Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Paranoia dari Jendela Apartemen

Film ini mengkritik masyarakat Amerika yang sejak 11 September terjangkit paranoia. Sayang, dirilis terlambat.

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CIVIC DUTY
Pemain: Peter Krause, Kari Matchett, Richard Schiff, Khaled Abol Naga
Skenario: Andrew Joiner
Sutradara: Jeff Renfroe
Produksi: Intandem Films (2007)

DARI sebuah jendela apartemen, sesosok yang penuh curiga mengintip diam-diam. Kecurigaan itu kemudian menjelma menjadi ketakutan. Selanjutnya kita menyaksikan apa yang jamak terjadi di Amerika Serikat sesudah tragedi 11 September: paranoia.

Inilah sebuah film yang memotret kondisi psikologis warga Amerika pasca-serangan teroris tujuh tahun lalu. Dalam film terlihat bagaimana tayangan-tayangan terorisme yang menggempur setiap hari menjalarkan kecemasan. Bagaimana pula seorang dengan jiwa yang rapuh seketika bisa berubah menjadi monster pembunuh hanya lantaran terbakar pidato-pidato George Walker Bush.

Sutradara Jeff Renfroe tak mengemas Civic Duty sebagai film politik dengan pesan-pesan menohok pada sang presiden. Ia bukan sutradara macam Michael Moore atau Oliver Stone. Renfroe adalah penganut Alfred Hitchcock, yang memilih mencuplik drama besar dari sebuah bilik kecil. Ia menyuguhkannya menjadi sebuah thriller psikologi—dengan ruang kecil dan suasana sepi sebuah apartemen sebagai faktor penekan kejiwaan seseorang (claustrophobic suspense)—khas Hitchcock.

Menonton film ini memang mengingatkan kita pada film Hitchcock setengah abad lalu, Rear Window (1954), tapi dengan kadar suspens yang lebih kendur. Gagasannya pun mirip: seorang yang kesepian memilih mengisi harinya dengan menyaksikan aktivitas para tetangganya dari balik jendela sebuah apartemen. Dalam Rear Window, sang tokoh, L.B. Jeffries, seorang fotografer dengan kaki cacat, menyaksikan pembunuhan yang dilakukan tetangganya. Dalam Civic Duty, sang tokoh, Terry Allen, seorang akuntan yang baru saja dipecat dari pekerjaannya, mencurigai tetangganya sebagai teroris.

Film ini juga mengingatkan kita pada Falling Down (1993) karya Joel Schumacher. William Foster (Michael Douglas), yang baru dipecat dari pekerjaannya, terjebak dalam kemacetan lalu lintas Los Angeles. Padahal ia tengah terburu-buru menghadiri ulang tahun anaknya. Foster yang stres kemudian keluar menenteng tongkat bisbol, menghancurkan mobil-mobil di depannya. Ia merusak toko milik seorang Korea dan menghajar sekelompok pemuda Hispanik. Falling Down, yang dibikin setelah kerusuhan rasial pada ”peristiwa Rodney King” (1992) ini, sarat dengan pesan antirasialisme. Civic Duty mengadon ide dan thriller psikologi ala Rear Window dan amarah ala Falling Down.

Kecurigaan Terry Allen (dimainkan dengan bagus oleh Peter Krause) bermula ketika pada suatu malam lewat jendela apartemennya ia menyaksikan Gabe Hassan (Khaled Abol Naga), tetangga barunya, membuang sampah pada pukul 3 pagi. Bagi Allen ini sesuatu yang ganjil. Merasa penasaran, Allen membongkar tempat sampah Hassan, dan menemukan sepotong amplop bertulisan ”Sons of Benevolent” dan tulisan lain dalam huruf Arab. Allen, yang setiap hari dibombardir tayangan terorisme, mencurigai Sons of Benevolent sebagai organisasi teroris. Seruan-seruan Bush di televisi agar masyarakat Amerika waspada semakin memperkuat dugaannya.

Ia menyebut tetangganya itu ”lelaki Timur Tengah” atau ”negro padang pasir” yang mencurigakan. Marla (Kari Matchett), istri Allen, memprotes sebutan itu. ”Dan bukan urusanmu mengawasi kegiatannya,” ucap Marla. Sang istri memilih mendatangi Hassan yang mengaku sebagai seorang mahasiswa yang tengah membuat skripsi. Tak percaya, Allen menguntit aktivitas Hassan. Masih penasaran, ia nekat menyelinap ke apartemen Hassan dan menemukan banyak tabung reaksi di sana.

Allen kemudian menghubungi agen FBI, Tom Hilary. Hilary justru memperingatkan Allen yang telah melanggar hukum karena memasuki apartemen orang. Istrinya di lain soal mendesaknya segera mencari kerja. Dari balik kaca apartemennya, Allen yang kecewa pun memutuskan mengambil pistol dan menghakimi sendiri Hassan.

Teroriskah Hassan? Renfroe menggambarkan dengan sempurna sosok Hassan yang misterius, tapi tak seperti yang dibayangkan Allen. Renfroe mengkritik ketakutan tak beralasan dan tindakan main hakim sendiri itu sebagai aksi teror yang justru lebih berbahaya. Sayang, kritik Renfroe lewat film thriller ini (yang juga sayang kelewat linier) sudah jauh terlambat. Film ini semestinya keluar enam tahun lalu, bukan pada saat masyarakat Amerika sedang gandrung menyongsong harapan baru dengan presiden baru.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus