Grup Humpuss akan membangun dan mengelola terminal peti kemas di Jakarta. Terminal kontainer Bandung dan Surabaya dibenahi. TERMINAL peti kemas tampaknya akan menjadi perintis dalam swastanisasi pelabuhan, yang sejak Paket Mei 1990 sudah diberi lampu hijau oleh Pemerintah. Terminal Gedebage, Bandung, misalnya, akan ditingkatkan sebagai pelabuhan ekspor-impor, akhir bulan ini. Di Tanjungperak Surabaya, terminal berskala internasional akan diresmikan November depan. Sementara itu, di Tanjungpriok, Jakarta, PT Samudera Reksabuana akan membangun dan mengoperasikan Terminal Peti Kemas (TPK) III dan IV dengan sistem build, operate, and transfer (BOT). Naskah kerja samanya telah ditandatangani oleh Dirut Perum Pelabuhan II, Drs. Sabirin Saiman, dan Direktur Samudera Reksabuana, Mohamad Riza Chalid, Rabu pekan lalu. Terminal tersebut akan dibangun di atas areal 100 ha, dan untuk itu 8.000 kepala keluarga harus dipindahkan. "Kami sudah menyediakan wilayah permukiman baru bagi sekitar 8.000 kk," kata Direktur Samudera Reksabuana, Freddy Lontoh, seperti dikutip harian Kompas. Adapun biaya pembangunan Terminal Peti Kemas III dan IV diperkirakan US$ 825 juta (sekitar Rp 1,6 trilyun). Kapasitas tampungnya 3 juta TEUs (twenty-feet equivalent units) peti kemas per tahun. Hasil pengelolaannya akan dibagi dengan Perum Pelabuhan II. Soal porsi keuntungan dan batas tahun pengelolaan akan dirundingkan. Sesuai dengan perjanjian, "Seluruh aset akan dikembalikan secara utuh kepada Pemerintah, pada waktunya nanti," kata Mohamad Riza. Terminal Peti Kemas Bandung (TPKB) Gedebage juga meningkatkan kemampuannya sebagai pelabuhan ekspor-impor. Untuk itu, menurut kepala terminal, Soedarmo Ramadhan, kini dibangun pos penjagaan dan daerah steril, serta penyempurnaan gudang ekspor-impor. Terminal yang menyita areal 1,5 ha ini akan diperluas 6.000 m2 ke utara. Dengan berbagai penyempurnaan itu, "Para eksportir-importir tak perlu lagi mengurus dokumen di Tanjungpriok, tapi di sini," kata Soedarmo. Sejak Gedebage didirikan 1987, arus barang memang meningkat. Pada 1987, Gedebage menyedot 2.575 TEUs. Dalam tiga tahun saja (1990) daya tampungnya mencapai 23.065 TUEs. Tarif angkutan peti kemas dari Gedebage ke Jakarta -- dengan kereta api dua kali sehari -- memang lebih murah daripada angkutan truk. Per peti kemas ukuran 20 feet isi, Rp 206.100, dan ukuran 40 feet, Rp 339.600. Padahal, dengan truk kontainer biayanya Rp 600-700 ribu. Kelemahannya satu: dengan kereta sering lambat. Meningkatnya status Gedebage disambut para pemakai jasa dengan gembira. "Sebab, bahan baku yang diimpor langsung diterima di daerah produksi. Otomatis, biaya dapat ditekan," kata Yettie Sumarsono, Ketua Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Jawa Barat. Namun, ia mengkhawatirkan, terminal Gedebage akan mbludak, terutama bila arus barang ekspor mencapai titik puncak. "Untuk mengatasi hal ini, Perumka harus menambah armada kereta apinya," kata Yettie. Di pelabuhan Tanjungperak, pengoperasian ICT mendekati penyelesaian. Proyek senilai 158 juta dolar AS itu tinggal menunggu pemasangan gantry crane (alat raksasa untuk memindahkan kontainer). ICT, yang menyita areal 24 ha, plus dermaga kontainer seluas 500 x 50 meter yang menjorok ke laut sejauh 1,6 kilometer, akan berkapasitas 250 sampai 300 ribu TEUs per tahun. Dan, "Presiden akan meresmikan ICT ini November mendatang," kata Drs. Tarjono, Kepala Humas Perum Pelabuhan III. WY, Ida Farida, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini