Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menurut penghitungan BPS, produksi beras turun dari 31,10 juta ton pada 2023 menjadi 30,34 juta ton pada akhir tahun nanti.
Pelaksana tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan penurunan produksi terjadi karena luas lahan panen padi menyusut akibat El Nino.
Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengingatkan bahwa upaya menggarap lahan bekas MIFEE dan meniru skemanya berpotensi mengulang kegagalan.
BADAN Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras 2024 lebih rendah dibanding pada 2023. Namun pemerintah yakin pasokan beras masih cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan estimasi BPS lewat survei kerangka sampel area amatan September 2024, produksi padi pada akhir tahun ini mencapai 52,6 juta ton, turun dari realisasi pada 2023 yang sebesar 53,98 juta ton. Angka ini berasal dari hasil tanam hingga Juli 2024 serta estimasi produksi selama September-Desember 2024. BPS menghitung estimasi ini menggunakan angka luas panen September 2024, potensi luas panen pada kuartal IV, serta rata-rata produktivitas subround III 2018-2023.
Penurunan produksi padi ini mempengaruhi produksi beras. Menurut penghitungan BPS, jumlahnya turun dari 31,10 juta ton pada 2023 menjadi 30,34 juta ton pada akhir 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menegatakan penurunan produksi terjadi karena luas lahan panen padi menyusut. Pada periode Januari-April 2024 tercatat pengurangan lahan seluas 0,64 juta hektare. "Berkurangnya lahan panen tersebut karena pengaruh fenomena El Nino pada semester II 2023 sehingga terjadi mundur tanam," katanya pada Selasa, 15 Oktober 2024.
BPS mencatat ada kenaikan luas panen padi pada Mei-Agustus 2024 seluas 0,10 juta hektare. Luasnya berpotensi kembali naik pada September-Desember 2024 hingga 0,38 juta hektare. Meski begitu, total luas lahan sepanjang 2024 diperkirakan menyusut 0,17 juta hektare dibanding pada tahun lalu, dari 10,21 juta hektare menjadi 10,05 juta hektare.
Kementerian Pertanian mengkonfirmasi El Nino yang terjadi tahun lalu memicu susutnya produksi beras. Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Moch. Arief Cahyono mengatakan fenomena tersebut menyebabkan kekeringan di banyak sawah. Kesulitan air membuat musim tanam mundur. "Masa panen raya yang semestinya terjadi pada Maret-April 2024 bergeser," katanya kepada Tempo, Rabu, 30 Oktober 2024. Masalahnya, antara lain, minimnya infrastruktur irigasi di sekitar sawah.
Itu sebabnya terjadi defisit produksi pada Januari-April 2024 sebesar 14,74 persen atau setara dengan 1,91 juta ton dibanding pada periode yang sama tahun lalu. "Ini yang kemudian ditutup dengan pengadaan beras sebesar 3,5 juta ton dari luar negeri oleh Bulog," ujar Arief.
Sebelum El Nino terjadi, kata Arief, ada sejumlah hambatan dari sisi sarana dan prasarana yang turut berkontribusi terhadap penurunan produksi beras. Salah satunya adalah terbatasnya pupuk bersubsidi. Setidaknya, dalam lima tahun terakhir, kuota nutrisi untuk tanaman ini terus berkurang. Selain itu, jenis pupuk yang ditanggung pemerintah berkurang dari empat jenis menjadi dua jenis.
Harga Beras Berisiko Naik
Pemerintah, pada awal 2024, hanya mengalokasikan 4,7 juta ton pupuk bersubsidi, turun dari realisasi pada 2023 yang sebanyak 6,19 juta ton. Arief menuturkan pemerintah kesulitan menambah kuota karena anggaran kementerian terbatas. Di sisi lain, petani kesulitan mengakses pupuk non-subsidi lantaran harganya mahal. Bahan baku pupuk sempat tersendat seusai perang Rusia dan Ukraina.
Kendala lain yang menghambat produksi beras adalah mesin pertanian yang sudah tua. Inovasi benih unggul juga tersendat karena penelitian terhadap varietas baru menurun setelah banyak peneliti di Kementerian Pertanian beralih ke badan baru, yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Arief mengatakan pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk mendongkrak produksi. Salah satunya dengan menambah alokasi pupuk bersubsidi. Pada Mei 2024, pemerintah memutuskan menambah alokasi pupuk bersubsidi menjadi 9,5 juta ton untuk memastikan kebutuhan petani terpenuhi. Petani yang sudah terdaftar juga bisa lebih mudah menebus pupuk dengan menunjukkan kartu tanda penduduk. Upaya lain adalah menyiapkan pompa untuk petani, terutama mereka yang masih mengandalkan hasil tadah hujan.
Dia mengklaim kedua strategi ini membawa dampak signifikan. "Produksi beras periode Agustus hingga Oktober 2024 lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu," kata Arief. Namun secara kumulatif sepanjang tahun ini dia tak menampik ihwal potensi produksi beras yang lebih rendah dari tahun lalu.
Arief yakin kondisi ini akan jauh lebih baik tahun depan. Pemerintah sudah berkomitmen menjaga alokasi pupuk subsidi 9,5 juta ton tiap tahun. Selain itu, program bagi-bagi pompa bakal lebih masif. Kementerian juga bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum memastikan bendungan di sekitar sentra-sentra produksi beras bisa tersambung ke sawah.
Selain itu, pemerintah sudah memulai program perluasan lahan tanam dengan mencetak sawah baru. Mulai 2025 Kementerian Pertanian menargetkan bakal menambah 3 juta ton hektare sawah dalam periode empat tahun ke depan. Salah satunya adalah lahan bekas program lumbung pangan di Merauke, yaitu Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang dulu dikembangkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo. "Pemerintah optimistis paling lambat dalam tiga tahun ke depan Indonesia swasembada beras kembali dan dalam beberapa tahun berikutnya akan ekspor serta menjadi lumbung pangan dunia,” ucap Arief.
Petani merontokkan bulir padi saat musim panen di persawahan Sejinjang, Jambi, 8 Oktober 2024. ANTARA/Wahdi Septiawan
Peneliti BRIN, Latif Adam, mengatakan ekstensifikasi lahan mutlak dilakukan karena kebutuhan beras bakal meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Di sisi lain, terjadi tren konversi lahan sawah. Di Jawa, khususnya, sawah mulai berganti menjadi lahan perumahan hingga industri. Dia mengapresiasi langkah pemerintah membuka sentra produksi baru di luar Jawa, seperti di Kalimantan dan Papua.
Namun ia mengkritik langkah pemerintah yang berfokus pada pengembangan lahan baru oleh korporasi. Kerja sama dengan perusahaan bisa menghasilkan produksi berskala besar karena mereka punya akses terhadap modal dan teknologi. "Tapi kalau kemudian itu mengorbankan petani kan juga kurang bagus," tutur Latif.
Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, mengingatkan bahwa upaya menggarap lahan bekas MIFEE dan meniru skemanya berpotensi mengulang kegagalan. "Ini proyek pasti gagal," katanya.
Pembukaan lahan, pembenahan lahan agar siap tanam, serta pembangunan sarana dan prasarana pendukung pertanian membutuhkan dana besar. Andreas memperkirakan korporasi kesulitan menyediakan modal. Apalagi, belajar dari rentetan program food estate, dia mencatat tren produktivitas yang rendah.
Faktor lain adalah tenaga kerja. Andreas mempertanyakan kesiapan pemerintah menyiapkan petani yang mampu menggarap lahan food estate. "Petani yang berpengalaman dan dibantu mekanisasi di Jawa bisa mengerjakan 1 hektare sendiri saja itu sudah super luar biasa," katanya. Jika satu orang menggarap 1 hektare, setidaknya satu juta orang perlu didatangkan dari luar Merauke. Andreas mengingatkan risiko konflik sosial seusai kedatangan gelombang pekerja ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo