Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Heboh Utang Sinivasan

Fasilitas letter of credit BNI kepada Texmaco Group kembali macet. Tanggung jawab siapa?

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Pepatah lama ini, maaf, tak berlaku buat Texmaco. Bahkan, bila kata-kata adalah peluru, pepatah ini langsung mental ketika Texmaco melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Perusahaan milik Marimutu Sinivasan itu rupanya memiliki ilmu kebal yang sukar dicari tandingannya di negeri ini. Alkisah, dengan utang macet Rp 29,04 triliun, Texmaco masih mendapat restu dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) agar diberi fasilitas letter of credit (L/C) dari Bank BNI. Dalam hal ini, BPPN bertindak sebagai penjamin utang Texmaco. Malang bagi BNI, sebagian dari utang baru senilai US$ 99 juta itu macet juga sejak tahun lalu. Tapi hal itu baru terungkap dua pekan lalu, ketika BPPN masih disibukkan dengan urusan utang Asia Pulp & Paper. Yang mengherankan, bukannya jera dan mengubah strateginya, lembaga penyehatan perbankan itu malah meminta agar BNI kembali mengucurkan pinjaman ke Texmaco. Keputusan seperti ini terkesan diambil dengan mudahnya, kendati ada juga sedikit ancaman dari Syafruddin Temenggung, yang mengatakan bahwa Sinivasan harus menyetor US$ 25 juta. Padahal, sebelumnya, Ketua BPPN itu menegaskan bahwa ada penyalahgunaan kredit dalam kasus pinjaman Texmaco yang terakhir. Semula pinjaman sebesar US$ 99 juta atau sekitar Rp 720 miliar pada Maret 2000 itu dikucurkan untuk memperlancar pembelian bahan baku buat divisi tekstil—yang kelak bergabung dalam newco PT Bina Prima Perdana. Menurut juru bicara BPPN ketika itu, Franklin Richard, BPPN menjamin utang tersebut karena jika industri tekstilnya tidak berproduksi, nilai piutang pemerintah akan jeblok. "Nantinya, apa yang didapat pemerintah melalui debt to equity swap kalau perusahaan itu sudah tidak ada nilainya lagi?" kata Franklin. Seperti dituturkan Syafruddin, ternyata sebagian duit itu masuk ke divisi rekayasa—yang setelah restrukturisasi masuk ke newco Jaya Perkasa Engineering. Presiden Direktur Bina Prima dan Jaya Perkasa, Alfred Inkiriwang, mengakui bahwa duit tersebut dipakai Jaya Perkasa karena divisi rekayasa itu kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan. "Kami membutuhkan US$ 26 juta," katanya. Sejumlah bank, seperti BNI dan Bank Mandiri, yang konon bersedia memberikan pinjaman ternyata tak segera merealisasikannya. Daya penciuman bank-bank itu terbukti cukup tajam. Ketika sebagian utang yang berjumlah US$ 29 juta jatuh tempo, Jaya Perkasa tak mampu membayarnya. Alfred memang sudah menghentikan pengalihan pinjaman ke Jaya Perkasa pada Desember silam. Tapi apalah artinya jika sudah telanjur macet. BPPN memang tak menalangi utang macet itu. Bank BNI juga tak perlu kebat-kebit karena utang tersebut dijamin BPPN sehingga, meskipun macet, tak perlu dimasukkan ke kategori kredit seret (non-performing loan). Kendati demikian, BPPN dan BNI harus menegosiasikan utang tersebut. Hari-hari ini BPPN, BNI, dan Sinivasan terus merundingkan pemecahannya. Salah satu jalan keluar sudah dikumandangkan Syafruddin: Sinivasanlah yang mesti membayar utang yang kadung macet itu dari kantongnya sendiri. "Sinivasan sudah bersedia membayarnya," kata M. Syahrial, Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Manajemen Kredit. Tak hanya itu. Syafruddin juga memerintahkan agar pasukannya mengawasi sepak terjang dua perusahaan induk yang dipakai untuk menampung utang Texmaco Group sebesar Rp 29 triliun. Syafruddin juga menunjuk Sucofindo sebagai pengontrol keuangan (financial controller) independen Texmaco. Kebijakan Syafruddin jadi terasa aneh jika mengingat BPPN-lah yang menunjuk Alfred menjadi nakhoda dua perusahaan itu. BPPN juga menempatkan Bambang Sudibyo sebagai anggota direksi. Bagaimana mungkin dua wakil BPPN itu tak mampu mengontrol arus keuangan Texmaco? "Sudahlah, yang penting kita melihat ke depannya," kata Syafruddin mengelak. Mestinya cerita tentang Sinivasan dan Texmaco berhenti di sini. Syafruddin sudah tegas mengatakan ada penyalahgunaan pinjaman yang berakibat utang tersebut macet. Hebatnya lagi, pelanggaran ini justru dilakukan di depan hidung pejabat BPPN. Tapi tak ada hukuman yang dijatuhkan pada Texmaco atau Sinivasan. Malah Syafruddin meminta agar BNI bersedia membuka L/C untuk Texmaco jika Texmaco membayar cicilannya. "L/C yang boleh dibuka maksimal 50-70 persen dari duit yang disetor Texmaco," kata Syafruddin. Dispensasi yang mewah inilah yang tidak diterima pengusaha lain yang juga punya masalah dengan pemerintah. Bukan kali ini saja Texmaco Group mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Pada zaman Soeharto, Texmaco mendapatkan kucuran pinjaman berkat katebelece dari orang nomor satu di republik ini. Pada akhir 1997 dan awal 1998 itu, Texmaco sampai tiga kali mendapatkan pinjaman likuiditas dari Bank Indonesia berbunga rendah melalui BNI senilai hampir US$ 516 juta plus Rp 240 miliar. Kredit biaya untuk preshipment itu mestinya untuk meningkatkan ekspor, tapi nyatanya dipakai untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Kongkalikong ini makin komplet karena BNI ketika itu mestinya hanya boleh memberikan pinjaman kepada satu grup atau kelompok usaha sendiri maksimal Rp 400 miliar. Taktik gali lubang tutup lubang semacam itu akhirnya menjadikan utang Sinivasan mirip bola salju. Jumlahnya semakin besar, antara lain, karena cicilannya tak pernah dibayar. Pada awal tahun 2000, utang Texmaco di BNI dan beberapa bank pemerintah yang lain juga macet dan jumlahnya sudah membengkak menjadi Rp 29 triliun. Dari jumlah itu, Rp 20 triliun dipakai untuk membangun industri rekayasa dan sisanya untuk mengembangkan bisnis utama Texmaco di tekstil. Ambisi Sinivasan di industri rekayasa memang sangat luar biasa. Targetnya ingin mengalahkan Jepang. Tapi ambisi saja tentu tidak cukup. Diperlukan modal raksasa untuk membangun kerajaan bisnis rekayasa. Ternyata untuk modal pun Sinivasan tak punya banyak. Akhirnya, jerat utang membuat Sinivasan mesti berurusan dengan BPPN. Kedua jenis utang macet warisan masa Orde Baru ini akhirnya dimasukkan ke BPPN. Dua utang kakap inilah yang menyebabkan Sinivasan harus menyerahkan 16 perusahaannya ke BPPN. Utang tersebut sudah direstrukturisasi pada Agustus tahun lalu dengan jangka waktu pengembalian 11 tahun. Sinivasan juga masih menanggung utang Rp 1,3 triliun setelah Bank Putera Multi Karsa, yang dulu dimilikinya, ditutup pemerintah. Dengan utang segunung itu, Texmaco toh masih punya kenikmatan lain: mendapatkan fasilitas L/C senilai US$ 99 juta. Bagaimana mungkin pengusaha yang berutang triliunan itu masih berpeluang mendapatkan pinjaman baru jika tidak punya cantelan politik yang kuat. Presiden Abdurrahman Wahid bahkan menyatakan tiga pengusaha tidak boleh disentuh hukum, dan salah satu di antaranya adalah Sinivasan. Setelah Abdurrahman digantikan Megawati, Ketua BPPN, yang kini dijabat Syafruddin, masih saja meminta agar BNI mengucurkan fasilitas L/C yang baru. "Luar biasa," barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa hebat lobi yang dilakoni Sinivasan. Namun, ketika ditanya mengenai utang dan jurus-jurusnya, Sinivasan memilih bungkam. Dia hanya berusaha meyakinkan bahwa utang macet tersebut bakal bisa diselesaikannya. Tak bisa dibayangkan dari mana Sinivasan mendapatkan duit sebesar US$ 29 juta kalau utangnya saja seratus kali lipat lebih besar. Ekonom Dradjad Wibowo menilai bahwa semua ini bisa terjadi sebagian karena pengawasan BPPN terhadap Texmaco terlihat kurang. Menurut dia, sebaiknya BPPN membentuk semacam oversight committee (komite pemantau). "Kalau hanya pengontrol keuangan seperti yang dimaui Syaf, saya kira akan kurang efektif," katanya. Tim ini nantinya dibantu oleh para akuntan yang bisa menelusuri arus kas Texmaco. Tanpa hal itu, tim ini bakal sulit mengawasi sepak terjang manajemen dua newco tersebut. Selain itu, kata Dradjad, kalau pemerintah memang perlu menyuntikkan pinjaman baru ke Texmaco, alasannya harus benar-benar komersial. Pertimbangannya adalah kelangsungan industri tersebut, bukan karena pemiliknya pengusaha tertentu. Bagaimanapun, duit pemerintah yang sudah telanjur dikucurkan ke Texmaco sangatlah besar. Karena itu, kalau memang terbukti ada penyelewengan kredit, mereka yang bertanggung jawab tak bisa dibiarkan lolos begitu saja. M. Taufiqurohman, Setri Yasra, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus