SEPUCUK surat melayang ke kantor Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun KuntjoroJakti, Senin pekan lalu. Isinya sederet kalimat bernada pasrah. Si pengirim, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, menyatakan pihaknya tunduk pada keputusan Menteri Dorodjatun bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Jati B tak perlu diimbuhi dengan kewajiban imbal dagang (counter trade).
Ini sebuah antiklimaks. Beberapa bulan terakhir, Rini begitu gigih berjuang agar persyaratan itu bisa dikenakan terhadap proyek kilang listrik yang berlokasi di Jepara, Jawa Tengah, itu. Ia berargumen, imbal dagang patut diterapkan karena pemerintah memberi jaminan fasilitas likuiditas senilai US$ 540 juta.
Tanjung Jati B sendiri punya riwayat panjang. Ini sebuah proyek listrik swasta berkapasitas 1.329 megawatt. Mulai dibangun tahun 1998, semula ia direncanakan selesai tahun 2004. Apa lacur, krisis ekonomi menghadang. Pembangunannya sempat ditunda, dan jadwal penyelesaiannya diundur ke tahun 2005.
Tahun ini pemerintah merencanakan pembangunan kembali kilang yang baru separuh jalan itu. Kontraktornya adalah perusahaan Jepang, Sumitomo. Untuk keperluan ini, bersama PLN, Sumitomo membentuk sebuah perusahaan pelaksana, yaitu PT Central Java Power (CJP). Hitung punya hitung, total nilai proyek mencapai US$ 1,65 miliar. Pembiayaan akan dilakukan Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Nanti setelah rampung, PLN akan menyewa listrik dari PT Central untuk selanjutnya didistribusikan ke masyarakat.
Mungkin karena khawatir PLN mengemplang pembayaran, JBIC sebagai kreditor minta agar pemerintah memberi jaminan. Bentuknya, itu tadi, berupa duit tunai yang disiapkan sebagai fasilitas likuiditas di kas pemerintah. Kendati kabarnya sempat berkeberatan, Oktober tahun lalu akhirnya Departemen Keuangan menyetujui juga penjaminan tersebut.
Di mata Rini, karena adanya garansi dari kas negara itu, Tanjung Jati B terkena Peraturan Pemerintah No. 182/1982. Di sini tertulis, setiap pembelian di atas Rp 500 juta yang berkaitan dengan anggaran negara harus dilaksanakan dengan mekanisme imbal dagang. Terlebih lagi, selain fasilitas likuiditas itu, pemerintah juga ternyata harus membebaskan pajak atas barang modal senilai US$ 100 juta. Jadi, buat Rini, Tanjung Jati B bukanlah proyek swasta murni.
Secara bisnis, Rini menghitung imbal dagang juga akan sangat menguntungkan Indonesia. Kita jadi punya peluang ekspor senilai US$ 540 juta atau setara Rp 4,86 triliun. "Ekspor Indonesia akan meningkat," ujarnya, "demikian pula dengan produksi dan penambahan penyerapan tenaga kerja."
Karena itulah, sejak tahun lalu Perindustrian telah berkirim surat kepada PT Central Java Power, meminta mereka bersiap-siap melakukan imbal dagang. Lantaran yang memasok keperluan Tanjung Jati B dari Jepang adalah Summit Power Development Ltd., perusahaan inilah yang terkena kewajiban melaksanakan counter trade.
Namun, upaya Menteri Rini membentur tembok. Pejabat lain ramai-ramai menentang gagasannya. Mulai dari Menteri Dorodjatun, Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro, sampai Direktur Utama PLN Eddie Widiono satu suara menyatakan tak setuju. Penolakan juga datang dari Sumitomo dan PT Central, yang telah meneken perjanjian dengan tim pemerintah yang diketuai Menteri Dorodjatun.
Dalam berbagai suratnya, seperti yang diperoleh TEMPO, mereka menyatakan Tanjung Jati B adalah proyek listrik swasta yang didanai pihak partikelir, bukan dari anggaran negara ataupun kredit ekspor. Dengan demikian, tak wajib melakukan imbal dagang seperti dimaksud PP No. 182/1982.
Para kolega Rini di kabinet juga khawatir penerapan kewajiban imbal dagang akan membuat Sumitomo meminta kompensasi. Bentuknya bisa berupa kenaikan harga sewa listrik, yang tentu saja kembali mesti dirundingkan dalam waktu yang cukup lama. Alhasil, penyelesaian proyek dikhawatirkan bakal tertunda lagi, sementara ancaman kekurangan pasokan listrik pada 2005 kian membayang.
Menghadapi perlawanan keras itu, Rini akhirnya angkat tangan.
Tunduknya Rini disesalkan sumber TEMPO yang paham seluk-beluk kelistrikan. Argumen krisis listrik yang selalu disuarakan pihak-pihak di seberang Rini dinilainya berlebihan. Nyatanya, permintaan pasokan listrik dari industri nasional dalam beberapa tahun belakangan justru terus menurun. "Yang lebih butuh listrik sebetulnya masyarakat luar Jawa, bukan Jawa," katanya.
Menurut dia, tuntutan imbal dagang itu sudah betul karena Tanjung Jati memang mendapat garansi pemerintah. Ia menyayangkan, mestinya Rini meminta imbal dagang secara langsung kepada pemerintah Jepang. "Kalau ke Sumitomo yang kontraktor Jepang, jelas tidak bakal mau," ujarnya.
Kelemahan lain, kata sumber itu lagi, Rini tak membuat mekanisme imbal dagang secara transparan. Buntutnya, sempat tebersit kecurigaan ada kepentingan lain yang menyelinap di balik persyaratan yang dipatoknya itu. Ihwalnya tentu tak jauh-jauh dari soal fulus.
"Biasalah, buat persiapan Pemilu 2004," kata seorang pengusaha sambil tertawa. Dia lalu membisikkan sebuah kabar. Sebenarnya, desakan imbal balik itu cuma "dagangan". Opsi itu boleh dicoret asal Sumitomo menyetor US$ 10 juta ke rekening seorang pejabat. Caranya, supaya tak mencolok, tentu mesti dibikin tak langsung. Seolah-olah melalui penerbitan sertifikat ekspor senilai itu yang diberikan kepada PT Triharpindo Mandiri.
Berkaitan dengan kabar yang masih perlu dibuktikan kebenarannya itu, penyelidikan majalah ini memperoleh seberkas surat yang diteken Timothy S. Sudjie, General Manager Triharpindo. Ditujukan kepada perwakilan Sumitomo di Jakarta, dalam surat bertanggal 10 Februari 2003 itu Timothy memperkenalkan perusahaannya, yang menurut dia telah lama ditunjuk oleh Perindustrian untuk memfasilitasi program imbal dagang.
Kecurigaan terhadap Triharpindo makin meruap. Kali ini datang dari sepucuk surat yang ditandatangani Direktur Fasilitas Ekspor-Impor Departemen Perindustrian, Andreas Anugerah. Tertera di situ: pada 15 Januari lalu, Andreas mengundang rapat untuk membahas imbal dagang dalam Proyek Tanjung Jati B. Pertemuan akan digelar pada 23 Januari 2003 tepat pukul 10.00 WIB di kantor Perindustrian, Jakarta. Ada delapan pihak yang diminta hadir. Mereka antara lain Direktur Utama PLN, Asisten Deputi III Bidang Pemanfaatan Kelistrikan Kantor Menko Perekonomian, Direktur Pembiayaan Bilateral Bappenas, dan para pejabat lain di lingkungan Perindustrian. Yang menarik, di antara daftar para birokrat ini "terselip" satu-satunya pihak swasta. Terang tercantum di situ, dia adalah Direktur Utama PT Triharpindo.
Hubungan Triharpindo dengan pejabat Perindustrian tampaknya memang cukup lengket. Didirikan pada 1992, perusahaan ini bergerak di bidang ekspor-impor. Sejak 1995, Triharpindo mulai menjadi pelaksana program imbal dagang di Perindustrian. Untuk keperluan ini, lisensi buat mereka diterbitkan Sudar S.A., Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri yang ketika itu menjabat direktur ekspor. Selain di Departemen Perindustrian, Triharpindo beroperasi di lingkungan Departemen Perhubungan, Pertamina, PLN, dan BUMN Pupuk. "Kami memiliki mitra binaan untuk produk-produk ekspor," ujar Rita, salah seorang staf Triharpindo.
Seorang pengusaha yang biasa berbisnis di Perindustrian mengungkapkan, hubungan Triharpindo dengan Sudar memang istimewa. Keintiman itu sudah terjalin sejak pejabat kawakan ini masih duduk di kursi direktur ekspor. Ketika itu dialah yang memang membawahkan semua urusan program imbal beli di sejumlah proyek pemerintah.
Perkenalan itu tentu sah-sah saja. Masalahnya, menurut ketentuan Triharpindo atau perusahaan mana pun, tak bisa ditunjuk begitu saja menjadi pelaksana imbal dagang. Semua harus dijaring melalui tender terbuka.
Sudar sendiri menjelaskan, prosedurnya memang begitu. Semua perusahaan dipersilakan ikut seleksi, baru kemudian dipilih siapa yang bisa menawarkan harga termurah.
Lalu, bagaimana dengan kasus Triharpindo? Sudar tak menutup kemungkinan perusahaan itu memang pernah diundang mengikuti rapat Tanjung Jati B. Tapi ia tak yakin hanya Triharpindo yang diundang. Ia juga berkukuh belum menunjuk siapa pun. "Tunjukkan mana surat persetujuannya," ujarnya sengit.
Pihak Triharpindo sendiri tak banyak berkomentar. Rita mengaku bahwa bosnya, Timothy Sudjie, sedang dinas ke Kalimantan dan tak dapat dihubungi. Sedangkan Mulkan Lubis, wakilnya, juga sedang ke luar negeri. "Maaf, saya tak bisa memberi keterangan," ujar Rita.
Benar kata orang bijak. Segala sesuatu memang tergantung niatnya.
Nugroho Dewanto, Ali Nur Yasin, Febrina Siahaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini