HARGA minyak jatuh, devaluasi terpaksa dilakukan, dan Sinar Harapan tak boleh beredar lagi. Tapi hubungan antara suasana ekonomi yang rawan dan nasib penerbitan pers tak cuma sampai di situ. Sebuah majalah bulanan yang dikelola Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia juga batal penyebarannya untuk satu nomor, yakni nomor Oktober 1986. Sebenarnya, peristiwa ini tak akan menarik perhatian kalau saja tiba-tiba tak ada protes. Majalah itu, Forum Ekonomi, cuma beredar terbatas. Surat izinnya bukan SIUPP, yang berlaku buat media massa umumnya, melainkan STT (Surat Tanda Terbit), yang berlaku buat media yang tak diperjual-belikan ke masyarakat. Oplahnya cuma 3.000. Target pembacanya kurang jelas: 'tulisan di dalamnya sering' bisa diperoleh di majalah atau koran umum. Tapi dalam majalah kecil itu ada nama-nama besar. Pemimpin umumnya Dr. Arifin M. Siregar, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) yang pada saat sekarang juga menjabat Gubernur Bank Indonesia. Dewan redaksinya antara lain Dr. M. Sadli, Dr. Suhadi Mangkusuwondo, Dr. S.B. Judono, dan Dr. Payaman Simanjuntak (dan dalam majalah itu, gelar 'Doktor" ditulis dengan agak berlebihan, jadi "DR"). Penanggung jawabnya Dr. Prijono Tjiptoherijanto, ekonom muda yang banyak menulis, termasuk (dulu) menulis puisi. Tak kurang besar adalak nama penyumbangnya, khususnya buat nomor Oktober itu, yakni antara lain Soeharsono Sagir. Sarjana ekonomi dari Universitas Padjajaran, Bandung, ini akhir-akhir ini dikenal sebagai seorang yang pendapatnya membuat ramai: ia menyarankan agar deposito yang disimpan masyarakat di bank-bank oleh pemerintah diganti jadi obligasi. Pendapatnya ini umumnya tak dianggap serius oleh para ahli, tapi ketika disiarkan pers sempat membuat para penabung cemas dan menarik uang mereka dari bank. Syahdan, di Forum Ekonomi edisi Oktober 1986 itu, Sagir muncul lagi dengan tulisan yang mengomentari tindakan devaluasi pemerintah di bulan September dengan judul "Tepat, Tapi Terlambat". Ada ekonom yang berpendapat, tulisan Sagir itu "kurang balanced", dalam arti kurang mempertimbangkan pelbagai segi dan posisi yang berbeda. Tapi ada yang berpendapat karena Forum Ekonomi sifatnya lebih populer ketimbang sebuah jurnal ilmiah, tulisan seperti Sagir boleh saja demikian. Tapi Arifin Siregar berpendapat lain. Tokoh ekonomi yang tak banyak bicara di pers ini menganggap Forum Ekonomi, dengan tulisan Sagir di dalamnya, tak baik diedarkan. Ia memutuskan, penerbitan edisi itu "untuk sementara ditunda". Sagir, yang dikenal bukan seorang pendiam, serentak mengetahui itu serta-merta protes. Ia menulis sepucuk surat, kepada Arifin Siregar, dengan tembusan ke pelbagai pihak. Ia menuduh Arifin "menyalahgunakan wewenangnya sebagai pejabat" untuk membreidel Forum Ekonomi. "Saya menyatakan perang kepada Arifin Siregar," kata Sagir. Arifin cenderung tak melayani pernyataan perang itu. Ia hanya mengirim sepucuk surat balasan, menjelaskan alasannya. Dikemukakannya bahwa tindakannya dilakukan dengan melihat kondisi masyarakat yang sedang gelisah dan melihat kemungkinan ISEI bisa "dianggap turut memperburuk keadaan". Ia, katanya, melakukannya dengan konsultasi dengan para "senior ISEI". Dan sebagai pemimpin umum, ia merasa berhak memutuskan bisakah suatu edisi Forum Ekonomi beredar atau tidak. Yang dapat dipersoalkan, kata Arifin, "apakah keputusan itu tepat, dan bijaksana, atau tidak." Jadi, tampaknya, sang pemimpin umum bersedia dikritik dari segi itu, bukan dari segi haknya. Siapa tahu ini bisa jadi pelajaran baik bagi para ahli ekonomi, bagaimana mestinya mengurus majalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini