Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Warisan wartawan tua

Pengarang: rosihan anwar jakarta: sinar harapan, 1983 resensi oleh: daniel dhakidal. (bk)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENULIS DALAM AIR Oleh: Rosihan Anwar Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1983, 376 halaman. RASA waswas terhadap ketuaan, ruang gerak yang semakin sempit, karena dibatasi usia, keadaan fisik, dan situasi sosial politik seolah-olah memecut Rosihan Anwar untuk menyelesaikan otobiografinya dalam usia 60 tahun. Tidak banyak pretensi dalam penulisannya, tapi tetap terbaca adanya semangat untuk memberikan pertanggungjawaban moril yang mau disampaikan. Misalnya, untuk mengemukakan sikap dan pertanggungjawaban terhadap nilai-nilai dalam kehidupan (halaman 11). Ada semacam ambisi di dalam otobiografi ini untuk menjadi intellectual journey pengarangnya dalam sejarah. Karena itu, karya ini lebih dari sekadar menjaga kenangan, sebelum kenang-kenangan itu menjadi diam-bisu dan hilang tiada kentara, buyar sirna ditelan oleh Sang Kala (halaman 364). Hampir dalam seluruh buku, yang memang sengaja tidak ditulis secara kronologis tapi secara tematis, Rosihan berusaha menunjukkan siapa dirinya. Usaha ini menarik. Pertama, tidak banyak orang yang mempunyai keberanian moril untuk merumuskan secara terbuka siapa dirinya - mungkin dengan pengecualian pada penyair Chairil "Binatan Jalang" Anwar. Kedua, buku ini menunjukkan bahwa kepribadian Rosihan adalah hasil dialektika antara kewartawanan dan lingkungan sosial politik. Otobiografi ini di sana-sini memang membuka satu dua tabir sejarah. Dan, untuk Rosihan, yang terpenting adalah setiap fase sejarah sosial politik memaksanya merumuskan pribadinya. Karena itu, tidak terlalu meleset bila ia mengatakan otobiografinya dapat dianggap sebagal sepotong kecil sejarah budaya Indonesia (halaman 11). Dari seluruh pengalamannya yang begitu berwarna-warni - penyair, bintang panggung, pemain tonil, penyanyi, pemain band, bintang film - sebagai wartawan paling menguasai seluruh jalan hidupnya, dan karena itu paling menentukan kepribadiannya. Rosihan pertama kali menjadi wartawan bekerja untuk surat kabar Asia Raya, April 1943. Dan sejak itu dia tidak bisa lagi dipisahkan dengan dunia kewartawanan hingga sekarang. Dunia kewartawanan Rosihan yang paling penting dilaluinya di harian Pedoman. Ia pemimpin redaksi di situ. Pedoman penting bukan karena ia surat kabar tiga zaman, tapi mengapa menjadi tiga zaman. Semua seluk beluk di balik pertanyaan ini juga liku-liku hidup Rosihan sendiri. Surat kabar itu juga seolah-olah menjadi hablur dari seluruh pengalaman kewartawanannya. Pedoman terbit untuk pertama kalinya, 29 November 1948. Tapi tidak lama berselang Belanda melakukan agresi kedua dengan merebut Ibu Kota Yogyakarta. Harian Pedoman, yang terbit di Jakarta, menunjukkan sikap pro-Republik. Karena itu, pada 31 Januari 1949 ditutup pemerintah kolonial Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan, Pedoman terbit kembali. Periode ini lebih menarik bagi kepribadian Rosihan. Awal tahun 1960-an, dalam masa Demokrasi Terpimpin, banyak surat kabar yang pada prinsipnya menolak konsepsi Manipol Soekarno. Lalu Soekarno mengeluarkan ultimatum: semua surat kabar hanya boleh terbit bilamana menandatangani 19 pasal persyaratan - di antaranya mengandung kewajiban mendukung Manifesto Politik. Harian Indonesia Raya (Mochtar Lubis), Abadi (S. Tasrif, Times of Indonesia (Charles Thambu) menolak menandatanganinya. Tapi Rosihan Anwar(Pedoman)membubuhkan tanda tangannya. Selang beberapa waktu kemudian IPI (International Press Institute) memecat Rosihan dari organisasi itu. Rosihan protes. Dalam sebuah surat yang menarik dikatakannya bahwa dalam sistem politik otoriter banyak lembaga demokrasi hancur, termasuk pers, tapi semangat demokrasi harus tetap dinyalakan. Pers jangan memutuskan kontaknya dengan publik. Salah satu syaratnya adalah pers has to be there, to exist - pers harus hadir, harus hidup, sekalipun eksistensinya mungkin dengan basis terbatas. Rosihan tahu mana batas-batasnya ketika memberikan tanda tangannya. Ironisnya, ketika penyerahan diri sudah dilakukan dan tinta surat untuk membela diri di mata internasional belum lagi kering, 7 Januari 1961 Pedoman ditutup pemerintahan Soekarno. Setelah kejatuhan Soekarno, Pedoman diterbitkan lagi 1968. Enam tahun kemudian, dengan tuduhan turut memanasi situasi sebelum Peristiwa 15 Januari, Pedoman, bersama enam surat kabar lainnya, dicabut nyawanya oleh pemerintah untuk selama -lamanya. Sejak menjadi wartawan tanpa surat kabar, kewartawanan tidak semata-mata suatu profesi baginya, tapi seolah-olah menjadi stigma sosial yang kadang-kadang mengangkat dirinya tinggi-tinggi dan tidak jarang pula membantingnya. Kewartawanan menuntutnya untuk selalu kreatif. Tapi kreativitas pada gilirannya menorehkan stigma lain yaitu bersatunya Rosihan dan arogansi. Atau seperti yang dikatakannya sendiri: Saya betul-betul egoist. Saya mulai sadar akan hal itu. Saya ingin mengurangi egoisme itu, supaya saya lebih serasi dalam masyarakat. Tetapi di lain pihak saya pikir, jika egoisme itu hilang sama sekali, maka motor untuk kreativitas bisa mogok. Dan itu pun tidak saya inginkan (halaman 322). Tidak banyak orang yang mau mengemukakan ini secara terbuka. Yang menarik perhatian adalah berbaurnya keangkuhan itu dengan rasa rendah diri yang begitu mengesankan kehadirannya dalam confessiones Rosihan Anwar. Seluruh otobiografinya, yang begitu berharga, dijulukinya dengan sebuah eufemisme jurnalistik: "menulis dalam air di sini sekarang, esok hilang." Tapi di pihak lain karya ini dimaksudkannya pula sebaai document humain. Sehabis membaca Menulis Dalam Air kita menyaksikan ketidakpastian sang tokoh Rozehan Anwar, yang lantas menjadi Rosehan Anwar, dan akhirnya menjadi Rosihan Anwar sampai sekarang. Nama itu berarti Sinar Cahaya, atau Si Sinar Kembar. Kalau nomen est omen (nama adalah pertanda) masih benar, maka juga kita saksikan begitu banyak pertentangan dalam diri tokoh kita ini, dalam kembaran cita-cita, keinginan dan kenyataannya. Dalam dunia kewartawanan Rosihan pemimpin redaksi tenar yang selalu merasa diri kecil. Karena itu, mungkin benar kalau ia mengatakan bahwa di dalam dirinya berhiruk-pikuk begitu banyak keinginan dan cita-cita, sehingga menjadi a chaos of desire. Egoisme mungkin pangkal arogansi. Tapi sang Aku kadang-kadang begitu merendah. Dia, yang sejak kecil selalu doyan menulis I am a wastrel (saya orang yang gagal - halaman 62) dalam secarik kertas, masih tetap menulis hal yang sama di hari tuanya. Rosi han menyatakan dirinya gagal bila kekayaan diambil menjadi ukuran. Dia gagal menjadi politikus, dia gagal menjadi novelis. Malah sampai titik terakhir dalam ketenarannya sebagai wartawan, penulis, direktur Karya Latihan Wartawan, ia masih tetap mengeluh tentang dirinya yang menjalankan sebuah pekerjaan redup sebagai kuli tinta - kini merosot lagi menjadi broodschrijver, penulis sekadar mencari nafkah. Arogansi Rosihan hilang bila dia harus masuk menghadapi dirinya. Sifat itu akan bangkit bila dia harus menantang orang lain, generasi lain. Kita bukan berhadapan dengan Don Quixote, tokoh yang tidak disukainya, tapi mungkin dengan Narcissus, yang tidak dibayangkannya. Kendati demikian, otobiografi ini bukan sekadar coretan di air, tapi suatu dokumen kemanusiaan. Daniel Dhakidae

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus