20 miliar dan kelompok apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dengan harga jual minimal Rp 10 miliar. Kedua, beban pajak itu juga tertulis dalam PMK Nomor 90/PMK.03/2015 yang mengatur rumah beserta tanah, maupun apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual di atas Rp 5 miliar tergolong sebagai barang sangat mewah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan masih terus mengevaluasi kebijakan tersebut. Ia berharap pasar properti bisa kembali bergairah. Apalagi dengan adanya peluang efek ganda apabila sektor ini berkembang. “Kami akan melihat dan evaluasi agar tetap sesuai dengan kebutuhan segmen pembangunan properti di Indonesia,” kata Sri Mulyani.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan sektor properti menjadi perhatian sebab barang properti merupakan barang yang bersifat jangka panjang. Selain itu, rumah juga berbeda dengan barang konsumsi lain karena kerap dimanfaatkan untuk menabung maupun leverage. Namun, beban pajak sering dikeluhkan oleh pemain di pasar primer lantaran mereka kerap membayar pajak ganda.

Sementara pemain dari sektor sekunder tidak dikenakan pajak karena sudah dikenakan sekali pada waktu penjualan pertama dari pengembang. “Ini yang disampaikan teman-teman developer properti, bahwa ini menambah biaya,” ujar Suahasil.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus