Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon seluler Jarot berdering tak lama setelah ia menuntaskan makan siang Jumat dua pekan lalu. Di seberang sana, teman kuliah pekerja swasta 37 tahun itu mengajukan tawaran menarik. ”Kalau punya duit, simpan saja di tempat saya. Bunganya bisa di atas 11 persen,” kata sang teman, yang kini bekerja di Bank Danamon, Jakarta.
Bukan cuma Danamon. Bank DBS juga memasang iklan untuk menjaring deposan. Tawarannya tak berbeda jauh. Bagi siapa pun yang punya uang minimal Rp 50 juta, bank asal Singapura itu menawarkan bunga 10,25 persen. Bank yang lain pun ramai-ramai menawarkan suku bunga tinggi dalam dua bulan terakhir. Penawaran biasanya diberikan kepada nasabah yang punya simpanan gede.
Tingkat bunga yang ditawarkan memang fantastis. Tiga bulan lalu, bunga deposito paling banter hanya 6 persen per tahun. Kini jadi berlipat dua. Bunga tersebut jauh di atas bunga penjaminan, yang hanya 8,75 persen. Direktur PT Bank Mega Tbk. Yungki Setiawan tak menampiknya. ”Bahkan ada bank yang menawarkan bunga deposito 13 persen,” ujarnya.
Direktur Pelaksana PT Bank Negara Indonesia Tbk. Bien Subiantoro, kepada Tempo pekan lalu, juga membenarkannya. ”Tapi kami belum sampai angka itu. Paling banter sama dengan bunga penjaminan,” katanya. Meski mengaku tak mau latah ikut-ikutan, juru bicara Bank Bukopin, Tantri Wulandari, mengatakan hal yang sama.
Gara-gara jorjoran penawaran bunga deposito itu pula sebuah pesan pendek tiba-tiba mampir ke telepon seluler Tempo pada 27 Agustus lalu. Pengirimnya Rahmat Waluyanto, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Negara Departemen Keuangan. Ia menduga saat ini sedang ada ”perang” bunga deposito. Sejumlah bank menawarkan bunga 12 persen untuk deposito enam bulan bagi nasabah yang mau menyimpan duit Rp 5 miliar.
Kondisi itu membuat Rahmat waswas. Maklum, pemerintah sedang punya gawe besar berjualan obligasi negara retail (ORI) seri 005. Duitnya untuk menambal anggaran pendapatan dan belanja negara. Sejak 19 Agustus 2008, pemerintah telah menawarkan surat utang negara ini dengan bunga 11,45 persen. Jelas barang dagangan pemerintah kalah menarik dengan deposito berbunga lebih tinggi.
Kecemasan Rahmat terbukti. Hingga masa penawaran berakhir 29 Agustus lalu, jumlah pemesanan obligasi negara retail meleset jauh dari target. Dari 18 agen penjual, yang kebanyakan dari kalangan perbankan, pemesanan hanya mencapai Rp 2,71 triliun. Padahal target penjualannya Rp 6,23 triliun. ”Kali ini penawaran tidak seperti yang diharapkan,” katanya saat menggelar jumpa pers di kantornya pekan lalu.
Ada apa gerangan sampai bank-bank jorjoran menawarkan bunga tinggi? Biangnya ternyata adalah likuiditas yang seret. Direktur PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Abdul Salam mengungkapkan bank-bank tidak hanya bersaing dengan sesamanya untuk merebut dana masyarakat. ”Bank Indonesia dan pemerintah saat ini juga butuh dana besar,” katanya.
Bank Indonesia masih terus menyedot likuiditas untuk menekan laju inflasi, yang Agustus lalu masih 11,85 persen, dengan menaikkan suku bunga. Pada saat yang sama, pemerintah butuh duit untuk menutup defisit anggaran dan untuk pembangunan. Tahun ini defisit anggaran mencapai Rp 94,5 triliun, dan tahun depan nyaris menembus Rp 100 triliun.
Perbankan sendiri sudah menggenjot penyaluran kredit sepanjang semester pertama tahun ini. Abdul Salam mengungkapkan laju kredit saat ini mencapai 34 persen, tertinggi sepanjang lima tahun terakhir. Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan kredit dari Januari sampai Juni 2008 mencapai 15,4 persen, jauh di atas pertumbuhan dana pihak ketiga, yang hanya 5,6 persen. Ini menunjukkan likuiditas memang nyaris ludes.
Ambruknya harga surat utang negara juga membuat bank menawarkan bunga deposito yang tinggi. Biasanya, kata seorang bankir, bank menggunakan obligasi negara sebagai alat sementara untuk menutupi kebutuhan dana. Tapi kali ini bank tidak mau menjual surat utang negara karena harganya sedang tidak menguntungkan.
Bien mengingatkan perang bunga deposito tak sehat bagi perbankan nasional. Biaya dana akan melonjak. Margin keuntungan akan mengecil karena bank tak mungkin serta-merta menaikkan bunga kredit. Jika itu berlanjut, dampaknya bisa fatal. Keuntungan bank pada akhir 2008 bisa tergerus. ”Kemungkinan laba perbankan (semester kedua) tidak akan lebih bagus daripada semester satu,” katanya.
Tapi kenyataan toh tetap menunjukkan adanya perang bunga di perbankan Indonesia. Seorang kepala cabang BRI mengungkapkan dana segar milik para orang kaya senilai Rp 18 triliun bolak-balik keluar-masuk bank. ”Begitu ada tawaran yang lebih menarik, dengan sekejap nasabah memindahkan dananya,” katanya mengeluh.
Di satu sisi, bank memang dengan cepat bisa mendapatkan dana segar untuk keperluan likuiditas. Tapi di sisi lain, bank-bank, terutama bank kecil, menjadi waswas karena harus mampu mengembalikan dana besar yang tiba-tiba ditarik nasabah. Mereka juga harus mengerek bunga lebih tinggi jika tak mau nasabahnya disabot bank-bank besar.
Toh, Wakil Direktur PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Joseph Luhukay tenang-tenang saja melihat para nasabah begitu mudahnya berpindah-pindah bank mengejar bunga tinggi. Mantan Direktur Utama PT Bank Lippo Tbk. ini hakulyakin jorjoran penawaran bunga deposito tinggi hanya sesaat. Itu dengan catatan Bank Indonesia dan pemerintah melepas kembali dananya ke pasar uang dan sektor riil. ”Bunga deposito akan turun lagi.”
Peluang untuk itu memang masih besar. Direktur Surat Berharga Negara Departemen Keuangan Bhimantara Widyajala mengatakan dana pemerintah di Bank Indonesia masih sekitar Rp 170 triliun. Ini adalah duit anggaran pembangunan yang belum diserap daerah. Pemerintah daerah pun kini masih punya simpanan yang besar di bank sentral. Jumlahnya sekitar Rp 32 triliun.
Jika duit sebanyak itu digelontorkan, bukan tidak mungkin likuiditas akan segar kembali. Bhimantara optimistis pada triwulan ketiga dan keempat dana-dana tersebut akan segera cair. Kepala Riset PT Recapital Securities Poltak Hotradero yakin, jika pemerintah segera mencairkan anggaran pembangunan, perang bunga akan reda dengan sendirinya.
Tapi pemerintah memang harus bergegas. Jika pemerintah tetap berlama-lama, sektor riil keburu ”habis”. Sebelum terkena imbas suku bunga yang terus meninggi, dunia usaha sudah dihajar oleh kenaikan harga energi. Buntutnya bisa buruk: ekonomi yang sudah tumbuh 6,4 persen pada semester pertama bisa melambat. Apalagi jika kondisi itu bergabung dengan menurunnya permintaan dunia yang bisa mengurangi laju ekspor.
Padjar Iswara, Agus Supriyanto, Bunga Manggiasih, Amandra Mustika Megarani
Tingkat Bunga Deposito | |
---|---|
Bank | Bunga |
Bank Danamon | 10,75%-12% |
BRI | 11% |
BNI | 9,75% |
Bank Mega | 11% |
DBS Bank | 10,25% |
Bank Sinarmas | 9% |
Bank Maspion | 9% |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo