Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Papua, Ronald Rischard Tapilatu, menyayangkan terabaikannya potensi pertanian di Timika dan Wamena. Ronald mengatakan, hasil pertanian di kedua wilayah tersebut bisa dikembangkan untuk mendorong ketahanan pangan dan menghindari ketergantungan pada pangan dari luar Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di Timika, di Wamena, kita orang punya wortel, kentang dan macam-macam hasil kebun. Tapi itu tidak dimaksimalkan dan tidak bisa dipasarkan, tidak ada yang beli," kata Ronald saat ditemui usai menghadiri diskusi bertajuk transformasi Pangan Negara Kepulauan, di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronald berpendapat, seandainya potensi pertanian di Papua digarap serius, hal itu bisa mendorong diversifikasi pangan. Ronald juga menyayangkan minimnya keterlibatan Freeport yang memiliki puluhan ribu pekerja di Papua.
Kata Ronald, pengembangan pertanian oleh masyarakat lokal di Papua akan berjalan ketika ada pasar yang bisa menyerap hasil pertanian. Namun yang terjadi saat ini justru bahan pangan didatangkan dari luar Papua.
"Telur, kentang, wortel, itu didatangkan dari Jawa. Bahkan ayam, ha, ayam toh, kenapa tidak kita di Papua yang sediakan. Ayam bisa hidup di Papua, to? Maksud saya kalau diberdayakan, untuk kebutuhan Freeport bisa dipasok oleh orang Papua," katanya.
Minimnya keinginan pemerintah memberdayakan pertanian, kata dia, justru malah dibarengi dengan penjajahan terhadap pangan lokal orang Papua. Kantong-kantong hutan sagu di Papua Selatan dan Papua Barat, kata Ronald, banyak yang dibabat habis untuk proyek perkebunan skala besar.
Perkataan Ronald tersebut sejalan dengan data Auriga Nusantara, yang mencatat bahwa Papua telah kehilangan lebih dari 600 ribu hektar hutan dalam dua dekade terakhir. Diperkirakan sekitar 112 ribu hutan di Papua dibabat untuk dijadikan perkebunan sawit.
"Setelah sagu dibabat, hutan ditebang, tiba-tiba dibilang ketahananan pangan di Papua buruk. Kita dikasih beras, standar pangannya beras. Kita orang Papua tidak cocok makan beras. Salah besar kalau standar yang dipakai adalah beras," kata Ronald.
Ronald mengatakan perubahan pola konsumsi pangan tersebut terjadi karena kegagalan pemerintah dalam menciptakan sistem pangan di tingkat lokal. Penerapan standar Jakarta di Papua, kata dia, makin membuat ketimpangan pangan semakin lebar.
"Ketergantungan akan beras ini harus diubah karena pola konsumsi pangan berpengaruh terhadap kondisis masyarakat lokal.
Warga setempat diam-diam mulai direcoki oleh pangan seperti mie instan dan beras," kata Ronald. "Masyarakat Papua tidak akan tergantung pada beras dan mie instan seandainya hutan tidak dibabat," dia menegaskan.
Pemerintah Prabowo berencana mencetak sawah baru seluas 350 ribu hektar di Papua Selatan. Perkebunan tebu skala besar untuk bioetanol di wilayah tersebut juga sedang dikebut.
Ronald mengatakan proyek tersebut menempatkan orang Papua sebagai penonton.
“Itu hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomi pemerintah pusat, orang Papua tidak makan beras, kami punya sagu. Itu food estate malah membabat hutan, menghilangkan sumber penghidupan,” katanya.