KELOMPOK Texmaco dari Pekalongan, yang selama 20 tahun dikenal
sebagai penghasil kain tenun, maju selangkah lagi. Bengkel
kelompok perusahaan itu, yang semula hanya menyediakan suku
cadang mesin tenun untuk kepentingan sendiri, kini sudah bisa
membuat mesin tenun. Sudah dimulai awal tahun lalu, PT Texmaco
Perkasa Engineering yang pabriknya di Kaliwungu, 15 km dari
Semarang, diresmikan Menteri Perindustrian Hartarto pada akhir
September, membuat mesin tenun jenis shutle loom.
M. Sinivasan, direktur utama Texmaco, kelihatan bangga
kelompoknya bisa menghasilkan mesin tenun yang hanya memakai 10%
komponen impor - seperti motor listrik. Bagian komponen lain,
misalnya tubuh dibuat sendiri dengan besi cor dari Krakatau
Steel, sisir dibuat di Bandung, dan sekrup dibuat di Tegal.
Disain mesin tenunnya meniru alat serupa bikinan luar negeri.
Tapi, "kami sendiri punya ahli untuk mendisain mesin itu,"
katanya pekan lalu.
Harga jual mesin jenis shuttle loom lokal, yang diberi nama
Perkasa, itu antara Rp 2 dan Rp 2,5 juta, sedangkan mesin
serupa, baik eks Taiwan maupun Korea Selatan, harganya Rp 3-Rp
3,5 juta. Mesin jenis ini, yang maksimum menghasilkan 95 yard
kain tenun per hari, mudah disetel untuk menghasilkan, misalnya,
kain georgette, voil, dan polyester.
Kerangka bagian atas mesin dilengkapi alat (pendulan) untuk
membuat kain kembang beraturan. Karena teknologi dan bentuknya
sederhana, "mesin tenun ini gampang dijalankan oleh lulusan SD
sekalipun, yang sudah dikursus kilat tiga bulan," ujar Hadi
Prayitno, direktur Saritex Jaya Swasthi, anggota kelompok
Texmaco, pemakai mesin itu.
Mesin made in Kaliwungu itu memang baru dipakai oleh tiga
perusahaan kelompok Texmaco: Texmaco Jaya di Pemalang (300
unit), Texmaco Jaya di Batu (250 unit), dan Saritex Jaya Swasthi
di Batang (50 unit). Dari Malaysia, Sri Lanka, India, dan
Bangladesh, menurut Sinivasan, sudah datang pesanan untuk mesin
itu yang akan dipenuhinya tahun depan. Produksi Texmaco Perkasa
kini 50 mesin tiap bulan, dan untuk mencapai titik impas (break
even point) perusahaan harus memproduksikan sedikitnya 2.000
mesin per tahun.
Tahun depan, jika segalanya lancar, pabrik ini akan
memproduksikan mesin jenis shuttleless loom, mesin tenun tanpa
teropong yang lebih otomatis dalam mengatur tenunan, meniru merk
Tsudakoma dari Jepang. Pasar untuk mesin jenis ini, menurut G.
Munusamy, direktur Texmaco Perkasa, paling banter 8-9
perusahaan, yang memerlukan 100-150 mesin. Harga jual mesin
jenis nonpadat karya ini Rp 3,5-Rp 7 juta, sedangkan mesin
serupa, seperti Tsudakoma, harganya Rp 5-Rp 10 juta per unit.
Kendati pasar lokal untuk mesin ini belum besar, Sinivasan
memberi ancang-ancang, pada 1985 perusahaannya merencanakan
produksi 2.000 unit.
Kelompok ini, yang melakukan produksi dari pemintalan,
pertenunan, sampai pakaian jadi, tahun lalu mengekspor tekstil
dan pakaian jadinya ke pelbagai negara dengan nilai US$ 1,5
juta. Jika di tahun 1950-an kalangan tekstil dan batik di
Pekalongan hanya mengenal Sinivasan sebagai pengusaha alat tenun
bukan mesin (ATBM), gambaran itu kini tentu sudah berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini