Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah beberapa pekan terakhir ini Purwani Hariyanto uring-uringan. Setiap kali berbicara soal investasi, karyawati badan usaha milik negara di Jakarta ini ngedumel tak keruan. Ibu dua anak ini memiliki obligasi negara retail (ORI) seri 004, yang dibelinya Maret lalu. Kini harganya sudah turun sekitar lima persen. ”Ketar-ketir terus kalau ditahan, rugi kalau dijual,” katanya.
Purwani tidak sendirian. Perbankan nasional sebagai investor institusi pemegang surat utang negara ikut deg-degan. Sama seperti obligasi retail, kinerja obligasi negara ini juga payah. Obligasi negara patokan (benchmark) Fixed Rate (FR) 0027, misalnya, pada Januari 2008 harganya masih 100,35. Tapi Jumat lalu dihargai 99,25.
Anjloknya harga obligasi negara memang punya pengaruh buruk pada perbankan nasional. Maklumlah, bank nasional umumnya memiliki surat utang negara. ”Itu obligasi rekapitalisasi yang disuntikkan pemerintah saat krisis moneter 1998,” ujar seorang bankir. Bank-bank juga menyimpan obligasi negara untuk menyiasati kebutuhan likuiditas, termasuk berjaga-jaga jika deposan menarik dananya.
Kondisi saat ini adalah lanjutan dari periode sebelumnya. Pada semester pertama 2008, sejumlah bank merugi akibat turunnya harga obligasi negara. Sumber Tempo di kalangan bankir menyebutkan Bank BRI merugi Rp 238 miliar karena punya obligasi negara pada posisi diperdagangkan (trading), termasuk obligasi pada posisi tersedia untuk dijual (available for sale).
”Memang ada pengaruh, tapi tak sebesar itu karena yang diperdagangkan kecil, cuma 10 persen,” ujar Direktur BRI Abdul Salam. BRI, kata dia, kebanyakan mempunyai obligasi negara pada posisi dimiliki hingga jatuh tempo (hold to maturity), yang tak berpengaruh pada neraca dan laba bersih. Sisanya ditempatkan pada posisi tersedia untuk dijual, yang tak mempengaruhi laba bersih.
Pada periode yang sama, sumber tadi melanjutkan, BCA harus membukukan penurunan harga obligasi Rp 74 miliar, Bank Danamon merugi Rp 95 miliar, dan BII wajib mencatatkan kerugian Rp 55 miliar. Adapun BNI Rp 21 miliar. ”Itu rugi yang tidak direalisasi,” kata Wakil Direktur Utama Bank Danamon Joseph Luhukay saat berbuka puasa di Rumah Marocco di Jakarta pekan lalu.
Wakil Direktur Utama BII Sukatmo Padmosukarso juga tak yakin dengan angka kerugian tadi. ”Mungkin itu bercampur dengan efek lain,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu. Wakil Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengakui BCA mencatatkan kerugian karena ada obligasi pada posisi diperdagangkan. ”Itu relatif kecil, tak ada artinya dibanding aset kami sekitar Rp 221 triliun,” katanya kepada Retno Sulistyowati dari Tempo.
Menurut Direktur Pelaksana BNI Bien Subiantoro, bank-bank sedikit menempatkan obligasi negara pada posisi diperdagangkan. Pada umumnya bank menempatkannya pada posisi tersedia untuk dijual atau dimiliki hingga jatuh tempo.
Obligasi negara kategori tersedia dijual memang tidak mempengaruhi keuntungan, tapi tetap berdampak negatif terhadap ekuitas (modal sendiri) bank. ”Rasio kecukupan modal (CAR) akan turun. Berarti kemampuan berekspansi juga turun,” katanya. Secara matematis, ekuitas BNI akan tergerus sekitar Rp 1,5 triliun jika penurunan berlanjut sampai akhir 2008.
Peringatan datang dari Kepala Riset Pendapatan Tetap Danareksa Budi Susanto. Kinerja obligasi pemerintah, kata dia, sampai akhir 2008 belum tentu pulih seperti tahun lalu—periode terbaik kinerja surat berharga negara. Bien hanya bisa pasrah. Bank-bank juga tak bisa berbuat banyak, selain berharap laju inflasi akan terkendali dan harga obligasi naik lagi.
Di tengah kegundahan, pemerintah mencoba memberikan rasa optimisme. Direktur Surat Berharga Negara Bhimantara Widyajala meyakinkan kondisi obligasi negara akan lebih baik dibanding semester lalu. ”Inflasi terkendali,” ujarnya. Jika benar, itu mungkin menjadi angin segar buat perbankan nasional.
Padjar Iswara, Bunga Manggiasih
Surat Utang Negara yang Dimiliki Bank (Miliar rupiah, sampai Juni 2008) | |||
---|---|---|---|
Bank | Diperdagangkan | Tersedia untuk Dijual | Dimiliki hingga Jatuh Tempo |
BCA | 573,5 | 2.576,3 | 5.810,7 |
Mandiri | 505,6 | 26.484,8 | 61.198,2 |
Danamon | 13,2 | 10.575,9 | 2.191,9 |
BNI | 1.372 | 32.928 | - |
Niaga | 499,1 | 2.956,4 | - |
BRI | 3.319,7 | 6.334,9 | 12.035,1 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo