KAWASAN di tepi Pantai Tubanan, Jepara, Jawa Tengah, sebentar lagi bakal ramai. Bangunan yang hampir runtuh dan tidak terawat akan diperbaiki. Rumput dan ilalang yang menjulang ke langit bakal dibabat habis. Ribuan pekerja segera meramaikan area seluas 150 hektare tersebut.
Pembangkit listrik Tanjung Jati B segera dilanjutkan pembangunannya. Proyek yang dimulai di era Soeharto ini sempat ditunda karena harganya dinilai kelewat mahal. Tapi, karena kontrak telah diteken dan tak bisa dibatalkan begitu saja, negosiasi ulang digelar. Ada dua opsi penyelesaian.
Pertama, menggunakan pola sewa guna usaha (financial lease scheme). Caranya, PLN akan menyewa listrik dari perusahaan pengelola yang dibentuk Sumitomo. Alternatif lain, PLN membeli (buy-out) Tanjung Jati B sehingga penuh menjadi miliknya.
Apa pun jalan yang ditempuh, pendanaan akan dikucurkan pemerintah Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Namun, jika leasing yang dipilih, JBIC akan mengenakan bunga komersial. Kalau memilih buy-out—karena pemerintah Indonesia yang langsung bertindak selaku peminjam—bunga yang dibebankan sangatlah lunak.
"Sebenarnya, buy-out pilihan paling tepat," kata seorang pejabat PLN yang tak bersedia disebut namanya. Dengan pembelian ini, PLN akan menjadi pemilik sekaligus operator Tanjung Jati B. Adapun pemilik lama sebatas menjadi kontraktor untuk menyelesaikan pembangunan proyek.
Dengan pola ini, JBIC sendiri telah menyatakan persetujuannya untuk mengucurkan pinjaman US$ 1,150 miliar. Bunganya amat rendah, tak lebih dari 2 persen. Jangka waktu pembayarannya pun sangat lunak, 30 tahun, plus grace period (masa tak perlu membayar bunga dulu) 10 tahun.
Namun, November lalu pemerintah menentukan lain. Tim Rehabilitasi dan Restrukturisasi PLN (biasa disebut Tim Keppres 133) yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menilai, metode buy-out hanya akan membebani kas negara. Utang pemerintah yang telah menggunung bakal kian menjulang.
Pola leasing dinilai paling cocok. Dengan cara ini, pembangkit listrik tetap menjadi tanggungan swasta. Sumitomo bersama PLN cukup membentuk perusahaan pengelola, yang kemudian diberi nama PT Central Java Power. Perusahaan inilah yang nantinya akan menyewakan pembangkit kepada PLN selama 20 tahun.
Masalahnya, jalur leasing ternyata tetap berbuntut ke kas negara. Pemerintah ternyata diharuskan mengeluarkan jaminan fasilitas likuiditas jika PLN gagal bayar kelak. PLN masih harus menanggung beban pajak atas impor barang modal senilai US$ 100 juta. Nilai proyek pun jadi membengkak ke angka US$ 1,650 miliar. Otomatis, tarif jadi ikut terdongkrak sekitar US$ 3,3-4,6 sen per kWh.
Padahal, kata si pejabat itu, dengan model buy-out, yang total biaya proyeknya lebih murah, tarif bisa ditekan sampai di bawah US$ 3 sen.
Jaminan likuiditas itu sendiri, sumber TEMPO menambahkan, semula telah ditolak Departemen Keuangan. Namun ketika masalahnya disodorkan ke Istana, Presiden Megawati minta supaya negosiasi segera dirampungkan. "Akhirnya Keuangan menyerah karena sudah ada perintah Presiden," katanya.
Pertanyaan serupa dilontarkan pengamat kelistrikan, Nengah Sudja. "Untuk apa negosiasi kalau pemerintah harus memberi jaminan terus? Itu menunjukkan PLN tidak mampu," ujarnya.
Selama ini, kata Nengah lagi, negosiasi listrik swasta memang tak pernah transparan. Padahal, sebagai perusahaan publik, setiap keputusan yang diambil akan berdampak ke pelanggan. Selalu yang terang-benderang cuma kenyataan ini: kalau ada kerugian, konsumenlah yang harus menanggungnya.
Ali Nur Yasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini