MENULIS DALAM AIR
Oleh: Rosihan Anwar
Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1983, 376 halaman.
RASA waswas terhadap ketuaan, ruang gerak yang semakin sempit,
karena dibatasi usia, keadaan fisik, dan situasi sosial politik
seolah-olah memecut Rosihan Anwar untuk menyelesaikan
otobiografinya dalam usia 60 tahun. Tidak banyak pretensi dalam
penulisannya, tapi tetap terbaca adanya semangat untuk
memberikan pertanggungjawaban moril yang mau disampaikan.
Misalnya, untuk mengemukakan sikap dan pertanggungjawaban
terhadap nilai-nilai dalam kehidupan (halaman 11).
Ada semacam ambisi di dalam otobiografi ini untuk menjadi
intellectual journey pengarangnya dalam sejarah. Karena itu,
karya ini lebih dari sekadar menjaga kenangan, sebelum
kenang-kenangan itu menjadi diam-bisu dan hilang tiada kentara,
buyar sirna ditelan oleh Sang Kala (halaman 364).
Hampir dalam seluruh buku, yang memang sengaja tidak ditulis
secara kronologis tapi secara tematis, Rosihan berusaha
menunjukkan siapa dirinya. Usaha ini menarik. Pertama, tidak
banyak orang yang mempunyai keberanian moril untuk merumuskan
secara terbuka siapa dirinya - mungkin dengan pengecualian pada
penyair Chairil "Binatan Jalang" Anwar. Kedua, buku ini
menunjukkan bahwa kepribadian Rosihan adalah hasil dialektika
antara kewartawanan dan lingkungan sosial politik.
Otobiografi ini di sana-sini memang membuka satu dua tabir
sejarah. Dan, untuk Rosihan, yang terpenting adalah setiap fase
sejarah sosial politik memaksanya merumuskan pribadinya. Karena
itu, tidak terlalu meleset bila ia mengatakan otobiografinya
dapat dianggap sebagal sepotong kecil sejarah budaya Indonesia
(halaman 11).
Dari seluruh pengalamannya yang begitu berwarna-warni - penyair,
bintang panggung, pemain tonil, penyanyi, pemain band, bintang
film - sebagai wartawan paling menguasai seluruh jalan hidupnya,
dan karena itu paling menentukan kepribadiannya. Rosihan pertama
kali menjadi wartawan bekerja untuk surat kabar Asia Raya, April
1943. Dan sejak itu dia tidak bisa lagi dipisahkan dengan dunia
kewartawanan hingga sekarang.
Dunia kewartawanan Rosihan yang paling penting dilaluinya di
harian Pedoman. Ia pemimpin redaksi di situ. Pedoman penting
bukan karena ia surat kabar tiga zaman, tapi mengapa menjadi
tiga zaman. Semua seluk beluk di balik pertanyaan ini juga
liku-liku hidup Rosihan sendiri. Surat kabar itu juga
seolah-olah menjadi hablur dari seluruh pengalaman
kewartawanannya.
Pedoman terbit untuk pertama kalinya, 29 November 1948. Tapi
tidak lama berselang Belanda melakukan agresi kedua dengan
merebut Ibu Kota Yogyakarta. Harian Pedoman, yang terbit di
Jakarta, menunjukkan sikap pro-Republik. Karena itu, pada 31
Januari 1949 ditutup pemerintah kolonial Belanda.
Setelah penyerahan kedaulatan, Pedoman terbit kembali. Periode
ini lebih menarik bagi kepribadian Rosihan. Awal tahun 1960-an,
dalam masa Demokrasi Terpimpin, banyak surat kabar yang pada
prinsipnya menolak konsepsi Manipol Soekarno. Lalu Soekarno
mengeluarkan ultimatum: semua surat kabar hanya boleh terbit
bilamana menandatangani 19 pasal persyaratan - di antaranya
mengandung kewajiban mendukung Manifesto Politik. Harian
Indonesia Raya (Mochtar Lubis), Abadi (S. Tasrif, Times of
Indonesia (Charles Thambu) menolak menandatanganinya. Tapi
Rosihan Anwar(Pedoman)membubuhkan tanda tangannya.
Selang beberapa waktu kemudian IPI (International Press
Institute) memecat Rosihan dari organisasi itu. Rosihan protes.
Dalam sebuah surat yang menarik dikatakannya bahwa dalam sistem
politik otoriter banyak lembaga demokrasi hancur, termasuk pers,
tapi semangat demokrasi harus tetap dinyalakan. Pers jangan
memutuskan kontaknya dengan publik. Salah satu syaratnya adalah
pers has to be there, to exist - pers harus hadir, harus hidup,
sekalipun eksistensinya mungkin dengan basis terbatas.
Rosihan tahu mana batas-batasnya ketika memberikan tanda
tangannya. Ironisnya, ketika penyerahan diri sudah dilakukan dan
tinta surat untuk membela diri di mata internasional belum lagi
kering, 7 Januari 1961 Pedoman ditutup pemerintahan Soekarno.
Setelah kejatuhan Soekarno, Pedoman diterbitkan lagi 1968. Enam
tahun kemudian, dengan tuduhan turut memanasi situasi sebelum
Peristiwa 15 Januari, Pedoman, bersama enam surat kabar lainnya,
dicabut nyawanya oleh pemerintah untuk selama -lamanya.
Sejak menjadi wartawan tanpa surat kabar, kewartawanan tidak
semata-mata suatu profesi baginya, tapi seolah-olah menjadi
stigma sosial yang kadang-kadang mengangkat dirinya
tinggi-tinggi dan tidak jarang pula membantingnya. Kewartawanan
menuntutnya untuk selalu kreatif. Tapi kreativitas pada
gilirannya menorehkan stigma lain yaitu bersatunya Rosihan dan
arogansi. Atau seperti yang dikatakannya sendiri:
Saya betul-betul egoist. Saya mulai sadar akan hal itu. Saya
ingin mengurangi egoisme itu, supaya saya lebih serasi dalam
masyarakat. Tetapi di lain pihak saya pikir, jika egoisme itu
hilang sama sekali, maka motor untuk kreativitas bisa mogok. Dan
itu pun tidak saya inginkan (halaman 322).
Tidak banyak orang yang mau mengemukakan ini secara terbuka.
Yang menarik perhatian adalah berbaurnya keangkuhan itu dengan
rasa rendah diri yang begitu mengesankan kehadirannya dalam
confessiones Rosihan Anwar. Seluruh otobiografinya, yang begitu
berharga, dijulukinya dengan sebuah eufemisme jurnalistik:
"menulis dalam air di sini sekarang, esok hilang." Tapi di
pihak lain karya ini dimaksudkannya pula sebaai document
humain.
Sehabis membaca Menulis Dalam Air kita menyaksikan
ketidakpastian sang tokoh Rozehan Anwar, yang lantas menjadi
Rosehan Anwar, dan akhirnya menjadi Rosihan Anwar sampai
sekarang. Nama itu berarti Sinar Cahaya, atau Si Sinar Kembar.
Kalau nomen est omen (nama adalah pertanda) masih benar, maka
juga kita saksikan begitu banyak pertentangan dalam diri tokoh
kita ini, dalam kembaran cita-cita, keinginan dan kenyataannya.
Dalam dunia kewartawanan Rosihan pemimpin redaksi tenar yang
selalu merasa diri kecil. Karena itu, mungkin benar kalau ia
mengatakan bahwa di dalam dirinya berhiruk-pikuk begitu banyak
keinginan dan cita-cita, sehingga menjadi a chaos of desire.
Egoisme mungkin pangkal arogansi. Tapi sang Aku kadang-kadang
begitu merendah. Dia, yang sejak kecil selalu doyan menulis I am
a wastrel (saya orang yang gagal - halaman 62) dalam secarik
kertas, masih tetap menulis hal yang sama di hari tuanya. Rosi
han menyatakan dirinya gagal bila kekayaan diambil menjadi
ukuran. Dia gagal menjadi politikus, dia gagal menjadi novelis.
Malah sampai titik terakhir dalam ketenarannya sebagai wartawan,
penulis, direktur Karya Latihan Wartawan, ia masih tetap
mengeluh tentang dirinya yang menjalankan sebuah pekerjaan redup
sebagai kuli tinta - kini merosot lagi menjadi broodschrijver,
penulis sekadar mencari nafkah.
Arogansi Rosihan hilang bila dia harus masuk menghadapi dirinya.
Sifat itu akan bangkit bila dia harus menantang orang lain,
generasi lain. Kita bukan berhadapan dengan Don Quixote, tokoh
yang tidak disukainya, tapi mungkin dengan Narcissus, yang tidak
dibayangkannya. Kendati demikian, otobiografi ini bukan sekadar
coretan di air, tapi suatu dokumen kemanusiaan.
Daniel Dhakidae
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini