~TERMINAL kendaraan ummum di Tawangrnangu sejak Sabtu pekan silam mulai dikosongkan dan dibersihkan. Keramaian di tempat rekreasi yang membatasi Jawa Tengah dan Jawa Timur itu memang akan dipusatkan di terminal. Ada umbul-umbul dan ada panggung untuk pergelaran wayang kulit semalam suntuk, dengan menanpilkan dalang kenamaan, Ki Anom Suroto. "Setiap tahun, pada pembukaan bulan Maulud seperti sekarang ini, saya selalu ditugasi oleh Pak Moel untuk mendalang di Tawangmangu," tutur Ki Dalang. "Pak Moel selalu minta agar saya menyelipkan dakwah dan menggugah rasa cinta pada sesama melalu keikhlasan beramal." Pak Moel, siapakah dia? Nama lengkapnya Moeljoto Djojomartono, 63 tahun, tercatat sebagai seorang lulusan Economische Hogeschool Rotterdam, Negeri Belanda. Terakhir jabatannya adalah ditektur utama Bank Exim (1~73~-1988). Kalau Pak Moel, demikian panggilan a~rabnya, pekan ini menjadi penting, itu bukanlah karena upacara Mauludan di Tawangmangu. Juga bukan karena ia mengundang para sejawatnya yang kebanyakan bekas TP Brigade 17. Tapi lebih karena tokoh yang populer di ~Universitas Muhammadiyah Solo ini disebut-sebut sebagai calon komisaris utama Bank Duta. Mengingat ia pernah sukses meningkatkan citra Bank Expor Impor Indonesia, maka pencalonan itu -- kalau memang benar -- san~gatlah beralasan. Reputasinya sudah diakui para pengambil keputusan di bidan~g ekuin. Kepemimpinannya yang dikenal lugas membuat direksi Bank Exim kini tak segan meminta nasihat kepadanya. Ini diungkapkan sendiri oleh seorang direktur di lingkungan bank pemerintah yang terkategori paling sehat itu. Sampai akhir pekan lalu, Pak Moel masih menikmati istirahatnya di Tawangmangu. Seorang sahabatnya mengataka~n, "Sebetulnya Pak Moel ingin istirahat dari tugas-tugasnya di bank. Tapi mungkin kalau sebagai penasihat, ya, insya Allah." Pihak keluarganya menyebutkan, Pak Moel -- anak keempat dari 13 bersaudara sejak masih kanak-kanak sudah gemar membaca. Belakangan, di masa tuanya, ia sama sekali tidak mau diganggu di antara waktu maghrib dan isya. Karena saat itu ia dan istrinya meluangkan waktu untuk membaca. Dan jangan menanyakan soal film atau pusat perbelanjaan padanya. "Dia tidak akan tahu. Soalnya tidak pernah jalan-jalan. Tapi kalau soal buku, dia baru bisa bicara," ujar seorang anggota keluarga yang lain. Ayahnya, Moeljadi Djojomartono, pernah menjadi Menteri Sosial di zaman Bung Karno. Pak Moel, yang oleh para kemenakan biasa dipanggil Om Joto, kembali ke tanah air dari sekolah di Negeri Belanda pada 1960. Ia langsung bekerja di lingkungan bank. "Dia itu seumur-umur hidup di bank," tutur salah seorang keluarganya. Dimulai sebagai angota Badan Nasionalisasi Bidang Perbankan, tugasnya mengambil alih Nederland Handel Maskapij yang kemudian jadi BI, 1960. Pak Moel dikenal ketat menegakkan disiplin. Kabarnya ia tidak bersedia menemui siapa pun di luar waktu yang sudah disepakati. Ia juga tidak mau mencampurkan urusan kantor dengan urusan rumah. Sebagai anak lelaki tertua dalam keluarga, Pak Moel kini amat disegani. Dialah tempat mengadu, bukan meminta uang. Sekali waktu, lelaki yang gemar naik kuda ini berpesan, "Awas, jangan sampai ada pimpinan bank yang hobinya ke ni~ht club, sehingga mengurangi kredibilitas dan karismanya di mata masyarakat dan nasabah. Untuk mengisi lowongan komisaris utama Bank Duta, ternyata calonnya bukanlah Moeljoto seorang. Disebut-sebut juga nama Radius Prawiro, 62 tahun, yang dipilih oleh pemegang saham mayoritas (dalam hal ini Pak Harto, sebagai ketua Yayasan Supersemar, Yayasan Dakab, dan Yayasan Dharmais) menggantikan Bustanil Arifin. Putra dari seorang guru (bernama Prawiro) ini sudah mencatat ribuan jam terbang di bidang perekonomian dan perdagangan. Jabatan yang pernah dipegangnya berderet, di antaranya dari pegawai tek~nis Direktorat Akuntan Negara (1960-1965), Deputi Menteri Pemeriksa Keuangan Negara (1965), Gubernur BI (1966-1973), sampai Menteri Perdagangan (1973-1983), dan sekarang Menko Ekuin. Radius, lulusan Fakultas Ekonomi UI dan sempat pula menyelesaikan pendidikan di Nederlandsche Economicsche Hogeschool Rotterdam, jelas memiliki konsep pengawasan tersendiri. "Pengawasan adalah proses rasional, yang menyangkut pihak yang rasional. Sekalipun ada oknum yang tidak rasional, rakyat Indonesia adalah rakyat rasional," katanya dalam satu ceramah di depan para pengusaha di Jakarta tahun silam. Namun, sebagai Menko Ekuin, agaknya akan banyak hal yang merepotkan ketimbang memudahkan baginya. Ini harus diperhitungkan. Maka, disebut-sebut satu nama lain: Ali Wardhana. Mantan Menko Ekuin ini tak asing lagi bagi dunia perbankan, dan banyak sekali mengenyam pengalaman. Dan Pak Ali sudah pula kenyang dengan pelbagai jabatan penting di bidang ekonomi dan perbankan. Pernah ia menjabat sebagai Ketua Board of Governors Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (1971-1972), Wakil Ketua Dewan Gubernur Bank Pembangunan Islam di Jeddah (1974), sampai Menko Ekuin - -untuk menyebutkan sebagian jabatan yang pernah dipegangnya. Terakhir, ia masih memiliki ruangan istimewa di Departemen Keuangan, sebagai seorang penasihat. Secara fisik, lelaki kelahiran Solo 6 Mei 1928 ini juga masih kelihatan kukuh. Ia masih akan sanggup memimpin pengawasan, jika terpilih sebagai komisaris utama Bank Duta, kelak. Mohamad Cholid, Kastoyo Ramelan, dan Ivan H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini